Bab 6. Apa Itu Cinta? 1

1097 Words
# Apartemen yang selama ini ditempati oleh Leo ternyata tidak besar. Hanya memiliki satu kamar. Itu jauh lebih kecil dari semua yang Leo berikan untuk Wulan tempati selama dua tahun terakhir. Wulan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan apartemen. Pintu kayu sederhana, lantai parket yang tampak sudah sering dipel, dan ruang tamu mungil dengan sofa abu-abu yang terlihat tidak begitu nyaman untuk diduduki serta meja kaca yang tidak memiliki dekorasi apa pun. Tidak ada hiasan dinding, tidak ada pajangan keluarga, tidak ada foto pernikahan seperti yang selama ini terpajang di rumah mereka di Surabaya. Seolah Leo datang tempat ini hanya untuk tidur, bukan untuk hidup. Wulan berdiri di ambang pintu, menatap sekeliling dengan alis terangkat. Padahal dia tahu persis kalau Leo seharusnya bisa membeli apartemen yang lebih baik dari yang Leo tempati sekarang. Setidaknya yang lebih nyaman untuk ditempati. “Ini tempat tinggalmu selama Jakarta?” tanyanya pelan. Leo menelan ludah kikuk. Wulan selalu dibesarkan dengan kemewahan sejak kecil. Bahkan meski saat ini Wulan kehilangan ingatannya, kebiasaan untuk hidup dan tinggal di tempat yang nyaman tidak bisa dihilangkan. “Maafkan aku. Aku tidak menyangka sebelumnya kalau kau akan datang. Kalau aku tahu, aku pasti akan mempersiapkan apartemen yang lebih baik untukmu. Atau kau ingin rumah? Aku bisa segera mencari rumah untuk kita tempati besok. Tempat ini tidak besar, dan hanya ada satu kamar. Seharusnya aku menyiapkan sesuatu yang lebih layak untukmu.” Nada Leo dipenuhi rasa bersalah bahkan itu seakan dia takut sesuatu akan terjadi. Seakan Leo cemas kalau Wulan akan kecewa dan pergi meninggalkannya begitu saja. Namun Wulan hanya tersenyum lembut. “Tidak apa-apa. Aku tidak mempermasalahkannya. Bukankah ini rumahmu? Aku ingin melihat seperti apa kehidupanmu selama ini dan mengalaminya bersamamu,” balas Wulan. Leo mengelus lehernya gugup. “Tetap saja, rasanya tidak pantas untukmu," ujar Leo. Wulan menatap Leo. "Hanya karena di Surabaya, kau menyediakan rumah yang lebih besar dan di Singapura, selama pengobatanku, kau juga memastikan semua fasilitas yang aku nikmati itu mewah, bukan berarti kau harus terus melakukannya? Aku ingin memahami caramu hidup dan mengalaminya sendiri karena aku istrimu.” Wulan melangkah masuk dan membuka pintu kamar Leo. Ranjang queen size memenuhi sebagian besar ruang, seprai biru laut terlipat rapi tanpa kerutan. Lemari kecil terisi sedikit pakaian, semuanya berwarna netral. “Ranjangnya kecil,” ujar Leo lagi, semakin gelisah. “Bagaimana kalau kita menginap di hotel saja? Aku bisa—” “Tidak,” potong Wulan tegas namun lembut. Dia menatap Leo, matanya jernih dan tanpa keraguan. “Aku ingin ada di tempat ini. Aku ingin tahu seperti apa suamiku hidup selama ini.” Cara Wulan menyebut dirinya dengan kata 'suamiku' membuat Leo terdiam. Dia menatap Wulan dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. “Kecuali kau tidak menganggapku sebagai istrimu," lanjut Wulan. Wajah Leo menegang. “Tentu saja aku menganggapmu istriku.” “Kalau begitu, kenapa kau memperlakukanku seperti orang asing? Aku tidak keberatan tidur di ranjang ini bersamamu.” Wulan melangkah mendekat ke arah Leo. Leo menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Wulan, aku hanya ingin memberi yang terbaik karena aku tidak ingin kau merasa tidak nyaman.” “Aku merasa nyaman. Ada kau di sini, ” balas Wulan. Leo memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan, menatap Wulan dengan intens. “Baiklah. Aku mengerti.” Dia mengalah. Diam beberapa detik. Lalu Wulan bertanya pelan. “Leo, kenapa kau menikahiku?” Sebuah pertanyaan yang membuat Leo tertegun seketika. “Aku tidak ingat apa pun tentang diriku, aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku dulu dan aku tidak benar-benar yakin apakah yang aku rasakan sekarang adalah cinta. Jika ingatanku kembali, aku mungkin tidak akan pernah sama dengan diriku yang kau kenal dulu,” lanjut Wulan. Leo mendekat dan menangkup wajah Wulan di antara kedua tangannya. “Tidak apa-apa. Aku tidak mencintaimu karena kau mengingatku. Aku mencintaimu karena kau adalah dirimu. Karena sejak awal, aku hanya ingin membuatmu bahagia.” Kali ini Wulan yang tertegun. “Dan kita suami istri, Wulan. Selama kau tidak ingin meninggalkanku… tidak ada yang tidak bisa kupahami,” lanjut Leo. Dunia seakan berhenti sejenak. Lalu, tanpa memberi waktu untuk bernapas, Leo menunduk dan mencium Wulan. Ciuman itu bukan lagi kehangatan manis seperti saat di klinik. Ini berbeda—lebih panas, lebih dalam, lebih menuntut. Tangan Leo bergerak ke pinggang Wulan, menarik tubuhnya mendekat hingga tidak ada jarak tersisa di antara mereka. Napas Wulan tersengal dan dia terisak kecil, tubuhnya melemah di pelukan pria itu. Wulan menggenggam kerah Leo, membalas ciuman itu tanpa sempat memikirkan apa pun. Ketika mereka hampir melangkah lebih jauh, Leo tiba-tiba berhenti. Dia menarik dirinya menjauh dengan napas memburu, pergolakan terlihat di wajah tampannya. “Tidak boleh,” katanya pelan namun tegas. Wulan menatapnya bingung, bibirnya masih bergetar. “Kenapa kau berhenti?” Leo mengelus pipi Wulan lembut. “Karena aku tidak ingin kau merasa terpaksa. Aku tahu… perasaanmu belum benar-benar kembali padaku. Aku tidak ingin kau melayaniku hanya karena kau pikir itu kewajiban sebagai istri.” Dia mengecup pipi Wulan. Lalu keningnya. Lalu dahi. Itulah caranya menunjukkan betapa dia menyayangi istrinya tersebut. “Aku akan tidur di sofa dan kau tidur di ranjang. Istirahatlah,” lanjut Leo saat Wulan sendiri bahkan belum pulih dari kebimbangan yang dirasakannya saat ini. Leo melangkah keluar kamar meninggalkan Wulan yang masih membeku. # Raden Mas Rakadita atau yang akrab disapa Raka. Duda yang selama dua tahun ini membangun citra menyedihkan setelah kematian istri yang sangat disayanginya dan meraih simpat publik. Meski begitu, saat ini dia malah tengah asyik merengkuh tubuh seorang wanita dengan penuh hasrat. Tirai kamar hotel itu tertutup rapat, sofa berantakan dengan sisa-sisa anggur dan pakaian yang tercecer di lantai. Wanita itu—Mitha—mendekap tubuh Raka dengan bibir tersenyum puas. “Raka, kapan kau akan menikahiku? Istrimu sudah meninggal lebih dari dua tahun dan kau sudah berjanji padaku,” bisiknya manja. Raka mendesah panjang, muak mendengar tuntutan yang sama untuk kesekian kalinya dari wanita yang sudah dia kencani bahkan sebelum dia menikahi Nayaka, almarhum istrinya. “Ini belum waktunya sayang,” jawabnya acuh. Mitha memajukan bibirnya. “ Kenapa belum? Bukankah kita sudah bersama bertahun-tahun? Bukankah kau bilang...” Raka menatap tajam. “Karena mantan istriku berasal dari keluarga terpandang. Dia memang hanya anak angkat, tapi tetap saja keluarganya adalah keluarga terhormat. Lagipula, orang-orang masih membicarakan kecelakaan itu. Jalan sepi, kecelakaan tunggal, waktu yang janggal, terlalu banyak gosip.” Potongnya. Mitha meringis. “ Aku harus menunggu lagi?” “Ya, kalau kau ingin posisi sebagai istriku menggantikan Nayaka," ujar Raka. Rakadita yang sebenarnya tidak pernah berduka untuk kematian Nayaka. Dia tidak sedih. Yang dia pedulikan hanya seperti apa citranya di mata publik. Itulah yang penting untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD