Terdampar di Masa lalu

1119 Words
'Dua puluh dua tahun yang lalu. Ini gila! Jika mimpi, cepatlah terbangun! Karena aku tak mau membuka mata jika masih di tempat yang sama.' Suara-suara serupa bisikan terdengar riuh di telinga Lara. Bau minyak angin begitu menusuk seolah disiramkan begitu saja ke lubang hidungnya. Bola matanya bergeser ke kiri ke kanan, meski kelopaknya belum terbuka. Embusan napas berat mengisyaratkan tubuhnya telah siap untuk terbangun. Tapi Lara belum mau terbangun. Jiwanya masih berat menerima kenyataan tentang keberadaannya. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Bermacam pertanyaan berjejalan di tempurung kepalanya yang tiba-tiba terasa sempit. “Lara. Ra…, ayo sadar. Jangan kelamaan pingsan, dong. Ra…, please. Bangun dong, Ra.” Dia hapal suara itu. Seorang cewek yang dipanggil Ay. Dibandingkan Celin, Ay jauh lebih bersahabat. Celin sepertinya tidak terlalu suka berada di sekitar Lara. Seperti ada keharusan khusus yang membuat Celin terpaksa berada di dekat Lara. “Kayaknya dia males bangun. Mungkin dia mau langsung tidur biar bebas dari ulangan hari ini. Kamu tahu sendirilah dia! Pemalas.” Suara ketus Celin menyakiti telinga Lara. Ada apa, sih dengan dirinya dan Celin? “Kamu ngerasa nggak kalau ada yang aneh sama Lara?” “Dari tadi pagi aku merasa aneh sama rambutnya. Tumben dibiarkan tergerai lurus begitu saja tanpa di gulung ujungnya.” “Ih, bukan fisik yang kumaksud. Tapi sikapnya! “ “Selain hari ini dia belum bikin kerusuhan sama Ceko aku nggak ngerasa ada yang aneh. Justru kamu yang aneh dari tadi sibuk banget ngurusin dia. Kekantin, yuk! Laper. Mumpung belum bel. Biar dia dijaga sama anggota PMR saja.” “Celin! Tega banget, sih kamu sama Lara? Kamu masih dendam sama dia?” Celin membuang muka, tak mau menatap sorot tajam mata Ay. Hatinya masih sakit jika mengingat penolakan Radian. Ketika banyak cowok di sekolahnya berharap menjadi pacarnya, Radian menolaknya. Dia bilang lebih menyukai Lara ketimbang Celin. “Bukan salah Lara jika Radian menolakmu!” “Memang bukan seandainya dia tidak merayu Radian. “ “Celin! Kamu tahu Lara tidak bermaksud begitu. Dia ha~” Erangan lembut Lara mengalihkan perhatian Ay. Tubuhnya menggeliat pelan dan mencoba untuk duduk. “Haus, Ay. Minta minum.” Bergegas Ay mengambil botol air mineral di atas meja dan menyodorkannya pada Lara. Setelah meneguk habis isinya, Lara memandang kedua temannya bergantian. Mereka pasti sahabat-sahabatku. Haruskah aku menceritakan siapa aku sebenarnya pada mereka? Namun Lara teringat pandangan Celin ketika dia bertanya tentang tahun hari ini. Celin memandanginya dengan tatapan aneh, seolah Lara punya masalah dengan otaknya. Kalau dia bilang berasal dari masa depan, mungkin mereka berdua akan mengadukannya pada guru dan kemudian mereka akan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dan jika dia terkurung di bangsal-bangsal yang penuh orang gila, bagaimana caranya untuk menemukan jalan pulang? “Ra, kamu sehat?” tanya Ay sambil menggoyangkan tangannya di hadapan Lara. “Kayaknya otaknya belum terisi makanan. Makanya dia pingsan.” Suara ketus Celin membuyarkan lamunan Lara. “Aku bermimpi aneh.” “Kamu pingsan apa tidur, sih, Ra? Sempat-sempatnya mimpi.” “Emang orang pingsan nggak bisa mimpi, ya, Ay?” Ay mengangkat bahu. “Tauk. Kamu tanya aja sama Bu Sum. Kalau kamu udah mendingan, kita bisa ke kelas sekarang dan tanya langsung sama dia.” Lara termenung sejenak. Dia enggan melanjutkan hari setelah mengetahui kenyataan sebenarnya. Dia ingin bercerita pada seseorang tentang keberadaannya. Tapi pada siapa? Bahkan dia tidak kenal dengan orang tuanya sendiri di sini. “Aku pinjam uangmu boleh, Ay. Nanti aku ganti di kelas. Aku mau ke kantin saja. Celin benar, Kepalaku perlu diisi sesuatu.” “Perlu ditemani?” tanya Ay sambil menyodorkan uang 10.000 bergambar Cut NyakDien. Lara menggeleng sambil memegangi lembaran puluhan ribu itu dengan perasaan ngeri. Dia punya uang ini. Tersimpan rapi di album mata uang kuno miliknya. “Kamu nanti masuk kelas, kan?” tanya Ay. Tangannya terulur hendak membantu Lara turun dari ranjang. “Aku lagi malas belajar.” Lara meninggalkan kedua temannya dan berjalan keluar UKS. Upacara bendera sudah berakhir, sebentar lagi bel tanda masuk kelas berbunyi. Tapi Lara tidak perduli. Dia tetap berjalan menuju ke belakang sekolah. Entah kenapa ingatannya bilang bahwa ada satu tempat yang sangat nyaman untuknya menyepi dan menghilang sejenak dari keramaian. =*= Bukit belakang sekolah sebenarnya bukan sebuah bukit sebagaimana seharusnya. Yang disebut bukit oleh siswa-siswa hanya berupa gundukan tanah yang memanjang membatasi lapangan sepak bola dengan area persawahan. Ketika ada pertandingan sepak bola atau kegiatan yang bertempat di lapangan, sepanjang gundukan atau tanggul akan ramai dipenuhi siswa-siswa yang menonton kegiatan di lapangan. Selain bisa mengamati kegiatan di lapangan dengan leluasa, wilayah tersebut juga sangat sejuk karena ditumbuhi pohon ketapang yang berjajar sepanjang tanggul. Siswa SMA HB bisa duduk sambil membaca, menggelar alas di rerumputan dan tidur sejenak, atau seperti saat ini, beberapa siswa lelaki sedang merokok sembunyi-sembunyi di balik pohon. Kedatangan Lara menarik perhatian beberapa siswa laki-laki. Dilihat dari penampilan Lara, tempat semacam ini sebenarnya tidak cocok didatangi olehnya. Tapi Lara tidak perduli. Dia tidak meminta penampilan yang mencolok seperti saat ini. Di dunianya yang biasa, Lara bukan sosok yang mudah mencuri perhatian. Dia hanya gadis biasa yang terlampau biasa untuk terlihat berbeda. “La … ra …, kok sendirian aja? Mau ditemenin?” Seorang siswa yang sedikit urakan menghampiri Lara. Tanpa perlu menunggu jawaban Lara, dia duduk di sampingnya. Sedikit terganggu dengan aroma tubuhnya yang tak sedap, Lara menggeser duduknya menjauh. Tapi siswa itu seolah tak menyadari ketidaknyamanan Lara dan dia ikut bergeser. “Apa-apaan, sih? Aku lagi pengen sendirian, tau! Pergi sana!” usir Lara sambil menggeser duduknya sekali lagi. “Apa? Mau beramai-ramai? Nggak masalah. Woiii!! Sini kalian!” Siswa urakan itu memanggil gerombolannya yang sedari tadi cekikikan di bawah pohon yang tak jauh dari tempat Lara duduk. “Aku bilang lagi pengen sendirian! Bukan minta ditemani beramai-ramai!” sahutnya ketus sambil berdiri dan mengibaskan roknya dari daun-daun kering yang menempel. Roknya tersingkap sedikit, memperlihatkan paha mulusnya yang mengundang decak beberapa siswa yang baru datang menghampiri. “Ada angin apa ini? cewek paling sexy sesekolah datang ke tempat seperti ini?” Seorang siswa yang baru datang mencolek lengan Lara yang langsung dikibaskannya dengan kasar. “Bukan urusan kalian! Mengganggu saja!” Menyadari suasananya tidak nyaman lagi, Lara segera bersiap untuk berlalu dan meninggalkan gerombolan siswa nakal di sekolah. Tapi niatnya ketahuan, seorang siswa dengan cepat meraih siku Lara dan menahannya pergi. “Eit! Mau ke mana? Kamu temani dulu kami di sini. Jarang-jarang, lho kami kedatangan bidadari di tempat ini. Jangan takut, kami tidak menggigit. Kami cuma mau ditemani dan … ya, sedikit nyenggol-nyenggol boleh, kan?” Tawa berderai mengakhiri ucapan siswa tadi. Ketakutan mulai terlihat di wajah Lara. Dia sedikit menyesali keputusannya untuk datang ke tempat ini. Seharusnya dia lebih waspada. Mungkin dirinya yang lain sangat mengenal tempat ini, tapi dirinya yang sekarang benar-benar tidak tahu apa-apa.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD