EMPAT

1938 Words
Mungkin Adjam dan pengurus Pasuspala punya alasan mengapa mengutus Naraya menjadi wakil di OSIS. Namun, Naraya masih tidak habis pikir jika alasannya hanya karena ia bisa berbicara di depan umum dan berpidato. Bukankah kemampuan itu bisa diasah kalau mau? Naraya tidak suka percitraan. Sayang, keadaan dan tuntutan meminta dia menjadi seseorang yang bukan dirinya. Demi apa? Naraya yang sekarang memasukkan baju, memakai dasi dan ikat pinggang. Jika pintu kantin bisa tertawa, mungkin akan menertawainya keras sekali. Minggu ini merupakan minggu sibuk bagi Naraya. Sibuk latihan fisik dan mental menuju pelantikan slayer Pasuspala. Dalam seminggu, ada tiga kali latihan fisik resmi di sekolah. Naraya juga harus mengerjakan Laporan Perjalanan Pendakian Gunung yang sudah dijalani selama setahun terakhir sebagai salah satu syarat pelantikan slayer. Semua ini, tentu ini di luar jadwal latihan Pelatnasnya. Untung badan ini orisinal buatan Tuhan, kalau KW mungkin sudah hancur. Di Pasuspala, keanggotaan itu terbagi menjadi dua: anggota muda dan anggota tetap. Anggota muda terdiri atas juniòr yang biasanya murid kelas sepuluh sedangkan anggota tetap ialah pengurus yang kelas sebelas, senior kelas dua belas juga alumni yang sudah lulus. Di tahun ajaran baru ini Angkatan 13 akan naik level dari anggota muda menjadi anggota tetap sekaligus pengurus. Tentunya ini seperti menemukan puncak tertinggi saat pendakian. Lelah perjuangan setahun belakangan ini akan berakhir. Tapi apakah sudah siap untuk pelantikan slayer? Untuk bisa mengikuti pelantikan slayer, setiap juniòr minimal harus sudah pernah menaiki lima gunung dengan bukti otentik yang tercantum dalam Laporan Perjalanan Pendakian Gunung. Laporan itu dirangkum tertulis mulai dari rute jalur, keadaan lapangan sampai bukti tiket-tiket, karcis bus, foto di lokasi dll. Naraya sendiri sudah berhasil mencapai minimal syarat tersebut dengan mendaki Gunung Dempo, Gunung Kerinci, Gunung Semeru, Gunung Agung dan Gunung Rinjani. Tiga gunung terakhir dikebut dalam sekali perjalanan, menjadikan Naraya hampir dilaporkan orang tuanya sebagai anak hilang karena tidak pulang hampir dua minggu. Minggu depan, dua pelantikan sudah menunggu: Pelantikan Slayer Pasuspala dan Diklat OSIS. Dilaksanakan bersamaan, di lokasi bersamaan karena itu merupakan acara Diklat Gabungan seluruh organisasi yang berada di naungan sekolah. Bukan hanya OSIS dan Pasuspala, ada KIR, PMR, Paskibra, Pramuka dan lainnya. Rencananya acara 3 hari 2 malam tersebut, Naraya akan dua kali pindah posisi. Bahkan di malam pelantikan, Naraya juga akan melewati dua pelantikan fisik sekaligus. Dia sudah pernah melewati pelantikan OSIS saat kelas sepuluh, tetapi untuk pelantikan slayer, ini untuk yang pertama kalinya. Cerita-cerita tentang pelantikan slayer sudah puas didengar dari senior. Hanya saja, Naraya tidak percaya jika belum membuktikannya. Sudah rahasia alam sih, sesuatu yang ditunggu-tunggu bakal lama sampai, sedang sesuatu yang tidak ditunggu malah seperti berlari mengejar kita. Hari yang tidak ditunggu akan tiba juga. Jumat siang setelah pulang sekolah, personel Angkatan 13 sudah lengkap dengan baju, celana dan topi lapangan. Laporan Perjalanan Pendakian Gunung sudah dikumpulkan. Semua peralatan dan logistik sudah dipacking. Untuk barang yang dibawa di dalam carrier, bagian yang berat diletakkan mendekat ke punggung dan berada di bagian tengah ke atas. Semua juniòr sudah menyusun carrier-nya berjejer di depan sekre Pespel. Di lapangan, sudah berbaris peserta-peserta Diklat dari masing-masing organisasi. Berurutan mereka menaiki truk bak terbuka yang disiapkan untuk membawa ke tujuan. Peserta akan disuruh berdiri di dalam truk tersebut sepanjang perjalanan. Diklat Gabungan ini dibikin dalam satu kawasan yang cukup luas di bawah kaki gunung, tujuannya agar guru dapat memantau semua kegiatan organisasi dalam satu waktu sekaligus. Di kaki gunung tersebut mengalir sungai yang membelah, membuat jarak bagi mereka yang akan menuju ke gunung. Beberapa organisasi sudah mendirikan tenda di sepanjang sungai sesuai dengan kesepakatan awal. Termasuk pembagian kawasan agar tidak tertukarnya anggota sewaktu jurit malam. Pasuspala pasti akan memilih kawasan yang terjauh dari tenda guru, kawasan yang terjal dan sulit untuk dilalui orang biasa, karena kawasan itu diharapkan tidak terjamah siapa-siapa. Saat ini di basecamp Pasuspala, tenda sudah berdiri dan pemantapan materi sore sudah selesai. Naraya mendatangi pengurus untuk meminta izin mengikuti jurit malam OSIS dahulu baru nanti kembali bergabung ke Pespel. Hari sudah menjelang senja, Naraya bergegas ke tenda OSIS bergabung bersama dengan calon pengurus OSIS yang baru. Ranendra, Ketua OSIS yang masih menjabat datang bersama Adji, Ketua 1 OSIS berada di tenda calon pengurus ketika dia datang. Mereka memberikan beberapa pengarahan sebelum malam, meminta seluruh calon pengurus sudah siap jawaban mengenai visi, misi, tujuan dan program kerja ketika akan menjabat nanti. Tidak lupa diminta untuk hafal silsilah sekolah, moto sekolah, tanggal berdirinya sekolah dan hal-hal formalitas lainnya. “Baik. Saya rasa cukup pembekalan dari kami. Tepat pukul tujuh malam ini, peserta pertama akan kita lepas. Siapa yang berani menjadi peserta pertama?” tanya Ranendra. Ada dua orang yang mengacungkan tangan saat itu, Renard dan Naraya. “Renard, apa alasan kamu mau menjadi yang pertama?” “Hal yang terbaik adalah tidak menunda-nunda. Jadi dengan maju menjadi yang pertama adalah jalan keluarnya,” jawab Renard diplomatis. Ranendra tampak berpikir. “Kalau kamu, Naraya?” “Maaf, Kak. Saya ada dua pelantikan di malam ini, OSIS dan Pasuspala. Jadi jika boleh, saya meminta menjadi yang pertama maju dan menyelesaikannya, karena teman-teman saya sedang menunggu saya di sana,” terang Naraya tanpa basa basi. Ranendra berdiskusi sebentar dengan Adji, tidak lama kembali berbicara. “Baik, karena mempertimbangkan beberapa hal. Untuk peserta pertama, harap bersiap ... Naraya, lalu 10 menit setelah Naraya jalan, bersiap peserta kedua ... Renard.” Setelah Ranendra berkata seperti itu, selanjutnya panitia acara yang menyusun kelanjutan daftar urut peserta jurit malam. Calon pengurus OSIS sudah berada di pinggir sungai ketika gelap datang. Mereka duduk teratur menunggu giliran di depan tenda yang dijadikan basecamp. Muka mereka tegang, Naraya yakin tidak ada satu juniòr dari organisasi mana pun yang lagi tertawa lepas di lokasi malam ini. Semua sedang uji nyali. Naraya maju kali pertama ketika dipersilakan, jalan sendiri menyusuri sungai, tanpa dibekali penerangan apa pun. Namun, sinar bulan berwarna perak membantu menunjukan jalan, dan itu sudah cukup baginya. Saat seperti ini hening lebih bersahabat dan menenangkan sebelum datang yang lebih menyeramkan yaitu Senior. “Siapa itu?” seru seseorang dari posko satu ketika mendengar langkah Naraya. “Peserta pertama, Kak,” jawab Naraya. “Cepat ke sini! Hitungan ketiga sampai di sini! Satu! Dua! Tiga!” Naraya berlari membelah air, menuju asal suara. “Telat! Push up sepuluh kali,” ujar senior tersebut. Bentakan demi bentakan Naraya lewati dengan muka datar. Teriakan di telinga dan di depan muka sudah biasa baginya. Dia tetap tenang dan bergeming. Karena ia sudah pernah melewati malam lebih parah daripada ini, dan sebentar lagi, malam parah itu akan diulanginya kembali. Siapa yang benar-benar akan tanya visi, misi, tujuan dan program kerja, malam ini? Jika pun ada, semuanya pasti salah dan tidak benar di mata mereka. Malam ini adalah malam 'Dua Pasal'. Dua Pasal tersebut adalah: Satu, Senior tidak pernah salah. Dua, Jika senior salah kembali ke pasal satu. Di OSIS ataupun Pasuspala, dua pasal itu tetap berlaku. Intinya? Senior tidak pernah salah. Juniòr bisa apa? Selain siapkan mental dan fisik saja. Jika dirasa memang tidak sanggup melewatinya, lebih baik jangan mendaftar menjadi anggota, bukan? Tidak terasa akhirnya Naraya berada di posko terakhir yang dihuni pengurus OSIS. “Naraya! Sini!” Ranendra yang biasa baik dan bijaksana berubah galak. Sebagai anggota OSIS, Naraya tahu, sikap Ranendra ini hanyalah tuntutan peran. “Lo tahu, salah lo apa?” seru cowok itu beberapa senti dari muka. Sebenarnya, Naraya ingin tertawa. Dia juga bagian dari kepengurusan tahun lalu. Dia tahu bagaimana Ranendra, Adji, dan lainnya. Mereka juga bekerja sama dalam membuat setiap acara-acara OSIS, dan Ranendra tidak pernah marah. “Maaf. Enggak tahu, Kak.” “Woy, lihat! Naraya enggak tahu salahnya apa.” Ranendra menoleh ke pengurus lain yang dibalas dengan sorakan. Fiska maju ke depan. Sekretaris Umum OSIS itu menyentuh dagunya sehingga mereka bertatapan. “Salah lo itu, sok cantik!” pekiknya dan kembali disoraki yang lain. Naraya hanya diam. Dia sok cantik? Tidak salah? Sepertinya Fiska baru saja berkaca di mukanya. Untuk orang yang bahkan tidak peduli penampilan, tuduhan sok cantik sangat tidak akurat. Dia menggigit bibir guna menahan tawa. Ranendra memalingkan muka Naraya agar menoleh ke arahnya. “Salah lo itu, sering izin rapat OSIS. Yakin lo beneran latihan?” “Saya benar latihan, Kak.” “Enggak usah nyahut lo!” sahut yang lain mulai memanasi. Salah satu senior yang bukan merupakan pengurus inti mendekatinya. “Salah lo itu, maju nomor satu. Sok jadi pahlawan buat yang lain, tahu lo?!” Sok pahlawan? Naraya menghela napas samar. Anak itu perlu ditarik ikut pelantikan Pasuspala agar tahu bagaimana Pasuspala. Dia tidak pernah mau jadi sok pahlawan, tetapi dia tahu apa yang akan dijalani Angkatan 13 selagi menunggu kedatangannya. “Sok oke!” lengking pengurus lain di telinga kiri Naraya. "Sok paten!” bentak yang lain di telinga kanannya. Ranendra kembali mengambil alih. “Sekarang, lo tampar muka lo sendiri,” perintahnya. Namun, Naraya hanya diam. “Tampar,” suruh Ranendra kembali. “Dengar nggak? Tampar muka lo, Naraya.” Cowok itu menyejajarkan muka mereka untuk saling bertatapan. “Tampar!” Ranendra mulai kesal. “Lo dengar enggak, sih?” Adji yang sedari tadi memilih untuk tidak terlibat akhirnya turun tangan. Seluruh pengurus OSIS juga tahu kalau dia dekat dengan Naraya, Adji tidak mau dituduh nepotisme. “Kenapa lo enggak tampar muka lo sendiri? Takut?” selanya. “Jawab, Naraya!” seru Ranendra lagi. Cowok itu mulai kelelahan karena setiap seruannya tidak berefek apa pun kepada Naraya. “Maaf, Kak. Tidak ada yang menyayangi diri kita seperti kita sendiri. Saya tidak akan menyakiti badan saya sendiri.” “Pilih, tampar atau gue gampar?” ujar Adji belagak beringas. Ingatkan Naraya untuk melempar kepalanya pakai handgrip di kantin, besok-besok. “Jika itu pilihan, saya memilih opsi kedua, Kak.” Tiba-tiba, dalam sekejap pipi kiri Naraya terasa sedikit panas. Tangan Adji menamparnya meski tidak keras. Dia terdiam, tidak menyangka Adji akan benar-benar menamparnya. Jika saja ini di kantin, mungkin Naraya akan balas menjotos. Tetapi Naraya cukup paham kalau saat ini, mereka bukan teman yang bisa tertawa bersama. Mereka adalah senior dan juniòr. Sebelah tangan Adji terlihat mengayun kembali, membuat Naraya memejamkan mata. Dia menunggu saat panas terpercik di kulit muka tetapi yang dirasanya hanya tepukan lembut di pipi kanan, Naraya membuka mata, heran. “Mau ditampar berapa kali pun, anak Pespel nggak mungkin kalah, nggak mungkin nyerah,” ungkap Adji menyadari bahwa gertakan yang dibikinnya dan teman-teman pengurus kepada Naraya hanyalah hal yang sia-sia. Renard sudah datang ke posko terakhir. Pengurus sudah berpindah fokus buruannya kepada cowok itu. “Ya udah, giliran lo udah selesai. Lo bisa duduk sebentar di sini sebelum balik ke Pespel,” tambah Adji. “Makasih, tapi mereka menunggu saya, Kak,” desis Naraya yang hanya didengar mereka berdua. Ucapan terima kasihnya kali ini terasa sangat tulus sekali. Sebab dia tahu, pelantikan Pasuspala tidak akan dimulai jika peserta belum lengkap. Naraya lalu mundur dan berjalan menuju ke daratan. “Nay,” panggil Adji, tidak peduli lagi apakah terdengar tidak professional bagi yang lain karena memanggil memakai nama panggilan akrab. Dia berjalan menuju Naraya, membelakangi pengurus lain yang sedang melingkari Renard. Naraya menoleh. Cowok itu menatap keadaannya. Menatap kemeja lapangannya, menatap celana kargonya, menatap sepatu gunungnya yang semuanya sudah basah kuyup. Adji pasti tahu apa yang akan terjadi sama Naraya setelah dari sini. Bersahabat dengan anak-anak Pespel dan satu kantin bersama membuat Adji tahu apa yang terjadi saat pelantikan, apa yang ditutup-tutupi dari guru sehingga memilih kawasan terjauh. Adji tahu semuanya. Adji juga sadar tidak bisa menahan Naraya lebih lama. Ikatan kesetiakawanan anak Pasuspala tidak diragukan lagi. Setengah gemas bercampur khawatir, dia bergumam lirih, “Lo kenapa pilih masuk Pespel, sih, Nay?” Naraya cuma tersenyum tipis, tidak tahu mau menjawab apa. “Permisi, Kak,” pamitnya undur diri untuk berlari secepatnya menuju basecamp pelantikan slayer Pasuspala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD