Flow of Life - 37

2094 Words
Setiap mata yang menyaksikan kejadian itu, terbelalak sangat lebar, mereka tidak henti-hentinya terkaget dengan kemunculan cahaya terang berwarna biru yang berpendar dan besinar-sinar dari seluruh tubuh Colin, yang kini sedang berdiri tegak di lapangan dengan kepala terperangah ke langit, dan mulutnya menganga sangat lebar, juga mengeluarkan cahaya biru terang dari dalam kerongkongannya. Entah apa yang sedang terjadi, hingga Colin mendadak menunjukkan cahaya terang itu di depan semua penonton, tapi dari setiap kepala yang mendengar ucapan orang itu sebelum mengeluarkan sinar, mereka menduga sepertinya Colin sangat marah dan muak, sampai akhirnya berniat membuktikkan pada kawan dan lawannya bahwa dia bukanlah seorang pengecut tak berguna dan tanpa sadar itu menyebabkan tubuhnya—yang entah karena apa—bereaksi mengeluarkan cahaya biru yang terang benderang tersebut. Nico, dari tempat duduknya, segera berdiri dan berteriak-teriak pada Paul dan Lizzie, meminta mereka untuk menghentikkan aksi Colin yang mendadak aneh seperti itu, tapi sayangnya, karena lokasi dirinya terlalu jauh dari orang-orang yang diteriakinya, suara Nico tidak terdengar sama sekali dan membuat ia jadi sangat kesal. Tentu saja, melihat Nico tiba-tiba berdiri dan berteriak-teriak memanggil Paul dan Lizzie, membuat teman-teman sesama pahlawannya yang duduk di dekat dirinya jadi ikut panik, bertanya-tanya dan berusaha menenangkan kekesalan dari Si Lelaki Berkaca Mata itu, yang tampaknya sangat kecewa karena suaranya benar-benar tidak terjangkau. Sementara Roswel, yang juga ikut menyaksikan pertandingan itu dari tiang tinggi yang tertanam di depan bangku para penonton sebelah barat, dengan berperan sebagai pembawa acara, hanya tersenyum simpul melihat Colin mengeluarkan cahaya biru terang di tengah lapangan, sambil berkata seolah-olah dia mengetahui alasan mengapa seluruh tubuh Colin jadi dipenuhi dengan cahaya biru yang sangat terang. “ADA APA DENGAN TUBUHNYA!?” Paul tidak mengerti mengapa tubuh Colin jadi penuh dengan cahaya dan itu membuatnya jadi panik dan mengabaikan Lizzie yang ada di dekatnya, menunda pertarungan sengit yang sebelumnya sempat memanas. Bukan hanya Paul, Lizzie pun terheran-heran melihat hal itu, baru kali ini dia menyaksikan seseorang dapat mengeluarkan cahaya yang begitu terang dari badannya, seakan-akan seperti melihat sebuah lampu sorot yang menerangi kota di malam hari. Entahlah, tapi itu sangat tidak wajar bagi seukuran tubuh manusia, karena sangat jelas, manusia normal tidak mungkin bisa mengeluarkan sebuah sinar benderang di seluruh tubuhnya. Lantas, apa yang menyebabkan Colin menjadi seperti itu? “AAARGH! AAAAARGH! AAAAAAAAAARGH!” Kepanikan di tengah lapangan meningkat ketika Colin mengerang-ngerang kesakitan, seperti orang yang sedang disiksa dengan sangat pedih. Suara teriakannya begitu melengking dan menyedihkan, membuat beberapa penonton jadi ikut merasa tegang dan perih saat menontonnya. Penasaran, Paul mencoba berjalan cepat, melangkah dengan tenaga kuat, untuk mendatangi pahlawan pertamanya itu yang kini sedang bertingkah aneh di hadapannya. Melihat Sang Mentor pergi dari sampingnya, membuat Lizzie terdiam, dia sudah tidak begitu mempedulikan pertandingannya, karena fenomena tubuh Colin yang mengeluarkan cahaya telah membuat pertarungannya jadi tertunda secara otomatis, dan menciptakan kebingungan dan kepanikan dari seluruh penonton yang menyaksikan. “Hey! Colin! Apa kau mendengarku!?” Sesampainya di depan Colin yang masih sedang berdiri dengan kepala tertenggak ke langit dan mulut yang menganga sangat lebar, Paul memekik-mekik, memastikan kesadaran dari si lelaki berambut biru itu. “Jika kau masih mendengarku, maka jawablah! Ada apa denganmu!? Apa yang terjadi hingga seluruh tubuhmu mengeluarkan cahaya seperti ini!?” Sayangnya, Colin sama sekali tidak merespon pertanyaan Paul, dia masih berteriak-teriak seperti orang yang sedang kesakitan, membuat para penonton jadi bersorak-sorak kebingungan. Tidak mengerti harus bagaimana, akhirnya Paul mengalihkan perhatiannya dari Colin kepada Roswel yang sedang berdiri di puncak tiang tertinggi. “MENGAPA KAU DIAM SAJA!? KAU PEMBAWA ACARA, KAN!? MAKA JELASKANLAH INI PADAKU!? MENGAPA DIA JADI DIPENUHI CAHAYA BEGINI!? APA YANG TERJADI SEBENARNYA, ROSWEL!?” Mendengar suara Paul yang menggelegar-gelegar di setiap penjuru arena, yang juga terdengar jelas oleh para penonton, tidak membuat senyuman Roswel lenyap karena kaget, malah sebaliknya, si lelaki pucat berjubah putih benar-benar terlihat santai dan biasa-biasa saja menyaksikan kejadian aneh tersebut. “Tidak perlu cemas, Tuan,” Akhirnya Roswel angkat suara, mencoba menjelaskan fenomena itu pada Paul, dan juga pada setiap orang yang masih belum mengerti mengenai hal tersebut. “Seperti yang telah saya terangkan beberapa hari yang lalu, setiap pahlawan yang terpilih, telah dimasuki oleh roh kunang-kunang ke dalam tubuhnya masing-masing. Dan kelak, roh kunang-kunang itu akan memberikan kekuatan saktinya kepada Sang Pemilik Tubuh, jika Sang Pemilik Tubuh sedang berada di situasi genting dan benar-benar membutuhkannya saat itu juga, dan kejadian yang saat ini sedang terjadi, adalah hal tersebut.” Paul dan beberapa pahlawan Madelta yang mendengarnya terkejut, sedangkan mayoritas penonton, tampak memahaminya dengan baik karena mereka rata-rata adalah pahlawan-pahlawan profesional yang tentu saja telah melewati fase-fase demikian. “Sepertinya Tuan Colin secara tidak langsung telah merangsang roh kunang-kunang yang ada di dalam tubuhnya untuk bereaksi dan memberikannya kekuatan sakti, yang akhirnya seluruh tubuhnya jadi mengeluarkan cahaya biru yang sangat terang. Tapi itu tidak masalah, itu hanya proses adaptasi tubuh agar Tuan Colin dapat terbiasa dengan rangsangan kekuatannya sendiri. Begitulah, Tuan.” Mengernyitkan alisnya, Paul jelas paham pada penjelasan itu, tapi yang membuatnya masih terheran-heran adalah mengapa prosesnya lama sekali, sampai Colin tampak mengerang-ngerang kesakitan, seolah-olah seluruh tubuhnya sedang dipanggang hingga jadi gosong. “Dasar pemula,” Leo kembali mengeluarkan suaranya, setelah mengamati kejadian heboh yang sedang terjadi di tengah arena. “Itu cuma hal biasa, dan tidak terlalu mengejutkan. Keluarnya cahaya terang dari tubuh para pahlawan adalah hal yang bagus karena artinya mereka telah dipercaya oleh si roh kunang-kunangnya bahwa orang ini cocok untuk memakai kekuatan saktinya. Dan konyolnya mereka semua tampak panik, seperti sedang melihat dunia kiamat. Beruntungnya ketika aku pertama kalinya melihat cahaya yang keluar dari tubuh para pahlawanku, reaksiku tidak sekonyol mereka.” Setelah mengungkapkan isi hatinya, Leo tertawa terbahak-bahak dari bangkunya, menertawakan tingkah Paul dan para pahlawannya di tengah arena yang tampak seperti badut. Tawa renyahnya menular kepada pahlawan-pahlawannya, hingga akhirnya kelompok Leo seluruh anggotanya terbahak-bahak dengan begitu keras. Vardigos yang juga duduk di dekat Leo hanya terdiam dengan memasang wajah serius, tampak mengabaikan sikap angkuh dan sombong dari mentor dan para pahlawan bimbingannya. Perlahan-lahan, cahaya terang berwarna biru itu mulai meredup, membuat sinarnya tidak terlalu menyilaukan mata para penonton, membuat Paul dan juga Lizzie sedikit lega melihatnya. Dan saat cahayanya benar-benar telah menghilang, Colin dengan badan yang masih bertelanjang d**a, menjatuhkan dua lututnya ke tanah, dan jadi terduduk di permukaan dalam keheningan. Darah yang mengering menghiasi kening dan pipinya, Colin terengah-engah di atas tanah, menundukkan kepalanya dengan mengatur napas sebanyak mungkin. Beberapa penonton ada yang berteriak-teriak, menyuruh Colin untuk kembali bertarung dan menunjukkan kekuatan saktinya pada mereka, sementara Paul dan Lizzie— “Hey! Kau baik-baik saja, kan!?” tanya Paul dengan berlari mendekat dan ikut berjongkok di depan Colin. “Bagaimana perasaanmu sekarang!?” Lizzie melakukan hal yang serupa seperti mentornya dengan menepuk bahu Colin yang begitu lemas dan tidak bertenaga. “Hah… Hah… Hah…,” Sebelum menjawab, Colin memperbaiki tempo napasnya terlebih dahulu. “Aku tidak tahu, entah kenapa semuanya jadi sangat biru di hadapanku, tidak ada warna lain yang aku lihat barusan dan tubuhku jadi terasa sangat panas, rasanya menyakitkan, seperti tenggelam di lautan air yang mendidih,” kata Colin, menjelaskan hal yang baru saja menimpanya, kemudian lelaki berambut biru itu memandangi wajah Paul dan Lizzie, yang berjongkok di depannya. “Tapi terima kasih, aku sekarang baik-baik saja.” “Jika kau tidak mampu untuk melanjutkan pertandingan, aku akan bilang pada Roswel, dan kau tidak perlu mengikuti pertandingan ini,” tegas Paul dengan sorotan matanya yang sangat serius menatap Colin. “Biar Lizzie saja yang menjadi lawanku, aku tidak mau menghajar orang yang sedang lemah.” Sontak, mendengar itu, dua tangan Colin langsung meremas permukaan tanah dan melemparkan serbukan-serbukan pasirnya tepat pada muka Paul, sehingga debu-debunya bertebaran dan membuat Lizzie dan juga mentornya jadi terbatuk-batuk dengan mata yang tertutup. Secara gesit, Colin beranjak dari posisi duduknya, dan berdiri gagah di depan Paul dan Lizzie yang masih sedang terbatuk-batuk ria. “Justru sekarang aku akan menunjukkan pada kalian, bahwa aku tidak serapuh dan selemah yang kalian kira,” Colin melangkah mendekat dan mencengkram rambut hitam Paul dan menariknya sekuat mungkin ke atas untuk membuat orang itu berdiri tegak di hadapannya. “Tidak perlu menahan diri, lanjutkan saja pertandingan ini dan lawanlah aku sekeras mungkin, Paul!” Usai mengatakannya, Colin melepas cengkraman tangannya dari rambut Paul secara kasar, membuat Sang Mentor jadi tergoyah dan nyaris terjatuh dari posisi berdirinya. Setelah menyeimbangkan kembali badannya, Paul menatap tajam Colin yang ada di depannya dan menyeringai. “Heh! Kukira kau bakal demam karena kejadian tadi, rupanya nyalimu jadi tambah besar, ya!” “Tapi lawanmu bukan cuma Colin, b******n!” Tiba-tiba Lizzie menerjang Paul dari belakang untuk menjatuhkan orang itu, sayangnya Sang Mentor menyadari pergerakannya dan langsung berbalik dan menyikut wajah si gadis tomboi hingga terpeleset sedikit ke samping. “Urgh!” Rasa sakit menjalar di pipi kirinya setelah disikut kuat oleh lengan kanan Paul. “Tanpa diberitahupun, aku sudah tahu bahwa lawanku sekarang adalah dua orang paling menyebalkan di antara pahlawan-pahlawan bimbinganku!” Berhasil menyerang balik Lizzie, dengan gesit Paul mengambil langkah cepat untuk pergi sejauh mungkin dari mereka berdua, sebelum sesuatu yang tak terduga terjadi. Namun, sesaat dirinya berhasil mengambil jarak yang cukup jauh dari Lizzie dan Colin, dia sangat kaget karena saat badannya berbalik untuk memandang ke sosok lawan-lawannya yang berada jauh di depannya, ternyata mereka malah lenyap dari pandangan dan membuat Sang Mentor jadi terbelalak keheranan. “Mereka menghilang!?” pekik Paul, terkaget-kaget. Kemudian, dia tengok ke segala arah untuk mengawasi dan memeriksa keadaan di sekitar, tapi hasilnya tetap nihil. “Sebenarnya di mana mereka!?” Baru saja Paul mengatakan itu, sebuah pukulan menghantam punggungnya sangat kuat sampai badannya terjumpalit ke depan dan memuntahkan segala yang ada di dalamnya, membuat rasa nyeri yang sangat pedih menyebar ke seluruh tubuhnya. Saat tubuhnya terguling-guling dan terbaring di tanah, Paul menolehkan pandangannya ke arah yang barusan seseorang memukul punggungnya dan betapa kagetnya dirinya bahwa sosok yang melakukan hal itu ternyata adalah Colin, sementara Lizzie ada di sampingnya dengan berdiri angkuh sembari melipat dua tangannya di depan d**a, tampak menyeringai senang melihat Sang Mentor berhasil dijatuhkan. “U-Urgh! S-Sialan!” ringkih Paul dengan berusaha membangkitkan kembali badannya tertatih-tatih. Tangan kanannya mengusap darah segar yang mengalir dari mulut basahnya, dan matanya melotot saking jengkelnya. “Jangan memaksakan dirimu, Paul,” ucap Colin setelah melancarkan serangan pada punggung Paul sehingga orang itu jadi mengerang dan sedang berusaha sekuat tenaga untuk membangunkan badannya. “Menyerahlah jika tubuhmu sudah tidak kuat lagi.” Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Colin ada benarnya, sebab pukulan yang baru saja dihantamkan pada punggung Paul didorong oleh kekuatan yang cukup besar, yang berasal dari kekuatan sakti roh kunang-kunang yang ada di dalam tubuh lelaki berambut biru itu sehingga setiap pukulannya benar-benar terasa sangat menyakitkan. Dan tentu saja Paul masih terasa nyeri akibat hantaman yang mengenai punggungnya itu, tapi karena sifatnya yang keras kepala dan tidak mau kalah begitu saja, akhirnya dia mencoba untuk kembali membangkitkan badannya, walaupun setiap pergerakannya jadi terasa lemah dan lemas dari sebelumnya. Energinya hampir habis, dan pernapasannya jadi makin sesak. Efek yang ditimbulkan dari serangan yang Colin lancarkan pada punggungnya, benar-benar luar biasa menyakitkan. “Jangan berlagak sombong kau!” raung Paul sesaat dirinya sudah berdiri sempurna di atas kakinya yang tampak gemetaran. “Hanya karena berhasil memukulku, bukan berarti aku akan kalah sebegitu mudahnya, b******k!” Kekesalannya memuncak, Paul langsung mengangkat kakinya dan berlari kencang mendatangi Colin dan Lizzie, sembari meraung-raung kencang, menciptakan suasana yang sangat mendebarkan, membuat para penonton jadi penasaran siapa yang akan memenangkan pertandingan sengit ini. “Biarkan aku menghajar wajahnya!” Lizzie berlari mendekati Paul dengan mengangkat tinju tangan kanannya untuk dibantingkan ke wajah Sang Mentor, saat melangkah kencang, ia juga berteriak-teriak keras, membalas semua raungan yang mentornya katakan dengan kata-kata yang cukup kasar. Namun, baru setengah perjalanan, tiba-tiba badan Paul ambruk dari posisinya yang sedang berlari, jadi tergeletak ke tanah dengan d**a yang kembang-kempis, mengatur napasnya yang sudah semakin sesak. Melihat itu, tentu saja membuat Lizzie jadi menghentikan pergerakannya dan terkejut, tidak menyangka Paul akan jatuh dengan sendirinya ke tanah. “Sepertinya dia sudah sangat lemah,” ujar Lizzie sebelum akhirnya menoleh ke belakang, menatap Colin yang sedang terkaget melihat kondisi Paul. “Tidak salah lagi, kita menang, Colin!” “Ya, kalian telah menang,” Seketika Lizzie terkejut saat terasa ada napas yang menderu di belakang lehernya, dan saat ia mencoba memutar kepalanya sedikit, dia terkesiap ketika orang yang barusan berbicara adalah Paul. “Selamat atas kemenangannya!” Sambil mengatakan itu, Paul menarik dua tangan Lizzie ke belakang dan ‘PRETAK!’ mematahkannya sampai bengkok ke arah yang tidak wajar. “AAAAAAAAAAAAAAAARGH!” Lizzie tidak bisa menahan rasa sakitnya ketika dua tulang lengannya dipatahkan sebrutal itu oleh Paul, sampai membuat gadis tomboi itu jadi menjerit kesakitan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD