Bab 8: Insiden Kecil Yang Menggetarkan

1308 Words
"Aerggggg!" seru Willy dengan ekspresi tertahan. Anna meringis melihat ekspresi majikannya itu. Napas Willy memburu karena menahan sensasi luar biasa di seluruh tubuhnya. Belum pernah ia merasakan seperti ini sebelumnya. "Maaf, pak," cicit Anna sekali lagi pada Willy. "Sudah, sudah, saya tidak tahan lagi," "Tapi ini tinggal sedikit lagi, pak," "Saya sudah merasa tubuh ini remuk, Anna," kata Willy kesal sekali. Anna menarik tangannya yang memegang handuk hangat basah dari punggung Willy. Ia membantu Willy merasa lebih baik dengan mengompres badan Willy menggunakan handuk basah hangat. Anna merasa sangat bersalah karena telah memukuli Willy yang kini badan majikannya itu agak merah-merah karena pukulannya. Anna tertunduk, merasa bersalah sekali sampai ia menangis. Willy yang melihat itu sampai heran. "Saya yang kesakitan, kenapa kamu yang menangis?" tanya Willy geram sembari memakai kembali bajunya karena tak mau bertelanjang d**a di hadapan Anna. Saat memakai baju, seluruh lengan dan badannya terasa ngilu, besok ia akan ke dokter untuk memeriksakan diri dan mendapatkan obat pereda nyeri. Sebenarnya ia bisa saja memanggil dokter keluarga sekarang juga, hanya saja ia malas jika mama dan papanya tahu apa yang terjadi padanya, tentu mereka berdua akan panik dan memecat Anna kemudian tanpa mau mendengar penjelasannya. "Maaf, pak, saya rela dipecat meski jika bisa, tolong jangan pecat saya," kata Anna pada Willy yang membuat Willy heran dengan pernyataan jujur Anna itu. Willy tersenyum kecil, ia paham kalau Anna sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk mengejar mimpinya dan terlepas dari perjodohan pernikahan yang dirancang keluarganya untuknya. "Saya gak mungkin pecat kamu. Bagaimana dengan Laura jika kamu pergi?" kata Willy yang membuat wajah cantik Anna mendongak dan menatapnya dengan mata yang berbinar bahagia. "Benar begitu, pak? Benar saya gak akan dipecat?" tanya Anna kegirangan dan Willy hanya mengangguk kecil, ia ingin istirahat karena badannya pegal-pegal sekali. Saking senangnya Anna dengan keputusan yang baru saja Willy katakan, ia sedikit melompat kegirangan dan hendak mencium tangan Willy sebagai bentuk terima kasih tapi yang terjadi malah ia terselip kakinya sendiri dan tubuhnya ambruk ke depan Willy dengan posisi bibir mereka yang menyatu. Mata Anna dan Willy membola karena kaget saat ini, Anna tak pernah menyangka kalau akan terjadi hal memalukan seperti ini dengan majikannya. Sedangkan Willy merasakan dadanya makin berdebar-debar tak karuan setelah Anna tak sengaja terjatuh di atas tubuhnya dan bibir Anna menyatu dengan bibirnya. Refleks kedua tangan Willy hendak menyentuh pinggang Anna dan ia berniat mendekatkan pelukan mereka. Hanya saja dengan cepat Anna menarik diri dan meminta maaf lagi di hadapan Willy yang sekarang benar-benar terpaku dan sadar kalau apa yang barusan terjadi diantara mereka adalah ketidaksengajaan. Anna langsung bersimpuh di hadapan Willy, mengatupkan kedua tangannya, "maaf pak, maaf, saya lancang, saya kurang ajar, maaf pak, saya benar-benar gak sengaja," papar Anna pada Willy yang menatapnya dengan napas berat. "Sudah, Anna, sudah. Minta maaf lagi kamu saya pecat," kata Willy pada Anna yang ketakutan bukan main. Anna bangkit dari posisinya dan berdiri di hadapan Willy, "kembalilah ke kamarmu, sudah malam," kata Willy lagi dengan lemas, "cepat, Anna, saya mau tidur juga!" seru Willy karena Anna tak bergerak juga dari hadapannya. Anna kemudian mengangguk lalu mengucapkan kata permisi dan pergi dari hadapan Willy. Anna keluar kamar Willy dengan langkah kaki yang cepat, takut majikannya berubah pikiran dan akhirnya memecatnya. Setelah pintu kamar Willy ditutup oleh Anna, Willy menghela napas berat dan menyentuh dadanya yang berdebar-debar. Perasaannya kepada Anna semakin besar apalagi setelah mereka tanpa sengaja berciuman seperti tadi. Di luar kamar Willy, d**a Anna juga berdegup kencang sekali tapi Anna bingung mengartikan arti degupan jantungnya yang berlari kencang itu seolah-olah akan melompat dari dalam tubuhnya. "Tenang Anna, tenang. Pak Willy tidak akan memecatmu," kata Anna pada dirinya sendiri. Anna sebenarnya sadar bahwa apa yang ia rasakan barusan bukanlah perasaan takut dipecat tapi perasaan lain yang tumbuh ketika seorang perempuan memiliki ketertarikan kepada lawan jenisnya. Hanya saja, Anna tak mau mengakuinya. *** Keesokan paginya Anna bangun lebih pagi dari biasanya, karena perutnya terasa lapar. Makanan semalam tidak jadi ia makan karena moodnya sudah hancur. Ia pikir ia akan menemukan makanan itu pagi ini di dapur, nyatanya makanan itu sudah dibuang oleh mbok Darmi. Anna kemudian membuat roti panggang selai dan menuangkan s**u segar untuk dirinya. "Buatkan juga untuk den Willy, An. Pakai selai strawberry, ya. Katanya hari ini dia berangkat pagi karena ada perjalanan bisnis ke luar kota," kata mbok Darmi pada Anna yang mengangguk. Anna kemudian membuat roti panggang selai dan menuangkan s**u segar hangat yang baru selesai direbus. "Sudah, mbok," kata Anna pada asisten rumah tangga itu. "Bawakan sekalian ke atas," jawab mbok Darmi yang membuat Anna kaget. "Nggak mbok Darmi saja, kah? Anna masih sungkan," jawab Anna pelan karena Anna ingat bagaimana semalam ia dan majikannya itu tak sengaja berciuman. "Sambil minta maaf lagi, siapa tahu pak Willy sudah maafin kamu soal semalam," jawab mbok Darmi yang membuat Anna terdiam, "tunggu apa lagi, nduk? Orangnya keburu teriak dari atas!" kata mbok Darmi yang membuat Anna kemudian gegas mengangkat nampan dan berjalan ke kamar Willy dengan perasaan gusar. Anna mengetuk pintu kamar Willy beberapa kali tapi tak ada sahutan. Anna menunggu dengan cemas, ia tak mau membuka pintu tanpa sepengetahuan Willy, dan diberi label kurang ajar karena sudah berani masuk ke kamar sang majikan tanpa ijin. Anna mengetuk kembali setelah mendengar bunyi kran air yang dimatikan. "Masuk!" suara Willy terdengar dari dalam dan Anna segera memutar engsel dan mendorong sedikit pintu kamar Willy lalu masuk ke dalam dengan baki makanan yang ia bawa. "Pak, saya ...." kata-kata Anna tertahan di tenggorokan dan tangannya ia rasakan mulai bergetar saat matanya dan mata Willy bertemu. Bukan tanpa sebab Anna menjadi tegang, itu karena Anna melihat Willy hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya dan terlihat begitu maskulin dengan rambut yang basah. Anna menelan ludah susah payah, ia tak mengerti kenapa tubuhnya mendadak jadi meriang seperti sekarang ini. Sedangkan Willy juga tak menyangka kalau yang datang ke kamarnya adalah Anna, ia pikir adalah asisten rumah tangganya yang tadi saat bangun ia mintai tolong membuatkan roti bakar selai dan segelas s**u untuk dibawakan ke kamarnya. Tapi ternyata Anna yang membawakannya. "Mbok Darmi bilang bapak mau s**u dan roti selai," kata Anna susah payah, kemudian Anna gegas berjalan ke arah nakas dan meletakkan nampan di sana sebelum jatuh dari kedua tangannya. Pekerjaannya sudah selesai dan ia merasa harus segera kembali ke kamarnya sebelum kejadian tak menyenangkan seperti semalam terulang lagi. Anna berbalik dan kaget melihat Willy sudah berada di belakangnya dengan pandangan mata tajam yang intens memandangnya. Bahkan, pintu kamar sudah tertutup. Kapan ditutupnya? Pikir Anna bingung. "Anna, saya," Willy hendak mengatakan perasaannya pada Anna tapi suara tangis Laura di bawah sana terdengar. "Laura menangis, pak," kata Anna yang gegas berlalu dari hadapan Willy dan menuju pintu, tapi sayang sekali usaha Anna untuk menghindar itu gagal karena Willy menarik tangannya dan menyandarkan Anna di tembok lalu ia mendekatkan diri pada Anna. Wajah Anna menegang karena bingung dan kaget dengan apa yang dilakukan oleh Willy padanya, apalagi pandangan lelaki itu sangat intens sekali padanya. Bahkan Anna bisa merasakan hembusan napasnya yang segar. "Tolong jangan buat aku menjadi gila, Anna," kata Willy dengan suara beratnya yang membuat Anna makin berdebar-debar tak karuan. "Maaf pak, maaf," cicit Anna yang ia pikir pasti Willy masih kesal soal kejadian semalam. Suara tangis Laura makin kencang dan Anna terusik olehnya. Tangan Willy merenggang saat memegang tangan Anna. "Malam ini aku akan pulang lebih awal, kamu dan Laura siap-siap, kita keluar malam ini," kata Willy dengan perasaan campur aduknya. "Iya, pak," jawab Anna lalu ia bergegas melangkah menjauh sebelum Willy mencekalnya lagi. Sepeninggalan Anna, Willy langsung duduk di tepi ranjang dengan hasrat yang tinggi pada Anna. Keinginannya memiliki Anna semakin kuat pagi ini setelah melihat gadis itu lagi. Semalam gara-gara ciuman tak sengaja mereka berdua, Willy tak bisa tidur sama sekali. Wajah Anna semakin melekat kuat dalam ingatannya. "Aku akan menikahinya. Jika tidak, aku bisa gila karena terus terbayang wajahnya," kata Willy pada dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD