Kita Tak Sama

941 Words
Lira's POV Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Sebenarnya apartemen ini cukup luas tapi sayangnya hanya ada satu kamar. Mendadak terdengar irama musik dari dalam perutku, seperti gendang yang bertalu-talu. Aku baru ingat, aku belum makan sejak tadi siang. Elang bilang, jika lapar buka saja kulkas. Okey, sekarang kita lihat apa yang ada di dalam kulkasnya. Aku tak yakin cowok bengal seperti dia menyediakan makanan di kulkas. Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Kubuka pintu kulkas. Ada buah-buahan, sayur pokcoy, brokoli, wortel, nugget, sosis, air minum, puding, susu.. Tidak ada makanan lain lagi. Mataku terbelalak melihat sebatang coklat yang sempat lolos dari pandanganku. Aku rasa coklat cukup mengenyangkan. Kuambil coklat itu. Kubuka bungkusnya lalu kugigit dan kukunyah. Aku juga mengambil sebotol air mineral yang belum dibuka segelnya. Saat aku hendak berjalan menuju ruang depan, pandanganku dikejutkan dengan sosok cowok tinggi tegap itu yang sudah berdiri di hadapanku. Sebenarnya dia cukup keren dengan rambutnya yang spike, ganteng kurasa.. Tapi aku rasa dia terlalu cerewet dan ceplas-ceplos. Aku ingat bagaimana dia berspekulasi bahwa lebam-lebam yang ada di tubuhku adalah karena aku memukul diri sendiri. Dia tak tahu, lebam-lebam di sekujur tubuhku ini adalah hasil pukulan ayahku. Kalau bekas luka sayatan, itu memang luka yang aku buat sendiri dengan cutter. Sejak kecil aku terbiasa menerima pukulan dari ayah dan seringkali meninggalkan bekas membiru. "Lo laper ya? Bagus lah masih inget makan. Biar badan lo nggak terlalu kurus kayak papan penggilesan." Ujarnya seperti biasa, selalu ceplas-ceplos tanpa filter. "Nggak usah bawa-bawa papan penggilesan." Aku meliriknya sebentar lalu melewatinya begitu saja dan kembali duduk di sofa. Elang duduk di sebelahku tapi agak jauh, menjaga jarak. Dia melirikku, saat aku balas menatapnya, dia palingkan wajahnya. "Lo pengin baju model kayak apa? Besok gue beliin baju." Elang bertanya tanpa menoleh ke arahku. "Baju apa aja, yang penting ada yang formal buat nyari kerja, ada yang santai, ada yang buat tidur." Jawabku masih sambil memakan coklat. "Kirain kamu udah tidur." Lanjutku lagi. "Gue nggak bisa tidur. Mungkin kerena ada lo. Tadi gue pesen pizza. Nggak lama lagi pizzanya sampai. Oya lo butuh apa lagi? Alat mandi udah ada, sikat gigi baru juga ada, selimut ada, apa lagi yang lo butuhin?" Elang bicara masih dengan menatap lurus ke depan, tak mau melihatku. "Pakaian dalam aku juga butuh. Celana dalam, Bra-nya size 34." Elang menatapku dan aku menyadari tatapan matanya sedikit mengarah ke dadaku. Agak kumiringkan badanku agar dia tak bisa melihatnya. "Beliin mukena ama Al-Qur'an juga ya." Lanjutku pelan. "Apa? Mukena? Lo masih inget ibadah juga rupanya. Kalau Al-Qur'an ada tuh di lemari sebelah tv." Kukernyitkan alisku, "kamu juga masih inget ngaji." "Ehm gue jarang baca, hampir nggak pernah kayaknya. Pikiran gue lebih banyak erornya dibanding warasnya." Elang menyeringai. "Oya satu lagi, aku kayaknya udah ada tanda-tanda mau dapet, jadi beliin pembalut juga ya. Yang buat night ada sayapnya satu bungkus, yang buat day ada sayap dan ukuran maxi satu bungkus, yang biasa reguler, tanpa sayap satu bungkus." Elang melongo dan menatapku sekian detik, "sayap sayap emang lo mau beli ayam? Tulis aja lah di kertas, ribet amat. Atau WA ke gue, pesenan lo apa aja?" "Aku nggak punya hp. Hpku udah dijual." "Lo pakai hp gue yang udah nggak gue pakai." Balasnya cepat. "Oya lo biasanya pakai produk skin care nggak? Biasanya cewek suka pakai." Aku menatapnya bengong. "Cewek kayak lo mana perhatian ama kulit. Kulit udah bener juga disayat-sayat. Biar kulit lo kayak sawo busuk juga harus disyukuri. Ntar deh gue beliin biar muka lo kagak suram-suram amat, biar auranya nggak gelap." Elang menatapku lekat-lekat, menelisik dari ujung kepala sampai kaki membuatku salah tingkah. "Lo juga kayaknya butuh salep penghilang bekas luka. Lihat bekas luka lo ada di mana-mana. Kalau nanti lo nikah, gue jamin suami lo bakal kabur di malam pertama karena takut lihat bekas luka sayatan lo." Aku tercekat mendengar ucapannya. Kuamati tubuhku sendiri. Tangan, lengan, paha, juga kaki, bahkan di atas d**a banyak bekas luka sayatan. Apa iya begitu mengerikan? "Lo nggak percaya?" Elang beranjak lalu menggandeng tanganku dan menuntunku masuk ke kamar. Dia menghentikan langkahnya di depan cermin. Kami berdiri bersebelahan. Kalau bersebelahan seperti ini, aku terlihat pendek dan kurus. Jauh dibandingkan badannya yang tinggi dan atletis. "Lihat bayangan lo. Bekas luka lo ada di mana-mana. Bandingin ama kulit gue yang bersih mulus halus dan terawat. Muka lo juga suram nggak ada cahayanya. Pikiran lo gelap soalnya, pinginnya bunuh diri mulu. Kalau kita jalan bareng, begitu orang lihat gue komennya begini.. Wuih Kim Taehyung... Justin Bieber.. Verrell Bramasta.. Zayn Malik... Tapi begitu lihat lo.. Aahhhhh ada zombie takuuuttt..." Elang tertawa terpingkal-pingkal. Sementara aku hanya diam mematung dan tak suka dengan caranya menertawakanku. Tingtong... Suara bel mengejutkan kami. "Pizzanya datang," Elang bersemangat melangkah menuju pintu depan. "Lira, ayo makan pizza dulu." Panggilnya sambil membuka kotak pizza. Aku duduk kembali ke sofa. Elang mempersilakanku untuk makan pizza bersamanya. Aku ambil satu potong dan kugigit sedikit. Rasanya lumayan enak. "Habisin pizzanya biar lo punya daging dikit." Ceplosnya. Kami makan pizza bersama. Kadang aku merasa tak nyaman saat sesekali Elang melirikku. Tapi di balik sikap bengal dan selengekannya ini, dia sebenarnya baik dan perhatian juga. "Gue mau masuk ke kamar. Lo nyaman kan tidur di sofa? Atau lo mau di kamar? Gue disini." Aku tertegun tapi kemudian segera kugelengkan kepalaku. Aku tak mau tidur di kamarnya. "Aku di sini aja." Balasku datar. "Okay." Elang masuk ke kamarnya. Kuhela napasku. Aku bersyukur bertemu Elang yang mau menampungku, menyelamatkanku dari perjodohan paksa itu. Meski Elang sering berkencan dengan banyak perempuan, tapi dia tak macam-macam denganku. Mungkin memang bekas-bekas lukaku ini membuatnya takut dan jijik melihatku. Entahlah... Tiba-tiba aku teringat ibuku. Aku hanya bisa mendoakan keselamatan ibu, berharap Allah kan memberi penjagaan terbaik untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD