Pergi Berkencan

1374 Words
Kini Harriet tahu memprovokasi Liam bukanlah ide yang bagus. Ia sedang berbaring tengkurap di ranjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya saat Liam menyelimutinya dengan sebuah selimut tebal. Pria itu sudah selesai mengenakan kembali celana panjangnya, berjalan ke arah jendela menara yang terbuka lebar. Harriet menahan kantuknya melihat punggung Liam yang tegap membelakanginya. “Tidurlah, Madam. Saat kau bangun, aku masih akan ada di sini menemanimu,” ucap pria itu. “Anda tidak mau tidur juga, Milord?” tanya Harriet lembut. Liam menyandari teralis jendela seperti saat mereka pertama bertemu dan tersenyum pada Harriet. Pria itu menggeleng pelan. “Mm, aku tidak ingin tidur,” ucap pria itu pelan. Saat itu, rasanya Harriet hanya berkedip, karena saat ia bangun lagi, Liam masih duduk di tempat yang sama dan di posisi yang sama, namun matahari sudah terbit di ufuk timur. Harriet tersentak bangun, dan mengerang kecil karena rasa sakit di punggung bawahnya. Harriet mendengar suara tawa kecil Liam. “Oh, Dewa… Anda benar-benar tidak tidur…” Liam berdiri dan merenggangkan tubuhnya. Pria itu berjalan mendekati Harriet dan memijat lembut pinggang wanita itu. “Madam, ayo pergi kencan,” ucap pria itu kemudian. Harriet mengerjap heran. Sebelum Harriet sadar, pria itu sudah meraba-raba tubuhnya dengan cara yang familiar. Harriet sebenarnya ingin menghindar, namun tubuhnya sakit semua dan rasanya begitu lemas saat merasakan sentuhan lembut pria itu. “Mari, Madam. Aku akan membantumu mandi dan kita bisa pergi ke kota untuk sarapan.” Harriet bahkan belum bisa membuka mulutnya saat tubuhnya diangkat pergi oleh Liam. Ia pun menyerah dan memeluk bahu kokoh Liam sebagai pegangan. “Apakah Anda tidak mengantuk? Tidak lelah?” tanya Harriet. “Aku akan bilang padamu jika aku mengantuk atau lelah,” jawab Liam. Liam membawa Harriet ke lantai bawah, tepat di bawah ruangannya yang tertinggi. Di sana adalah sebuah kamar mandi luas dengan jendela di tiga sisi, seperti di lantai atas. Ia menurunkan Harriet di sebuah kursi kayu yang rendah. Harriet bisa melihat bahwa sudah disiapkan se bathtub air panas untuk mandi. Mungkin Liam memanggil pelayan sebelum Harriet bangun dan menginstruksikan mereka untuk menyiapkan air mandi. Setelah mengecek temperatur airnya, Liam mendekati Harriet dan membasuh tubuhnya dengan lembut. Ia mengusap setiap sela jemari kaki Harriet dan memijatnya lembut. Semuanya ia lakukan tanpa mengatakan apa pun, membuat Harriet jatuh ke dalam lamunan yang berfokus pada wajah datarnya. Harriet sendiri membantu suaminya membasuh punggungnya, dan itu juga membuat Harriet terkejut melihat betapa lebarnya punggung pria itu. Padahal menurutnya Liam jauh lebih ramping daripada para Lycan yang pernah ia lihat… Ada banyak bekas luka lama yang pudar, hampir tidak terlihat lagi. Namun, bekas luka menyilang di d**a Liam terlihat seperti sebuah bekas luka yang takkan pernah hilang. Apakah itu luka saat Liam kehilangan jantungnya? Liam mengecup bibir Harriet dan tersenyum tipis. Keduanya masuk ke bathtub besar berdua. “Apa yang sedang Milord pikirkan?” tanya Harriet. Ia memperhatikan wajah datar Liam yang terpantul di permukaan air hangat. Harriet agak merasa aneh karena suaminya tiba-tiba tidak terus menerus menggodanya. Tidak mungkin ia kapok setelah Harriet balas menggoda dan memprovokasinya kemarin, kan? “Aku sedang memikirkan tempat sarapan kita… Sudah hampir 40 tahun aku tidak bisa bangun di pagi hari, jadi aku tidak tahu apa tempat langgananku untuk sarapan masih buka atau sudah tidak ada lagi,” ucap Liam. Harriet tersenyum tipis. Pada akhirnya, mereka adalah makhluk yang berbeda, dan waktu yang mereka habiskan untuk hidup begitu berbeda. “Kalau sudah tutup, mari kita sarapan dengan menu sarapan favoritmu saja, hm?” tawar Liam lembut. Harriet menggeleng. “Saya tidak punya menu sarapan favorit. Apa pun yang Milord pilihkan akan dengan senang hati saya makan,” ucap Harriet. “Apa kau tidak punya pantangan khusus?” tanya Liam. Harriet menggeleng lagi. “Baiklah,” Liam mengangguk mengerti. Mereka berendam hingga suhu airnya mulai menurun, dan Liam kembali mengangkat Harriet naik ke kamarnya. Seperti yang Harriet kira, Liam sepertinya memang sudah meminta pelayan mempersiapkan kebutuhan mereka. Harriet mengenakan gaun sederhananya di depan tatapan Liam yang memperhatikannya tanpa kata-kata. Harriet memang merasa risih karena mata emas itu sanggup menelanjanginya, tapi ia tidak ingin terlalu banyak bereaksi. “Madam, sepertinya kalau aku tidak menggodamu, kau tidak akan malu-malu melakukan apa pun di hadapanku, ya? Atau, karena semalam, keberanianmu telah bertambah?” tanya Liam dengan suara nakal. Harriet terbatuk, lalu berdeham. Entah mengapa ia sudah menduga Liam akan menggodanya lagi. “Bahkan saat kita mandi bersama, kau tidak terlihat malu-malu,” gumam Liam. Harriet menyipitkan matanya kesal. “Sebenarnya saya adalah tipe orang yang cukup bisa mengendalikan ketenangan saya. Di sisi lain, Milord memiliki mulut yang sangat v****r,” ucap Harriet datar. Liam tersenyum. “Aku benar-benar tipe orang yang tidak disukai para gadis bangsawan, ya?” Harriet mengerjap. Entah mengapa ia merasa ada kesengajaan dalam sikap casanovanya itu. Tapi mengapa seorang pria terhormat seperti Young Lord Almandine sengaja bersikap seperti itu? “Anda sudah tahu bahwa tipe pria seperti anda tidak akan disukai para gadis bangsawan, tapi anda tetap bersikap seperti itu,” ucap Harriet pelan. “Ya, kalau pada istriku sendiri, apa salahnya?” Liam memeluk Harriet yang baru saja selesai mengenakan atasan gaunnya dari belakang. Harriet meraih penghangat telinganya dan saat itu juga, Liam sudah mengangkat tubuhnya dengan mudahnya. Harriet yang terkejut dengan cepat memeluk bahu Liam saat ia sadar Liam melangkah ke arah jendela yang terbuka. “Milord?” Harriet mencengkeram bahu Liam saat ketakutannya ternyata benar– “Oh tidak–” Liam melompat dari jendela menara seolah terbang jauh ke langit. Di saat yang sama, nyawa Harriet seolah seketika keluar dari tubuhnya. Ia bahkan tidak sempat berteriak dan bereaksi saat Liam mendarat dengan lembut dan mulus di sebuah atap toko di kota. Napas Harriet tercekat dan seluruh tubuhnya menegang dan lemas secara bersamaan. “K-k…” “Jangan menangis, Madam,” ucap Liam melihat wajah kaku Harriet yang masih terlihat kosong. Kenyataannya, begitu diminta jangan menangis, Harriet justru langsung ingin menangis. Angin dingin di musim semi Utara menerpa rambut pirang panjang Liam. Pria itu menatap Harriet dengan sedikit senyum menggoda yang licik. “Apa yang akan anda lakukan jika saya pingsan atau terkena serangan jantung?” tanya Harriet datar, gemetaran dan marah. “Mengapa Madam takut pada tempat tinggi?” tanya Liam balik, serius. “Karena saya takut jatuh!” ucap Harriet cepat dan tajam, hampir berteriak. Liam tersenyum. Harriet yang begitu marah dan kesal padanya karena ketakutan begitu berbeda saat ia kesal karena menggodanya. “Maafkan aku, Madam,” ucap Liam tulus. Ia bisa melihat kerutan di alis Harriet mendengar permintaan maafnya. “Tapi aku senang Madam tidak takut pada tempat tinggi karena suatu pengalaman mengerikan, dan hanya karena kau takut jatuh,” ucap Liam kemudian. Harriet mengerjap padanya. “Mengapa Anda mengatakan itu?” Liam tiba-tiba melompat turun dari atap ke sebuah g**g sepi. “Kau mulai tidur bersamaku di menara, kan?” tanya Liam. Harriet mengangguk pelan. “Aku senang kau tidak memaksakan dirimu untuk melawan ketakutan besarmu,” pria itu menyeringai licik. “Ketinggian adalah ketakutan besar saya!” Harriet merasa semakin kesal. Liam tidak terlihat sedikitpun mengkhawatirkan kekesalan Harriet, namun pria itu diam-diam membawanya dengan lembut dan membelikan segala yang Harriet lirik walau hanya sekejap. Karena keduanya termasuk berpenampilan unik di tanah Utara, dan meskipun mereka mengenakan baju rakyat biasa, keduanya membuat orang menoleh saat mereka lewat. Setelah membeli camilan kecil dan beberapa aksesoris murah yang menangkap mata Harriet, mereka duduk di meja sebuah kedai sarapan pinggir jalan yang menyajikan sup hangat dan rebusan. Liam menggenggam tangan Harriet terang-terangan dan terus membujuknya karena pria itu tahu Harriet masih sedikit kesal meskipun kelihatannya ia tidak lagi marah. Tapi sebenarnya Harriet sedang mengingat kembali apa yang pria itu lakukan. Ia melihat ke arah kastil di kejauhan dari jalan ini. Kastil itu menjulang jauh di tengah kota, dengan sebuah menara tertinggi yang terlihat seperti sebuah garis hitam di bawah matahari pagi. Harriet masih belum percaya pria di hadapannya ini melompat dari jendela menara yang terlihat kecil itu langsung ke atap sebuah bangunan di kota. Segalanya terjadi begitu cepat dan Harriet bahkan tidak bisa merasakan pendaratannya yang lembut. Apakah semua Lycan Alpha mampu melakukan semua itu? Apakah artinya bahkan kegiatan intens mereka semalam itu belumlah aksi penuh yang bisa Liam tunjukkan padanya? Harriet merasa sedikit merinding dengan menyipitkan matanya. Ia benar-benar menikahi seorang monster.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD