4. Burung Pemangsa

2621 Words
"Selamat pagi, bocil. Apa tidur kamu nyenyak, huh?" Calandra menyapa Aluna yang tampaknya baru saja bangun. Dia baru beres bersiap setelah tadi pagi sudah membuat sarapan sederhana, nasi goreng sosis ditemani dengan telur mata sapi. Semalam mereka tidur hampir mencapai tengah malam, Aluna senang sekali bercerita pada Calandra. Mulai dari kegiatannya di sekolah, bermain di rumah, sampai memberitahu beberapa hal pribadi. Ternyata anak itu kasihan sekali, Aluna tidak mempunyai ibu sejak dia kecil. Kemudian Papanya sibuk kerja dan lebih menyayangi kekasihnya yang Aluna sebut Tante Fara. Calandra sangat kaget saat Aluna berkata jika ibunya berada di pemakaman umum dekat kediaman Ryder. Anak yang malang. Kata Aluna, setiap kali dia merindukan ibunya, Kenny selalu mengantarkan ke pemakaman. Aluna juga senang bisa tidur ditemani Calandra, tidak segan meminta dipeluk dan dielus punggungnya. Dulu Kenny memanjakannya seperti itu, tapi sekarang sudah jarang. Aluna sering tidur sendirian, kadang juga diteman Mbok Neni sambil dibacakan dongeng pengantar tidur. Pantas saja kadang Kenny terlihat ceroboh menjaga Aluna yang sedang aktif begini, dia membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak. Tapi tetap saja tidak bisa dibenarkan jika sekali lagi Kenny membiarkan Aluna berada di jalan sendirian. Banyak pengendara yang melaju kencang, Aluna masih belum mengerti bagaimana bahayanya jika tertabrak. Bukan hanya luka, nyawa pun bisa melayang. "Huum, nyenyak banget, Nona Cala." Mengusap mata dan menguap. Wajahnya masih lesu, mencoba mengumpulkan nyawa. "Aku mau mandi, mau berangkat sekolah. Semalam Papa janji mau nganter aku ke sekolah pagi ini kan?" "Iya. Ayo sini aku mandiin biar cepat. Setelah itu kita sarapan." "Cilla di mana?" "Di kamarnya lagi bersiap mau berangkat sekolah juga." Aluna sengaja tidak memanggil Cilla dengan sebutan Kakak, kata Calandra biar lebih akrab saja. Lagian mereka berdua sama imutnya, selalu menggemaskan kalau bercanda. "Nona Cala masak apa?" tanya Aluna sambil dibantu Calandra melepaskan pakaian tidurnya. Mereka melangkah ke kamar mandi bersama. "Kamar mandi aku di rumah banyak, kok kamar mandi Nona Cala cuman ada di dapur? Punya satu doang ya?" Namanya anak kecil, banyak rasa penasarannya. Calandra sangat memaklumi setiap pertanyaan Aluna yang terdengar membandingkan kediaman mewahnya dengan rumah kontrakan sempit milik Calandra. Tidak ada yang salah, kadang malah terdengar lucu. Dia kelewatan polos. "Iya, cuman satu. Tapi nggak pa-pa, kan yang tinggal di sini cuman aku sama Cilla. Bisa gantian kalau mau pake kamar mandinya." Aluna mengangguk paham, menutup mata saat Calandra membasuh kepalanya yang sudah diberi shampo anak. Kenny membawakan semua kebutuhan Aluna, tanpa terkecuali. Entah dia sendiri yang menyiapkan atau asisten rumah tangga, tapi ini sangat bagus. Terlihat jika Aluna begitu diperhatikan meski tanpa sosok seorang ibu. "Perih matanya kena busa shampo, Aluna?" "Enggak, Nona Cala. Biar aku aja, aku bisa gosok gigi sendiri." Lalu menggosok giginya dengan rapi dari bagian luar hingga ke dalam. Meski banyak ngeselinnya, tapi Kenny tidak gagal menjadi seorang Papa yang baik. Terlihat kebiasaan Aluna dari hal paling kecil, sebelum tidur dia tidak lupa berdoa. "Sudah, Nona Cala. Apa gigiku sudah bersih?" Membuka mulutnya, menunjukkan pada Calandra. "Sudah. Anak pintar. Ayo bersiap, nanti telat ke sekolahnya." Calandra menggendong Aluna yang hanya berbalut handuk putih. "Pagi, Cilla. Tunggu aku ya, jangan sarapan duluan." Aluna tersenyum ketika melihat Cilla keluar kamar. "Aku sudah mandi, wangi." "Pinter ya mandi pagi-pagi. Nggak dingin?" "Di sini airnya dingin, aku kedinginan. Kalau di rumah airnya hangat. Aku suka berendam sambil main bebek-bebek." Cilla terkekeh. "Centil banget anak kecil satu ini. Udah full batrainya ya, jadi ngomongnya lancar." Semalam Aluna mengantuk sekali, jadi sedikit kurang nyambung saat diajak bicara oleh Cilla. Calandra menyuruh Aluna berdiri sembari dia mengoleskan minyak penghangat ke beberapa bagian tubuh anak itu. "Biar kamu nggak masuk angin dan wangi bayi juga. Biasanya kamu kalau habis mandi di rumah kayak gini nggak?" Cuaca lagi mendung, anginnya dingin sejak semalam. Calandra takut anak itu sakit perut. "Enggak." "Rambutnya dibiarkan kering dulu, nanti aku kuncirin ya?" "Oke, Nona Cala. Makasih ya." Usai bersiap, Calandra mengajak Aluna ke dapur, sarapan bersama Cilla juga. "Cilla, kamu kok nggak main hp?" Aluna mengernyit bingung. Sebab orang-orang di sekelilingnya selalu sibuk dengan ponsel. "Nona Cala juga nggak punya hp ya?" tanyanya sambil disuapi Calandra. "Punya. Cuman nggak sebagus hp kamu. Kalau Cilla memang belum punya hp, kami pakai satu hp bersama." "Oh gitu ya. Oke!" Mengangguk saja pada akhirnya. "Nasi gorengnya enak. Nona Cala yang masak ya?" Calandra mengiyakan. "Hebat, nanti kalau main ke rumah, Nona Cala bisa masak berdua sama Mbok Neni." "Nanti ya kapan-kapan. Aku lagi sibuk kerja, nyari duit biar bisa kaya raya." Aluna hanya mengangguk. "Rumah Nona Cala kecil, tapi aku suka kok. Cuman kalau malam di sini berisik, aku nggak suka suara katak dan jangkrik. Untung Nona Cala peluk aku, jadi aku bisa tidur nyenyak." "Biasanya kalau ada bunyi katak, artinya mau hujan." "Tadi malam hujan?" "Iya, tapi cuman sebentar. Tadi subuh sudah teduh. Ayo makan dulu baru ngobrol, nanti keburu dijemput Papa kamu." "Nona Cala dan Cilla bareng aja berangkatnya sama Papa. Biar nggak jalan kaki." Cilla tersenyum singkat. "Ceriwisnya. Kamu masih kecil, tapi sudah pinter banget ya. Sekolah yang bener, biar jadi orang sukses. Ngomong-ngomong, sekolah aku dekat. Nggak perlu pakai mobil, jalan kaki nggak capek kok." "Nona Cala aja bareng aku berangkatnya. Biar nggak telat kerja. Katanya kemarin Nona Cala buru-buru biar nggak dimarahin orang kan?" Calandra mengusap puncak kepala Aluna. "Dikasih makan apa kamu dari kecil, huh? Lancar banget ngomongnya." Cilla tertawa geli mendengar celetukan kakaknya, begitu pun dengan Aluna. "Kamu nggak usah mikirin aku, aku bisa berangkat kerja sendiri. Lagian nanti aku bareng Bella, jalan kaki berdua." "Siapa Bella? Nona Cala banyak teman ya?" "Enggak, temanku cuman Bella." "Temanku banyak. Oh iya, kapan Nona Cala main ke rumah? Aku mau cepat-cepat belajar piano. Jangan takut, Papa nggak jahat kok. Nanti aku minta uang sama Papa, kasih ke Nona Cala. Mau kan?" Calandra tersenyum tipis seraya menghela napas. Bahkan anak sekecil Aluna paham jika Calandra begitu menginginkan uang. Setiap apa saja yang dia lakukan, sebisa mungkin harus menghasilkan kertas bernominal. "Oke, liat nanti deh kalau aku nggak banyak kerjaan." "Nanti sore gimana? Biar aku jemput. Sekalian menginap. Kita gantian." "Eh, enggak bisa. Beda cerita, bocil. Kalau kamu menginap di sini mah sah-sah aja. Beda kalau aku yang tidur di rumah kamu, nanti malah digrebek pak RT. Kurang pantas dilihat orang sana." "Oh gitu ya? Oke deh." Selesai sarapan, Calandra menguncir rapi rambut Aluna. Menyiapkan buku dan peralatan sekolah anak itu ke dalam tas, lalu memasukkan barang yang lain ke tas yang berbeda. Nanti semuanya akan dibawa oleh Kenny yang sebentar lagi datang menjemput. Saat pintu depan di ketuk, Aluna langsung bersorak senang. Dia berlarian membukakan pintu. "Papa ...!" serunya riang sebelum akhirnya senyum itu luntur dari wajahnya. "Ih, kok Pak Didi yang datang? Papa ke mana?" Pak Didi tersenyum hangat, menyapa Aluna dan Calandra. "Tuan Kenny lagi tidak berada di rumah, Nona Aluna. Katanya Mbak Fardilla demam, sejak semalam Tuan menginap di apartemennya. Hari ini berangkat sama Pak Didi dulu ya?" Wajah Aluna menyendu, menatap Calandra masam. "Lihat kan, Papa nggak sayang aku!" katanya menahan tangis. "Aku nggak suka Tante Fara, dia mau ambil Papa." Memeluk Calandra, menyandarkan kepalanya di sana. Tidak lama, terdengar isak tangis. "Sudah, nggak pa-pa. Ngapain kamu nangis? Nggak boleh cengeng. Ayo aku temenin berangkat ke sekolah. Aku masih punya banyak waktu sebelum ke pabrik." Menyeka air mata Aluna, mengusap punggung anak itu mencoba menenangkan. "Malu kelihatan temen kalau berangkat sekolahnya sambil nangis." "Nona Cala libur kerja aja, tungguin aku di sekolah ya? Nanti pulangnya kita langsung ke rumah, mungkin Papa nggak bakal pulang sampai besok." "Eh, kok bisa gitu?" "Papa sering kok nggak pulang. Tante Fara yang suruh menginap." Calandra menggaruk pelipisnya, merasa kasihan. "Aish, nanti kalau ketemu Papa kamu, pengen kupukul rasanya. Bisa-bisanya dia gilaa wanita begini sampai lupa anak." Mendengkus jengkel. Dia belum menjadi seorang ibu, tapi sudah mengerti bagaimana perasaan Aluna. Sendirian itu sepi, benar-benar tidak nyaman. "Oke, aku libur kerja hari ini demi kamu." Aluna tersenyum, mengusap pipi Calandra dengan sayang. "Aku ambil tas dulu. Kamu jangan nangis lagi." Setelah itu Calandra pamit pada Cilla berangkat duluan. Memberi adiknya uang saku. "Nanti kalau aku nggak pulang sampai malam, kunci pintu dan jangan ditungguin ya. Papa Aluna emang kurang ajar, dia ninggalin anaknya demi wanita lain. Aku kemungkinan akan menginap di rumah mereka. Kesian bocil itu, aku nggak tega liat wajah polos dia." "Iya, Kak. Kalau Papanya marah-marah atau ngatain Kakak lagi kayak semalam, marahin balik. Ganteng doang, tapi nggak ada akhlaknya." Cilla mencibir sebal. Awalnya dia memang terpesona melihat ketampanan Kenny, tapi setelah tahu sikap pria itu emosi Cilla langsung tersulut. Kenny terus-terusan mencurigai dan mengatai Kakaknya wanita mata duitan. Calandra tertawa geli. "Iya, kamu tenang aja. Gampang ngehadapin manusia kayak Papanya Aluna. Kecil!" Menjentikkan ujung jari, mengedipkan mata jahil. "Kakak berangkat dulu, kesian nanti kalau anak itu telat masuk sekolah. Kamu jangan lupa bawa bekalnya. Hati-hati di jalan, jangan lupa kunci pintu. Uang tunggakan sekolah tadi disetorkan, sisanya nanti kita cicil lagi." "Makasih, Kak. Sehat-sehat ya, aku nggak mau Kakak kecapean. Aku cuman punya Kakak di dunia ini." Memeluk Calandra dengan rasa haru. Paham bagaimana perjuangan Kakaknya mendapatkan uang, rela dikatai Kenny macam-macam agar tunggakan sekolahnya lunas. *** Sepulangnya dari sekolah, Aluna mengajak Calandra menuju lantai atas--ruang bermain--untuk mengambil keranjang mainan yang sudah dibereskan Mbok Neni. Berniat membawa ke teras kolam renang. Selain berjanji akan mengajari bermain piano, Calandra juga akan mengajari Aluna melukis. Kebisaan yang satu ini Calandra dapatkan dari teman dekatnya. Belum terlalu hebat, tapi sebagai pemula Calandra lumayan berbakat. "Nona Cala, cepat ke sini!" Aluna segera mendatangi Calandra yang baru saja tiba di undakan tangga paling atas. Menarik wanita itu mendekati kamar Papanya. "Coba dengar, siapa yang lagi nangis? Apa itu suara kuntilanak?" Calandra langsung membelalak kaget, kemudian segera membawa Aluna menjauh dari sana. "Sialan pria satu itu!" umpatnya dalam hati. "Apa sudah gilaa bercintaa siang bolong begini dengan keadaan pintu kamar nggak terkunci rapat?" "Nona Cala, kenapa kita turun ke bawah? Mainannya ada di lantai atas. Apa tadi beneran suara kuntilanak yang bisa makan anak kecil kayak aku?" tanyanya penasaran, sesekali masih menoleh ke arah sana. "Apa kamu sering mendengar suara kayak gini?" "Enggak kok. Paling cuman dua." "Dua kali maksudnya?" Aluna mengangguk polos. "Kata Papa itu suara kuntilanak." Calandra tersedak. "Itu bukan suara kuntilanak." Dasar pembual ulung! Calandra begitu murka melihat kelakuan Kenny. Ternyata dia lebih dari kata menyebalkan. "Terus apa?" "Ada yang lagi berburu burung." Saking kesalnya, Calandra menjawab asal. Burung apa? Terdengar ambigu! "Iyakah? Burung apa yang ada di lantai atas? Apa ada anak-anaknya juga di sana?" "Aish. Pokoknya burung pemangsa. Kamu kalau dengar suara kayak gitu, teriak aja yang kenceng. Biar burungnya pergi dan nggak jadi berburu mangsa di sini." Sungguh, Calandra akan gilaa sekarang juga. Jujur saja, ini juga pertama kalinya dia mendengar desahan wanita yang sedang bercintaa. Apa semengerikan itu? Bahkan bulu kuduknya sampai terangkat semua. Calandra tiba-tiba merinding. Untung tadi dia tidak sengaja mengintip, kalau tidak bisa mati berdiri! Aluna duduk di pangkuan Calandra. "Aku takut. Nanti kalau Papa datang, aku aduin ke Papa aja. Biar nanti dicek lagi atapnya, takut burungnya tinggal di sana." Calandra mengusap kening yang tiba-tiba berkeringat. Apa begini hubungan orang dewasa? Dasar gatal dan tidak tahu aturan. "Ayo kita latihan main piano dulu. Nanti kalau burungnya udah nggak kedengaran lagi, kita ambil peralatan menggambar kamu." "Nona Cala beneran menginap kan? Aku mau kita bercerita lagi. Nona Cala belum cerita, kita janji bakal jadi teman kan?" Apa Calandra bisa menginap dan berakhir bertemu Kenny? Membayangkan wajah pria itu saja rasanya menggelikan. "Nggak janji, lihat nanti deh. Kali aja nanti malam aku ada kerjaan." "Kerja apa malam-malam, Nona Cala?" "Kerja apa saja boleh, yang penting ada uangnya." "Nanti aku minta uang sama Papa, kasih ke Nona Cala. Tapi syaratnya harus menginap. Boleh kan, Nona Cala?" Calandra menghela napas kasar. "Percuma ngibul anak sepintar kamu. Ada terus akalnya." Mengusap puncak kepala Aluna gemas, menyuruh anak itu duduk dan menunjukkan permainan pianonya. "Kamu mulai duluan, suka lagu apa?" "Aku cuman bisa lagu bintang kecil. Aku belum sehebat temanku. Mau denger nggak? Tapi aku pelan-pelan mainnya, nggak bisa cepat-cepat." "Boleh. Coba mainkan, nanti kita belajar lagu lain. Akan kucatatkan di kertas ya, nanti taruh di depan sini biar kamu bisa sambil nyontek catatannya sambil ngehapalin." "Oke, Nona Cala." Aluna perlahan mulai menekan tuts piano, mengulas senyum ke arah Calandra yang menyaksikan permainannya. Hanya butuh beberapa menit, lagu bintang kecil selesai mengalun cukup merdu. Permainan anak itu tidak terlalu buruk, sering latihan akan membuat jemarinya terbiasa bergerak lincah di atas tuts. "Hebatnya ...!" Calandra memberikan tepuk tangan, membuat Aluna tertawa geli. Dia memeluk perut Calandra, mengucapkan terima kasih karena sudah memberikan pujian. "Giliran Nona Cala yang main. Mau lagu apa?" "Mungkin lagu bunda. Biasanya Cilla seneng denger alunan yang menyentuh. Apalagi pas lagi kangen orangtua." "Boleh banget, Nona Cala. Pasti Bundanya Nona Cala bangga, Cilla juga pinter sekolahnya. Nona Cala emang hebat!" Memberikan dua jempol, mempersilakan Calandra duduk di kursinya. "Aku bakal dengerin, pasti merdu banget. Nona Cala mau sambil nyanyi nggak?" "Suara aku nggak terlalu bagus." "Iyakah? Bohong nih!" Calandra terkekeh. "Oke, kita coba ya." Lantas memainkan piano, melodi mengalun indah sekali. Aluna sampai terpesona dengan suara dan gerakan lincah jemari Calandra saat berada di atas tuts. Tanpa sadar, alunan lagu yang Calandra mainkan membuat dua insan yang baru saja bersenang-senang menyadari keberadaannya. "Siapa yang main piano di bawah, Sayang? Apa kamu sudah mencarikan guru les piano Aluna?" Faradilla kembali mengenakan pakaian setelah dari kamar mandi, merapikan rambutnya seperti sedia kala. Kenny mengenakan kaos hitam polos, merapikan penampilannya. Rahang kokoh pria itu terlihat tegas, semakin tampan ketika dia mengulas senyum. "Kamu kalau capek istirahat aja. Biar aku yang lihat ke bawah." Mengusap puncak kepala Faradilla, mengecup pipinya. "Sini aku tutupin dulu tanda merahnya, kebablasan tadi." Mengambil salah satu make up miliknya, mengusapkan pada tanda kepemilikan di leher Kenny. Dia tersenyum bangga, pria itu berhasil jatuh ke dalam pelukannya. Sangat sulit mendapatkan Kenny, apalagi bersaing dengan ribuan wanita di luar sana. "Udah, ganteng banget." "Mau ikut ke bawah sekalian ngisi perut? Dari tadi kamu susah disuruh makan, nanti malah nggak sembuh-sembuh." "Boleh deh, aku laper banget." Kenny memeluk pinggang Faradilla, melangkah bersama menuju lantai bawah. "Kenapa berhenti, Sayang?" tanya Faradilla bingung. Tatapan Kenny memusat pada Calandra yang baru saja selesai memainkan lagunya. Aluna bertepuk tangan riang, saling berpelukan dengan senyum mengembang. Hei, ini pemandangan sangat langka. Bahkan saat bersama Faradilla, Aluna tidak pernah sebahagia itu. Padahal mereka mengenal sudah cukup lama. "Sayang ...?" Faradilla menyentuh bahu Kenny, lalu memicingkan matanya mengenali siapa wanita yang ada di bawah saja. "Ada apa?" "Nggak pa-pa. Ternyata Aluna sudah pulang sekolah. Jam berapa ini? Kita terlalu lama di kamar sampai lupa waktu." Menaikkan bahu, lalu tersenyum tipis. Faradilla mencubit pinggang Kenny. "Kamu sih jahil. Niatnya cuman mau ngerapiin cambang, kamu malah ngegodain aku mulu." "Papa ...!" panggilan Aluna menghentikan obrolan keduanya. "Kapan Papa datang? Kok aku nggak liat Papa lewat sini?" "Papa sudah datang sejak tadi. Lagi istirahat nemenin Tante Fara di kamar." Aluna mengernyit keheranan. "Apa Papa mendengar suara burung di dekat kamar Papa?" Kenny menatap Faradilla sebentar. "Burung apa?" "Tadi aku dengar suara orang nangis. Aku pikir kuntilanak, ternyata kata Nona Cala itu suara burung pemangsa. Iya kan, Nona Cala?" Calandra langsung membulatkan mata, berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. "Bocil, ayo kita ke teras kolam renang. Tadi kelinci kamu lari ke arah sana. Takutnya kecebur dan tenggelam. Ayo!" Aluna mengangguk, segera berlarian mengejar kelincinya. "Apa mereka mendengar kita, Sayang? Tadi pintu kamar kamu emang nggak tertutup rapat. Aku malu." Tapi ada untungnya, Faradilla menunjukkan bagaimana posisi dia di kediaman Ryder. Kenny miliknya, tidak ada yang boleh menggoda kekasihnya. Kenny mengusap wajah. "Lupakanlah. Ayo kita ke dapur, kamu harus makan dulu." Berusaha bersikap santai meski sebenarnya ketar-ketir. Setelah ini Kenny harus bicara dengan wanita mata duitan itu. Dia tidak boleh bicara sembarangan pada Aluna, apalagi sampai memberitahu yang tidak-tidak hingga meracuni isi kepala anak kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD