3. Perjanjian

1669 Words
Arka baru  pulang dari kantornya, ia benar-benar sangat lelah dan apalagi pekerjaan yang selalu membuatnya sakit kepala. Pada saat masuk ke rumah, Albert dan Mega sudah menunggu kepulangan putranya. "Damian, Papa ingin bicara sebentar, apa kamu punya waktu?" suara rentan berat dari beliau kepala keluarga. Arka tidak membantah, menuruti kemauan orang tuanya. Sebenarnya dia butuh istirahat secepatnya agar beban yang melelahkan jiwanya bisa ringan sejenak. "Ada apa, Pa. Kalau soal pekerjaan besok saja di bahas. Hari ini Arka ingin istirahat," ucapnya datar "Papa bukan membahas soal pekerjaan," sambung Albert menatap putranya cukup lama. "Lalu?" "Papa sama Mama sudah sepakat menjodohkanmu dengan putri dari sahabat Papa, apa kamu keberatan?" Albert bertanya kepada putranya. Arka menatap wajah beliau seorang kepala keluarga yang tegas, penuh jiwa kepemimpinan. Selama ini dia tidak pernah membantah atau melawan soal kemauan dari pria tua ini. Lama kelamaan sikap orang tuanya semakin bertambah aneh untuk kehidupannya. Boleh dia akui, banyak wanita ingin menjadikan pendamping hidupnya. Tapi, sekarang dia sudah mendapat yang lebih cocok untuknya. Seorang wanita yang pernah dia temui di kantornya. "Apa itu tidak terlalu cepat?" Arka kembali bertanya kepada ayahnya "Usiamu sudah tepat untuk menikah, sampai kapan lagi? Sampai menunggu saya wafat baru kamu menyetujui perjodohan ini? Tidak ada salahnya kamu mencoba berkenalan dengan putri - sahabat Papa," jawab Albert tegas. Arka menarik napas kemudian dia membuang sangat pelan-pelan. Sementara Mega duduk menatap putra satu-satunya. Dia tahu jika putranya akan sulit menerima perjodohan ini. "Terserah Papa saja sebagaimana baiknya, Arka menuruti saja. Tapi, Arka tidak janji kapan bisa menemui wanita pilihan Papa. Papa tahu bagaimana situasi pekerjaan yang sekarang Arka pegang, Arka berharap Papa mengerti juga kehidupan Arka jalani," ungkapnya kemudian meranjak pergi dari tempat itu. Albert tidak membalas ungkapan dari putranya. Tetap dia akan menjalankan tugas sebagai kepala keluarga yang baik dan terhormat. Demi generasi keharmonisan keluarganya. Arka melemparkan tas kantornya di buka secara paksa dasi mencekik lehernya itu. Dia membuka kain golden pada jendela yang tertutup rapat di selimuti embun malam hari yang dingin. Sebatang rokok dari bungkusan kotak bermerek surya. Di nyalakan api pada tembakau, gempulan asap keluar dari mulut itu. Masih kepikiran bayangan wajah sosok wanita tadi pagi, dia benar penasaran sekali dengan wanita cantik itu. Seorang kurir pengantar koran. Rasanya dia tertarik dengannya. Benar sederhana, Arka memang suka dengan tipe wanita sederhana namun misterius. Ponsel miliknya bergetar, sebuah telepon dari seorang wanita bernama mawar yang pernah berhubungan dengan dirinya beberapa bulan. Karena inilah, Albert sang ayah bersikeras menjodohkan dia kepada wanita pilihannya. Sikap dia yang biasa saja namun tingkah badboy dan playboy tidak bisa di hindarkan. Albert hanya tidak ingin putranya salah memilih wanita sebagai istri atau menantu di dalam keluarga Kalandra. "Ada apa?" "Kamu sekarang ada di mana? Besok jadikan?" "Aku? Biasa di kamar, besok? Jadi..." "Baiklah, kita bermalaman di mana?" "Terserah kamu, dimana saja juga boleh. Asal kamu bahagia." Dia membuang puntung rokok belum habis di isapnya. Dibuka kulkas kecil dalam kamarnya sendiri, minuman kaleng beralkohol berwarna hijau di buka kemudian minum seperempat. Wanita yang menelepon Arka adalah Mawarinda Samarinda, 29 tahun, seorang janda di tinggal suami karena memilih pelakor biadab itu. Pertemuan itu cukup singkat Arka tipe orang penasaran dengan lawan jenis dan mudah jatuh cinta. Karena dia penasaran dengan sikap. absurd dari wanita bernama Mawar ini. Hubungan terlarang pun di lakukan oleh mereka berdua. Itulah prinsip dirinya ketika dia berubah setelah hubungan dengan Mawar di ketahui oleh Albert sang ayah. Maka dari itu Albert terus mendesak segera menyetujui perjodohan ini. Dia tidak mempermasalahkan perjodohan dengan siapa pun. Asal kehidupannya bebas tanpa di kekang. ***** Pagi yang cerah seperti hari biasanya, Velda mendayung sepeda buntut ke kantor penerbit media, setiap hari tanpa libur adalah tugasnya agar kesibukan yang dia dapat membuahkan hasil. Dia turun dari sepedanya, mendorong hingga ke parkiran tempat dimana nongkrong itu. Pos satpam tidak ada lain lagi. Belum ada yang datang, eh, bukan, ada beberapa yang sudah absen. "Selamat pagi, Nona manis!" sapa seorang pria yang menurut Velda, dia itu benar playboy cap gayung super. Namanya Nando Firmansyah, 30 tahun, masih bujangan kata orang lokal. Bujangan tapi sifat suka maini anak orang tanpa dosa. Sudah berapa kali dia maini anak orang sampai baper minta di kawini tapi tolak mentah - mentah sama dia. Mukanya boleh di sebutkan standar hampir mirip sama aktor Korea yang lagi booming yaitu Lee Min Ho oppa begitulah. Untuk Velda tidak ada pengaruh sama sekali dengan sikap playboy-nya itu. "Pagi, juga," balasnya balik. "Eh, matamu kenapa? Kok bengkak? Habis di tinju sama Dream Bear ya?" tanyanya si Nando Velda menyentuh matanya memang masih rasa perih disana. Gara-gara semalam dia menangis soal perjodohan biadab itu. "Ah ini, semalam aku habis nonton film serial drama Taiwan, terlalu menghayati jadinya, terbawa suasana kesedihan. Kamu macam nggak tau saja kalau cewek sudah nonton serial sedih pasti mewek, kan!" jawabnya bohong demi kebaikkan sendiri. "Lah, bukannya kamu nggak suka nonton film serial drama Taiwan? Tumbenan banget! Eh ... emm ... Ada apa sih, kasih tau deh, soal patah hati, ya!" Di senggol-senggolnya bahu Velda. "Apaan sih! Udah balik kerja sana! Nanti di marahi sama Pak Andra, loh!" usirnya, Nando senyum - senyum dia tahu betul kalau Velda tidak bisa di bohongi meskipun menggunakan alibi. Dia duduk di post satpam di buka laci meja kerjanya milik Santo. Ada kaca cermin kecil tersimpan di dalam dia mengambilnya, masih pagi belum terlihat matahari naik tinggi langit. Suhu udaranya masih dingin dan mencengkam. Dia pun mengarahkan cermin pada wajahnya, kedua kantong mata terlihat bengkak, belum hilang juga. Kenapa bisa menangis sampai begini, Terpaksa dia pakai kacamata minusnya untuk menghindari curiga dari para pelanggan dan pengunjung lainnya. Selama ini dia memang selalu membawa kacamata minus kalau ada masalah genting menggunakan untuk tidak terjadi kesalahan yang fatal. Sudah pukul tujuh lewat dua puluh menit, waktunya bersiap untuk antar koran seluruh penjuru rumah tetap menjadi pelanggan penerbit media surat kabar dan majalah terbaru. Biasanya Velda lebih banyak mengantar koran dengan cara melempar atau memasukkan ke dalam kotak surat penerima atau pula memasukkan dalam pintu terbuka. Bisa juga melalui cela bawa pintu, segalanya dia bisa lakukan. Sedikit mengganggu kegiatannya hari ini, dia menggunakan kacamata minus menghindari kantong mata yang bengkak, belum terbiasa saja saat bekerja, soalnya akan terlihat risih pada jalanan di kota padat penuh polusi asap. Sepeda yang di gunakan oleh Velda tidak sengaja mencium p****t mobil fortuner hitam yang tepat berhenti di depan lampu merah simpang empat jalan. Arifin Sudirman. Velda turun melihat kondisi sepedanya apakah ada yang rusak, sementara pemilik mobil fortuner hitam itu turun mendengar sesuatu menabrak kesayangannya. "Untung nggak ada lecet sedikitpun ... s**l! Mau cepat dapat masalah lagi!" merepet si Velda dia bangun dari jongkok posisi melihat sepedanya. Sosok pria berpakaian santai berdiri menatap tubuh wanita memakai jaket merah Maron dan topi berwarna hitam berbentuk V. Velda merasa di perhatikan oleh seseorang dia pun menoleh. Pria itu senyum padanya namun tidak di balas oleh Velda. Tidak bisa berlama-lama di jalanan telah penuh kemacetan hanya insiden tak sengaja itu, membuat para kendaraan berbaris memberi bunyian memekakkan telinga antara pria dan wanita ini. "Aduuh! Maaf, ya, aku nggak sengaja, Ini uang ganti perbaiki mobil tadi sempat tercium sama sepeda gua. Aku harus buru-buru!" Velda memberikan beberapa lembar mata uang berwarna merah kepada pria berpakaian santai. Dia tidak berkutik masih memperhatikan sosok wanita yang tengah mendorong sepeda menerobos jalanan padat kemacetan itu. Di lihat beberapa lembar uang kemudian di masukkan ke saku celananya. Dia pun melanjutkan perjalanan arah yang sama di mana posisi Velda mendayung sepeda penuh kecepatan tinggi. Hari ini ada kesialannya, akibat kacamata minus kurang terang membuat dirinya sedikit kecelakaan kecil. Terpaksa nanti pulang setengah hari dia membawa sepedanya ke rumah sakit untuk perawatan lebih bagus lagi. Sampai di salah satu gedung tinggi bukan pabrik pakan ternak. Turun dari sepeda, satpam bekerja di sana sudah mengenalinya baru juga satu hari sudah kenal sih. "Selamat Pagi, Pak, seperti biasa antar paket pesanan dari penerbit media surat kabar," sapanya ramah dan sopan. "Selamat pagi, juga. Silakan, langsung saja masuk." Sambutnya si penjaga satpam - Pak Amir. Velda menunduk kepala sedikit senyum kepadanya kemudian dia mendorong sepeda buntut masuk ke dalam, seperti biasa memarkir tempat khusus sepeda bermotor. Di ambil paketnya, sekarang dia malas membuka topinya. Dia masuk membuka masker mulut, kacamata tetap di pakainya. Ketemu lagi dengan wanita judes, tidak pernah memunculkan wajah ramah kepada dirinya. Velda sih santai tidak terlalu mempermasalahkan mau dia ramah atau tidaknya, tetap pengantar paket selesai dan kelar. "Selamat pagi, ada paket dari penerbitan media surat kabar," sapanya ramah untuk Velda. Wanita itu mengangkat kepala, mukanya tetap masam nggak ada senyumnya. "Taruh di sana saja," katanya ketus, dia menulis sesuatu Velda menunggu, setelah itu di tunjukin kepadanya pulpen dan menyuruhnya menandatangani seperti biasa. "Tulis namanya juga! Aku tidak mau dapat teguran dari atasan karena tidak tercantum nama darimu! Lain kali antar paket cantumkan namanya, biar tidak terjadi salahpahaman, mengerti!" ucapnya ketus terus emosional banget. Velda mengangguk dan menulis namanya di sana. Dalam hati Velda berkata Galak banget sih! Dia pun meranjak pergi dari tempat pabrik pakan ternak itu. Seperti hal biasa, Velda kembali memakai masker sempat dia buka itu. Mobil berhenti kembali di depan pintu utama, sosok pria berpakaian santai turun, tapi kali ini Velda tidak mengangkat kepalanya, dia sedang mengecek ponsel ada panggilan masuk dari Andra. "Iya, ini aku balik! Tadi ada kecelakaan kecil ... Iya, sabar baginda ... eh sisain untukku! Awas kamu ya!" ucapnya di telepon yang tersambung di seberang. Velda pun memutarkan sepeda di naikinnya keluar dari area pabrik pakan ternak itu. Pria yang berdiri di sana masih ingat dengan topi bergambar huruf V dan jaket merah maron. "Apa paketku sudah sampai?" tanya Arka, Pria pakaian santai itu adalah Arka yang buat Velda mengalami kecelakaan kecil. "Sudah, Pak. Ini." Di serahkan paket terbungkus rapi, dia melihat cek pengeluaran barang dan pengantar barang. Tertera nama yang buat senyuman terbit tipis dan manis menawan. Velda. Dia pun pergi meninggalkan tempat itu mengambil paketnya, dengan senyuman seulas penuh tanda tanya. Wanita yang duduk di depan semakin bingung atas sikap atasannya itu.  **** Jangan lupa tinggalkan jejak lovenya  Tunggu cerita lanjutannya manteman....  Terima kasih :) 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD