Eps. 4 Resepsi Pernikahan Kana

1336 Words
Sekar resah dengan kondisi Kana. Tangan gadis itu terasa dingin kala Sekar menyentuh. "Kana ... ada apa denganmu?" Terang, Sekar cemas sekali melihat kondisi cucunya. "Bawa Kana ke tempat tidur." Sekar beralih menatap pelayan yang ada di sampingnya. "Baik, Nyonya." Pelayan segera mengangkat Kana lalu membaringkannya di tempat tidur. "Apa perlu dipanggilkan dokter, Nyonya?" "Ya, panggilkan dokter keluarga saja. Karena tidak tahu pasti seperti apa kondisinya Kana. Hanya dokter yang lebih tahu kondisinya dan kita mengambil tindakan cepat." "Baik, Nyonya." Pelayan kemudian segera keluar dari kamar menuju ke ruang tengah di mana telepon berada. Bahkan dia pun sampai berlari menggapai telepon yang ada di meja. Dengan cepat jemari itu memutar nomor telepon. Bicara pun dengan tergesa-gesa setelah telepon tersambung. "Semoga saja, dokter segera datang." Setelah menaruh kembali gagang telepon kembali ke kamar Kana. Stand by di sana jika sewaktu-waktu Sekar membutuhkan dirinya. Biasanya jika Kana sedang sakit, Sekar meminta pelayan yang ada di rumah seharian penuh menjaganya. Jadi, pelayannya ada di rumah berjaga bergantian. Mungkin Sekar sedikit over protektif, karena tinggal Kana satu-satunya keluarga yang dimilikinya di usia senjanya kini. Bahkan fotonya saja yang berusia lebih mudah darinya sudah pergi lebih duluan daripada dirinya. "Nyonya, Jika Anda mau makan, tinggalkan saja Nona Kana bersamaku di sini," tawar pelayan. "Tidak, mungkin dokter sebentar lagi akan datang. Aku akan tunggu sampai dokter datang. Setelah dokter memeriksanya, baru aku akan makan siang." Terdengar suara pintu diketuk. Pelayan lain yang ada di pintu masuk segera membukakan pintu. Seorang pria memakai jubah putih dengan tas hitam serta stetoskop yang tergantung di leher, menyembul dari balik pintu. "Dokter, silakan masuk. Nyonya sudah menunggu Anda." Dokter hanya mengangguk kemudian mengikuti pelayan yang menuntunnya ke sebuah ruangan. Di sana, Sekar segera menghampiri dokter, tak sabar agar pria itu segera memeriksa Kana. "Dokter, tolong periksa cucuku. Dia tak sadarkan diri. Tubuhnya dingin, entah berapa lama dia berada di lantai dengan perut kosong seharian." "Baik, Nyonya, saya akan periksa kondisinya." Sekar menunggu dengan cemas saat dokter mulai memeriksa Kana hingga pemeriksaan selesai. "Nyonya, Nona memang depresi. Mohon untuk perhatikan dan lebih sering menemani juga mengajaknya bicara agar kondisinya segera sambil kembali seperti semula. Ini obat untuk tiga hari ke depan. Jika kondisinya membaik maka tak perlu minum obat lagi, namun jika kondisinya tetap atau semakin memburuk maka hubungi saya kembali." Dokter memberikan penjelasan serta menyerahkan obat untuk Kana. "Baik, terima kasih, Dokter." Sekar menerima obat tersebut. Setelah dokter pergi, Sekar menghampiri Kana yang sudah sadar. "Kamu sudah sadar, Nak. Kamu benar-benar membuat Nenek khawatir." Kana duduk dalam diam, Sekar meraihnya dalam dekapan. Kana bisa merasakan tubuh sang nenek yang gemetar. Dia tahu sang nenek sangat mengkhawatirkan dirinya. Selama beberapa tahun ini wanita itu mempunyai peranan penting dalam hidupnya. Dia sudah menggantikan posisi Julia juga selalu ada di sisinya. Terutama di saat ia dalam kondisi terpuruk seperti saat ini. "Maaf, jika aku membuat Nenek khawatir. Bukan maksudku begitu, tapi keadaannya memaksaku begini. Kenapa aku tidak bisa bahagia dalam hidupku, Nek? Dan kenapa semua yang kuinginkan tak pernah terwujud?" Bukan protes, Kana hanya mengungkapkan semua isi hatinya, curahan apa yang ia rasakan kini. Sekar mengusap lembut punggung Kana. Dia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan oleh cucunya itu. "Nenek tahu kamu sedih. Tapi jangan berlama-lama seperti ini. Nenek tidak mau kamu sakit. Hidup memang tak semulus seperti yang kita inginkan. Tapi kita harus terus bangkit dan selalu maju ke depan berapa kali pun dunia menjatuhkanmu dengan kejam. Nenek yakin, di balik semua ini pasti ada berkah manis untukmu. Kamu menyesap getirnya getah buah nangka terlebih dulu untuk bisa menikmati dagingnya. Anggap saja begitu." Kana mengangguk mendegar petuah panjang lebar dari Sekar. Bagaimanapun juga sang nenek lebih banyak makan garam daripada dirinya dalam mengarungi hidup. Satu minggu berlalu, Kana nampak sedih namun setiap hari sekarang tak bosan untuk menghibur juga memberinya petuah panjang lebar mengenai kehidupan. "Hidup bukan mengenai apa yang harus kita cari tapi menghadapi apa yang terlempar pada kita." "Nenek ..." Hampir setiap hari Sekar memberikan motivasi dan petuah hidup untuk Kana. Semua itu ia maksudkan agar cucunya itu tidak terus terjatuh dalam tebing curam tanpa dasar buatannya sendiri. Entah kenapa intuisinya mengatakan jika Dylan itu seperti sebuah cangkang telur yang harus dipecah untuk menemukan inti saripati dari telur itu sendiri. Selama ini intuisinya sangat tepat mengenai apapun dan tak pernah meleset sedikitpun. Bukan karena wanita itu berada dalam garis naungan zodiak Aries yang terkenal tajam intuisinya. Namun pengalaman yang membuktikan itu selama ini. "Apa aku sanggup, Nek, menghadapi semua ini sendiri?" "Yakin lah, kamu pasti bisa. Ada terang yang terbit setelah gelap. Sekarang kamu berada di area gelap, tapi tak sepenuhnya gelap. Hanya hatimu sendiri yang bisa memberikan sinar dan petunjuk untukmu." Lagi, Sekar memberikan petuah pada Kana. Satu bulan tepat terlalu dan hari ini adalah hari tanggal pernikahan Kana. "Apa pengantin wanitanya sudah siap?" Suci, Istri Hasan bertanya pada pelayan yang ada di rumahnya. Pernikahan Kana dan Dylan tidak diadakan di gedung ataupun di rumah Kana sendiri, tapi di rumah Hasan. Itu atas permintaan Hasan sendiri setelah sebelumnya berembuk dengan Sekar untuk beberapa alasan. Salah satunya karena kondisi Dylan yang berada di kursi roda saat ini, kondisi pria itu tidak memungkinkan untuk melakukan pernikahan di sebuah gedung. Bahkan tamu undangan hanya kerabat dan beberapa teman dekat saja. Namun meski di rumah, acara pernikahan itu tergolong mewah. "Belum, Nyonya," jawab pelayan. "Kenapa lama sekali? Coba kamu periksa dan bilang pada MUA untuk cepat menyelesaikan riasan pengantin wanita." "Baik, Nyonya." Pelayan berjalan menuju ke ruang tempat Kana dirias. "Tunggu!" Pelayan kemudian berhenti. "Ada lagi, Nyonya?" "Periksa apakah Dylan sudah selesai dan siap dibawa ke altar pernikahan?" "Baik, Nyonya." Pelayan membungkuk pada wanita yang sudah mengenakan kebaya elegan berwarna merah jambu yang dipadu-padankan dengan warna putih, kemudian melanjutkan langkahnya. Suci sendiri kemudian menuju ke ruangan lain di mana Hasan berada. Pria itu sudah terlihat rapi dengan setelan jas berwarna hitam yang melekat di tubuhnya. Ada setangkai mawar merah pada saku jasnya, yang menambah kesan elegan. "Sayang, kamu sudah siap, bukan?" "Sudah." Di hari yang bahagia ini, Hasan nampak ceria dengan wajahnya yang berseri meski sakitnya belum sepenuhnya pulih. Dengan berjalan perlahan, Hasan menghampiri suci menunggu di altar pernikahan. Hasan berhenti sebentar di ruang rias. "Biar aku periksa Dylan sebentar." Hasan meraih gagang pintu. Namun Suci menahan tangan pria itu, "Tidak perlu. Biar pelayan yang urus Dylan. Tamu di luar sedang menunggu kita, sebaiknya kita temui mereka." Hasan menarik tangannya yang sudah mengambang di udara. Bisa dibilang pria itu selalu menurut pada apa kata Suci. Apapun itu. Bagi Hasan, perkataan Suci seperti ada magnetnya yang membuat dirinya terus tertarik ke sana, melekat, tanpa bisa lepas. Di dalam ruang rias. "Nenek, aku takut." Sekar bicara melirik dengan ekor matanya ke arah Sekar berdiri. "Tarik napas dalam, itu akan membuatmu lebih tenang." Kana kemudian menarik napas panjang. "Sudah selesai, Nona," ujar MUA. Kana mematut dirinya dirinya di depan cermin dalam balutan kebaya putih elegan yang membuatnya nampak cantik sekali. Ia pun berdiri tepat di saat pelayan rumah menjemputnya, lalu membawanya keluar menuju ke altar pernikahan. Di luar ruangan dia berpapasan dengan pelayan lain yang mendorong kursi roda Dylan. Sejenak tatapan mereka bertemu. Sorot mata Kana bergetar menatap sorot terpukau Dylan. Mereka kemudian menuju ke altar pernikahan bersama. Penghulu sudah menunggu mereka berdua. Pelayan memposisikan Dylan berada di samping Kana. Acara ijab kabul pun dimulai. "Apakah Dylan Evano Putra bin Hasan Al-Mansyur bersedia menikah dengan Kana Zarin Aurora?" Tak hanya Kana yang tegang menunggu jawaban dari pria itu, Hasan dan Suci pun ikut tegang pula. Mereka berdua terus menatap intens Dylan selama satu menit. "Saya terima nikahnya Kana Zarin Aurora binti Faisal menjadi istri saya." Kana merasa aneh kenapa pria di depannya kali ini bicara dengan benar tidak seperti beberapa waktu yang lalu saat mereka bertemu. Kana kemudian ganti mengikuti ijab kabul dengan haru. Matanya nampak berembun kala mereka bertukar cincin pernikahan. Dia menahan getirnya hati di hari bahagia ini. Hingga acara pernikahan usai, dan tamu sudah pada pulang. Tinggal keluarga inti di sana. "Kana, sekarang kamu bawa suami kamu ke kamar. Berikan kami cucu secepatnya," ujar Hasan membuat Kana syok di tempat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD