The Farewell | 3

1712 Words
Pagi-pagi sekali, Nurin sudah siap dengan pakaian hari kedua pengenalan lingkungan sekolah, rok SMA Antares dipadukan dengan atasan kaos hitam lengan pendek. Sambil menenteng sepasang sepatu dan tas putih tersampir di salah satu punggungnya melangkah menuju dapur. Nurin meletakkan tasnya di kursi, sedangkan sepatunya di lantai kemudian menarik kursi bar dapur. Menopang dagu sambil memperhatikan Bu Abraham dan Mbok Ina di balik pantry sedang memasak beberapa macam menu masakan pagi ini. Nurin menuangkan air ke dalam gelas secara penuh, meminumnya hingga setengah bagian. Tangan kanannya meraih botol selai cokelat, mengoleskan selai itu ke atas potongan roti segi empatnya. Sambil mengunyah roti, Nurin teringat sesuatu yang hampir saja dia lupakan. "Oh, astaga!" Menepuk jidatnya pelan, helaan napas terdengar darinya sebelum berlari cepat kembali ke kamar. Peralatan yang Nurin beli kemarin ketinggalan di kamar. "Ah, untung aja ingat, Rin!" kata Nurin pada dirinya sendiri, lega. Kalau saja sampai lupa membawanya, Nurin pasti akan mendapat hukuman oleh kakak pendamping. Dan pastinya membuat malu diri sendiri di hadapan teman-teman yang lain. "Bunda, tanaman buah mangga sama bunga melati jakarta Irin kemarin ditaruh di mana?" tanya Nurin pada Bu Abraham. "Di garasi, Sayang. Coba kamu cek dulu, kemarin Pak Supri yang menyimpannya." Nurin mengangguk. Dia meletakkan kantong plastik berisi peralatan kebersihan kemarin ke atas meja, melangkah lebar menuju garasi. Nurin melihat Pak Supri yang sedang membersihkan mobil ayahnya. "Pak Supri, tanaman Irin kemarin ditaruh di mana? Kata Bunda, Pak Supri yang nyimpan?" Pak Supri mengangguk, menunjukkan Nurin di mana kemarin dia meletakkan kedua tanaman itu. Pak Supri membantu Nurin mewadahi tanamannya ke dalam kantong plastik, kemudian Nurin meletakkan di samping motornya--agar nanti Nurin tak kelupaan lagi membawanya. Biasalah gadis itu, belum tua sudah sangat pelupa. "Lho, Neng Irin berangkat pakai motor hari ini?" tanya Pak Supri pada Nurin yang sedang membasuh tangannya. "Iya, Pak. Enakan pakai motor sendiri berangkatnya." Nurin mengangkat bahu cuek. "Tapi, Neng, kata Ibu ... biar saya saja yang mengantarkan. Lagian 'kan hari ini bawaan Neng Irin banyak." Nurin diam beberapa saat, benar juga. Dia akan kesulitan membawa barang-barangnya, dan berisiko untuk keselamatannya di jalan nanti. "Ya sudah deh, Pak, Irin nurut kata bunda aja. Masukin tanaman ini ke dalam mobil ya, Pak, biar gak kelupaan dibawa nanti." Pak Supri mengangguk mengerti, langsung menaruh kedua tanaman itu ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Sayang?" tanya Bu Abraham pada Nurin sesampainya di ruang makan. Gadis itu menarik kursi meja makannya, siap memulai sarapan yang sudah Bu Abraham siapkan untuknya. "Sudah, Bun." "Ada yang ketinggalan lagi, Sayang?" Nurin menggeleng. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang ketinggalan untuk dibawanya. "Diinget-inget lagi, siapa tahu masih ada. Nanti kalau sudah di sekolah, kamu gak bisa pulang lagi untuk mengambilnya. Pasti kena hukuman 'kan kalau kelupaan membawa salah satu dari barang-barang itu?" "Kayaknya udah gak ada deh, Bun. Sudah lengkap." Bu Abraham mengangguk. Tidak lama kemudian Pak Abaraham ikut bergabung bersama mereka. "Pagi, Ayah." Nurin menyapa dengan senyuman lebarnya. "Pagi, Sayang. Berangkat sama Pak Supri kan hari ini?" "Iya, Yah, untuk hari ini. Padahal pengin berangkat sendiri, tapi bawaan Irin banyak jadi agak susah. Besok aja berangkat sendiri pakai motor." Pak Abraham menggeleng pelan. Sudah berapa kali dia menegur Nurin untuk tidak menggunakan motor sendiri ke sekolah, anak gadisnya itu sering sekali jatuh akibat kecerobohannya saat mengendarai motor. Entah menyerempet, diserempet, atau jatuh sendiri tanpa sebab. Pak Abraham sangat mengkhawatirkan keadaan Nurin. Ingat, dia putri satu-satunya. Anak sematawayang keluarga Abraham yang begitu disayangi. "Ayah gak terlalu senang kamu mengendarai motor sendiri. Terlalu besar bahayanya. Apalagi dengan melihat keadaan kamu yang cerobohnya minta ampun." Tanpa basa-basi, Pak Abraham mengutarakan kekhawatirannya. Nurin terkekeh. Dia tidak menyangkal ucapan ayahnya. Semua itu benar. Dia memang sangat ceroboh. "Ayah tenang aja, Irin sudah jago bawa motornya. Jangan terlalu khawatir, aman kok, aman." Nurin menunjukkan jari jempolnya, memperlihatkan dirinya yang baik-baik saja, tidak akan terjadi sesuatu yang berbahaya. Nurin sudah berjanji akan berhati-hati. "Sudah selesai. Irin duluan ya, Yah, takut telat soalnya." Nurin menyalami ayah dan ibunya secara bergantian. "Hati-hati, Nak, jangan sampai jatuh lagi kayak kemarin." Bu Abraham memperingati Nurin, hal ini selalu dia lakukan ketika putrinya tersebut akan bepergian ke mana pun. Nurin membalik badan, mengacungkan kedua jempolnya. "Baik, Bu Abraham!" Sebelum Bu Abraham mengomel mendengar panggilannya tadi, Nurin segera berlari hingga tubuhnya menghilang dari balik tembok pemisah antara dapur dan ruang tengah. **** Nurin melirik jam tangan hitam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan jam tujuh WITA, yang artinya lima belas menit lagi dia harus tiba di sekolah. Lucu kalau seandainya hari ini dia telat cuman gara-gara macet, pasti memalukan sekali mendapat hukuman di depan anak-anak yang lain. Nurin menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran jeleknya. "Masih pagi, Nurin, jangan memikirkan hal yang gak baik. Nanti terjadi beneran baru tahu rasa!" Nurin menggerutu pada dirinya sendiri. Kebiasaan jeleknya tidak pernah hilang, sering kali memikirkan kemungkinan buruk mengenai sesuatu hal yang belum terjadi secara berlebihan. Oh ayolah, semua akan baik-baik saja. "Pak, kok tumben macet banget begini. Ada kecelakaan di depan sana?" tanya Nurin pada Pak Supri. "Sepertinya begitu, Neng." Nurin menghembuskan napas. Dia melihat ke arah kirinya, pengguna motor bisa tetap bergerak melalui jalan pintas--keluar masuk gang. Coba saja kalau tadi dia berangkat dengan motor kesayangannya, mungkin sudah sampai di sekolah. "Irin keluar bentar, Pak, mau lihat apa yang sedang terjadi di depan." Lantas keluar dari dalam mobil, sebelum Pak Supri berhasil mencegahnya. Nurin berjalan melalui sela-sela mobil. Benar saja, di depan sana ada kecelakaan antara pengguna motor dan sepeda yang dikendarai oleh seorang ibu-ibu. Ibu yang mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya itu sepertinya baru saja berbelanja dari pasar, terlihat dari sayuran berhamburan di aspal dan yang masih berada dalam keranjang sepedanya. Tidak berniat lama-lama di sana, Nurin memutuskan kembali ke mobil. Baru saja akan masuk ke dalam, Nurin melihat seorang cowok menggunakan seragam SMA Antares--mengendarai motor vespa primavera hitamnya dengan santai. Sebuah ide cemerlang tiba-tiba muncul di kepala, Nurin langsung menghentikan motor cowok itu dengan merentangkan kedua tangan. "Siapa pun kamu ... aku nebeng, ya?!" ucap Nurin kemudian secepat kilat dia mengambil tas dan barang-barang yang dia bawa. Nurin tidak memberikan celah untuk cowok itu menolaknya. Kedua tanamannya langsung Nurin letakkan pada bagian depan motor. "Pak Supri pulang aja, Irin berangkat bareng dia aja. Dadah, Pak!" Cowok yang sedari tadi diam itu akhirnya angkat bicara, "Bentar, bentar! Siapa yang ngizinin lo ikut gue?" tanyanya dengan nada tidak terima. Nurin sudah naik ke atas motor, menyuruhnya segera melaju menuju sekolah. "Plis, jangan nanya sekarang, ya. Waktu tinggal sedikit lagi, tolong jalankan motornya cepat! Nanti aku ganti uang bensinnya." Nurin kembali merengek, meminta segera diantarkan ke sekolah. Dengan sangat terpaksa, cowok itu melajukan motornya dari pada berkelahi dan menimbulkan keributan di tengah jalan. Sepanjang perjalanan tidak ada yang memulai obrolan di antara mereka, hanya terdengar suara kebisingan dari pengguna jalan. Nurin selalu mengalihkan pandangannya ke arah lain--pura-pura tidak melihat ketika tak sengaja pandangan mereka bertemu melalui kaca spion. Cowok itu tak berhenti melayangkan tatapan tak suka pada Nurin, ya seperti itu tatapan tidak suka. Belum lagi dengan mimik wajahnya yang datar sekali, Nurin berkali-kali menggerutu dalam hati. "Gak pa-pa malu sebentar, Rin, yang penting sampai ke sekolah tepat waktu." Nurin mencoba menenangkan diri sendiri. Sesampainya di sekolah, senyum Nurin merekah. Helaan napas panjang dan lega terdengar jelas darinya. Nurin tidak terlambat, dia tiba di sekolah dua menit sebelum jam masuk yang ditentukan pada jadwal--jam tujuh lewat lima belas. Di parkiran Nurin bertemu Clara, keduanya saling menyapa. Clara mendekati Nurin, lalu menyipitkan matanya seolah meminta penjelasan mengenai cowok tampan yang sedang menatap datar ke arah mereka itu. Dengan ekspresi tanpa dosa, Nurin berkata, "Terima kasih ya tumpangannya, nanti jam istirahat aku traktir batagor di kantin." Setelah itu, Nurin langsung mengajak Clara pergi menuju kelas. Sekitar 5 menit lagi mereka akan berkumpul di lapangan seperti kemarin untuk mendengarkan beberapa arahan dari sang ketua osis mengenai kegiatan hari ini. "Lo berangkat sama siapa, huh?" tanya Clara di sela-sela langkahan mereka. Nurin mendesis sebal, Clara selalu bertanya pada waktu yang tidak tepat. "Nanti aja nanyanya, jalan yang benar dulu nanti gue jatoh lagi." "Ye, lo mah gitu!" "Gue juga gak tau namanya siapa. Kebetulan ketemu di jalan, gue langsung numpang aja. Banyak akal kan gue?" Nurin menaik turunkan alisnya. Apa dengan memaksa orang tak dikenal bisa disebut ide cemerlang? Huft! Nurin memang berbeda. Clara menaruh barang-barang mereka di atas meja. "Tapi gue rasa ada yang aneh deh. Lo sadar gak sih pakaian dia hari ini beda sama kita? Dia pakai seragam lengkap, yang berarti bukan siswa baru seangkatan kit--" Suara ketua osis menggunakan microphone menggema seantero sekolah Antares. Membuat anak-anak berlarian menuju lapangan, berbaris rapih sesuai kelas mereka masing-masing. Selama masa pengenalan lingkungan sekolah yang masuk hanyalah murid baru, anggota OSIS dan MPK, anak-anak Pramuka serta PMR. Mungkin beberapa kelas 12 juga hadir--yang memiliki peran penting selama kegiatan PLS berlangsung. Mata Nurin melebar sempurna. Dia menyenggol lengan Clara yang berada di sampingnya. "Kok cowok datar tadi baris di depan sana. Kira-kira menurut lo, dia menjabat sebagai apa?" bisik Nurin. "Sudah gue bilang tadi, dia bukan seangkatan kita," cibir Clara. Nurin memutar bola matanya malas. Mana dia tahu? Ah bodoamat, yang penting Nurin sampai sekolah dengan selamat. Ketua osis selesai memberitahu beberapa kegiatan yang akan mereka lakukan hari ini, kemudian berlanjut mengenalkan salah seorang yang baru saja bergabung hari ini--karena kemarin dia sedang berhalangan hadir. "Halo, semua ...." Anak-anak menyapa balik dengan mengatakan 'Hai'. "Perkenalkan nama saya Alby Putra Bagaskara dari kelas XII IPA 1, selaku ketua Majelis Perwakilan Kelas--MPK. Maaf baru bergabung hari ini, kemarin saya menghadiri rapat forum anak nasional." Alby menyunggingkan senyumnya, membuat rata-rata anak cewek menjerit, mengagumi ketampanannya. "Astaga, ketua MPK, Rin!" Clara sedikit mendorong bahu Nurin. "Gue gak salah lihat kan? Dia bisa senyum juga ternyata, Rin, manis banget!" Clara mengerjapkan matanya berkali-kali, ikut mengagumi sosok seorang Alby. Nurin mendesis. Clara nampak senang bisa mengenal Alby, namun berbeda dengannya yang lebih dominan malu dan takut. "Gue malu banget, Cla, lo malah senang-senang! Ke mana gue taruh muka gue kalau ketemu dia nanti?!" Clara mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu. "Santai, dianya biasa aja tuh." "Biasa, biasa, pala lo! Gue masih ingat banget cara dia natap gue tadi, tajam banget. Kayak gak suka gitu sama gue." Nurin kembali teringat tatapan Alby, lantas bergidik ngeri. "Gue kayak bakteri gitu bagi dia. Jahat banget gak sih dia?" "Menurut lo aja!" Nurin memukul bahu Clara, kesal. "Gak seru!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD