Flow of Life - 35

2083 Words
"Eh?" Colin yang baru saja terbangun dari pingsannya terkejut saat menyadari bahwa dirinya tengah berada di suatu ruangan yang gelap dan pengap. "Di mana aku?" Mengerjap-erjapkan matanya, Colin mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin sebelum akhirnya membangunkan diri untuk duduk di atas ranjang yang merupakan tempat berbaringnya, demi mengamati tempat yang kini dihuninya. "E-Eh!?" Colin semakin terkejut saat mengetahui bahwa bukan cuma dia satu-satunya yang berada di ruangan gelap dan pengap ini, ada Nico yang tidur di ranjang sebelahnya, ada pula Jeddy, Abbas, dan Victor yang sama-sama terlelap di atas ranjangnya masing-masing yang berjejer di depan kasurnya. "Ini maksudnya apa? Mengapa kami semua di sini? Apakah kami disekap oleh orang-orang jahat!? Untuk dijadikan sebagai b***k dan alat atau mungkin... KAMI BAKAL DIBUNUH DAN DIJUAL!?" Kehisterisan dan kepanikan Colin mengagetkan teman-teman lelakinya yang tengah terlelap dalam tidurnya masing-masing, sehingga satu-persatu dari mereka membuka kelopak matanya dan menguap lebar. "Kau kenapa, Bro?" Jeddy lah yang pertama kali membangunkan badannya untuk terduduk di ranjangnya lalu bertanya pada Colin dengan rambut hijau jabriknya yang semrawut bak rumput liar. "Apanya yang 'kenapa'!? Justru aku yang seharusnya bertanya begitu padamu! Kenapa kau dan yang lainnya bisa terlelap dengan begitu nyenyaknya di tempat asing seperti ini!?" Tanpa ba-bi-bu, Colin langsung menyerang Jeddy yang baru saja terbangun dengan semburan panas dari segala perkataannya. "Jawab! Sekarang kita ada di mana!? Bukankah kita baru saja sampai di Pulau Gladiol dan bersorak-sorai dengan bergembira!? Lalu ini di mana!? Mengapa kita jadi terjebak di tempat seperti ini!?" "Oi-oi-oi-oi, tenanglah, Bro," Jeddy jadi terheran-heran melihat Colin yang tampak super ketakutan seperti itu sampai wajahnya jadi memucat seperti mayat hidup. Mengangkat dua tangannya, Jeddy menyunggingkan senyuman lebarnya dan berkata, "Kita tidak sedang terjebak, Bro. Kita masih berada di Pulau Gladiol dan ruangan ini adalah tempat kita beristirahat di dalam Istana Sang Penguasa. Kau tidak tahu karena sebelumnya kau jatuh pingsan. Jangan panik, tenanglah, Bro." Mengatur napasnya pelan-pelan, Colin berusaha menenangkan dirinya sendiri agar tidak panik lagi seperti tadi. "Baik, lalu mengapa kita tidur di ruangan jelek seperti ini? Bukankah kau bilang ini adalah sebuah istana? Lalu mengapa kita tidur di kamar yang bagus dan mewah!? Kita ini orang-orang yang terpilih sebagai pahlawan, kan!? Mengapa Sang Penguasa begitu jahat pada kita!? Dan bagaimana bentuk dari makhluk bernama Sang Penguasa itu, aku belum pernah melihatnya! Apa kalian tadi sudah bertemu dengannya!?" Menggelengkan kepalanya, Jeddy mulai menjawab, "Tidak, kami belum bertemu dengan Sang Penguasa, katanya kita bakal bertemu dengannya besok pagi, Bro." "Lalu," Tiba-tiba terdengar suara Nico di sampingnya, membuat Colin segera menoleh dan tersentak melihat lelaki berambut putih itu telah terduduk di atas kasurnya tanpa memakai kaca matanya. "Alasan mengapa kita tidur di tempat seperti ini, itu karena tidak ada lagi ruangan layak yang bisa kita tempati, karena semuanya sudah penuh. Sebab, kita adalah kelompok terakhir yang datang ke istana ini, yang artinya, semua kamar elit sudah terisi oleh kelompok-kelompok yang datang sebelum kita. Kita sangat telat. Begitulah, Colin." "Kelompok-kelompok lain?" Mengernyitkan alisnya, Colin masih belum paham pada maksud dari sebutan itu. "Selain kita, ada kelompok-kelompok pahlawan lain dari berbagai negara yang juga datang ke pulau ini, mereka datang bersama mentornya masing-masing." tambah Victor, turut menjawab ketidakpahaman dari pikiran Colin. "Tapi ini luar biasa sekali, ya? Ternyata bukan hanya kita yang terpilih menjadi seorang pahlawan, di setiap negara lain pun ada sepuluh manusia yang terpilih menjadi pahlawan dan itu benar-benar menakjubkan. Kita bisa berteman dengan mereka dan bisa saling membantu dalam menumpas kejahatan! Bukankah itu terdengar sangat hebat!? Hehehe!" Mendengar omongan Victor, Abbas segera angkat suara, sembari menghela napasnya dengan berat. "Tidak mungkin semudah itu," kata Abbas, yang nadanya jadi terdengar tidak bertenaga. "Karena sepertinya besok pagi kita akan bersaing dengan mereka untuk mendapatkan pengakuan dari Sang Penguasa. Tapi, itu hanya dugaanku saja." Hening dalam seketika. "Ya, itu benar sekali," Setuju pada opini yang dikemukakan oleh Abbas, Nico menganggukkan kepalanya. "Pada akhirnya, kita memang akan berteman dengan kelompok-kelompok mereka, tapi untuk sekarang, sepertinya kita tidak boleh menganggapnya demikian. Sebab, persaingan ketat pasti akan terjadi di sini, dan kita tidak boleh kalah dan mempermalukan mentor kita. Kita harus tunjukkan pada Paul bahwa kita adalah kelompok pahlawan terkuat di dunia." Mendengar ucapan Nico, Jeddy tersenyum lebar, Victor mengangkat jempolnya tinggi-tinggi, Abbas mengangguk, dan Colin terdiam. "Jadi, apa yang mau kalian bicarakan? Jangan lama-lama! Aku sudah ngantuk!" Paul membentak Lizzie dan Naomi ketika mereka kini sedang berdiri bersama di balkon istana, memandangi hutan belantara, lautan biru, dan langit gelap yang membentang luas di hadapan mereka. Beberapa menit yang lalu, setelah mereka semua--kecuali Colin yang masih pingsan--menyantap makan malam di dalam istana bersama Roswel, Paul segera memerintahkan sepuluh muridnya untuk beristirahat dan tidur di kamar yang sudah ditentukan berdasarkan gender. Dan di saat itulah, Lizzie dan Naomi berbisik pada Paul, meminta waktu sebentar karena ada yang ingin dibicarakan dengan Sang Mentor. Mengabulkan permintaan mereka berdua, Paul pun mengajak Lizzie dan Naomi untuk pergi bersamanya ke atas balkon, untuk membahas sesuatu yang hendak dibicarakan oleh dua gadis itu padanya. Sebenarnya Paul tidak terlalu b*******h untuk merundingkan hal-hal yang rumit, tapi melihat antusias yang berkobar di mata Lizzie dan Naomi, ia jadi merasa dirinya harus menuruti kemauan mereka atau dia bakal ketinggalan informasi penting. "Ini mengenai Abbas." ucap Naomi, orang pertama yang membuka pembicaraan. Si gadis kerudung itu menghela napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menatap fokus pada mata Paul. "Abbas? Memangnya ada masalah apa kalian dengan Si Abbas Sialan itu, hah!?" ketus Paul dengan mengernyitkan alisnya, terheran-heran mengapa pembahasannya malah terpusat pada Abbas, yang sama sekali tidak ia pikirkan. "Diam dan dengarkan dulu Naomi bicara sampai tuntas, b******n!" protes Lizzie yang tak suka melihat mentornya sama sekali tidak memahami apa yang mau dibicarakan oleh Naomi. "Hah!? Kau bilang apa tadi, b******k!" Paul menggelemetukkan rahangnya dan menggeram, menoleh dan memelototi Lizzie dengan begitu bengisnya. Tak mau kalah, Lizzie juga melakukan hal yang sama seperti Paul. "Aku bilang, kau ini laki-laki bodoh yang sangat kubenci!" Ketika Paul naik darah dan hendak melawan cemoohan Lizzie, Naomi menjerit. "TOLONG DENGAR DAN PERHATIKAN SAYA!" Membuat Lizzie dan juga Paul terhenti dan memutarkan pandangannya pada si gadis berkerudung kuning itu, yang menekan dua alisnya, tampak marah pada sikap mereka berdua. "Lizzie, biarkan saya dulu yang berbicara, dan Paul, tolong dengarkan dulu apa yang mau saya bicarakan, agar Anda bisa memahami situasinya!" "B-Baik." Paul mengangguk dengan kikuk, terkejut karena Naomi memarahinya. "Cepat beritahu lelaki t***l itu, Naomi." bisik Lizzie pada si gadis berkerudung itu, yang tentu saja terdengar oleh Paul. Menarik napasnya, Naomi kembali melanjutkan pembahasannya yang sempat terpotong. "Jadi, ketika kami baru sampai di pulau ini, Abbas berkata pada kami bahwa dia sudah bukan lagi manusia normal. Abbas mengungkap bahwa matanya bisa melihat jarak yang sangat jauh dan dapat menembus segala hal. Ketika kami bertanya lebih lanjut, dia mulai menduga bahwa kekuatan saktinya itu diperoleh dari seseorang yang bernama Tommy Rigmagog." Memelototkan matanya, Paul tampak terbelalak dengan apa yang dibicarakan oleh Naomi. "Siapa Si Tommy Sialan itu!? Mengapa Abbas menganggap kekuatan saktinya berasal dari orang itu??" "Kami juga awalnya terkejut dan tidak mengerti!" Kini, Lizzie mulai ikut bersuara, menjelaskan apa yang diingatnya saat berada di tepi pantai bersama Abbas dan yang lainnya. "Dia cuma mengatakan bahwa Tommy Rigmagog adalah orang yang bisa mengendalikan robot dan mengoperasikan mesin-mesin canggih! Dan ia pun menduga kalau Tommy telah memasukan suatu mesin ke dalam tubuhnya, karena sebelumnya, Abbas pernah dirawat oleh Tommy Rigmagog setelah dia ditolong dan dilindungi oleh orang itu dari serangan Para Jubah Putih!" Terdiam sejenak, mencerna baik-baik segala yang dikatakan oleh Naomi dan Lizzie lalu ia mulai bersuara lantang, "Itu terlalu konyol!" pekik Paul dengan mendengus jengkel. "Mengapa dia bisa-bisanya menduga bahwa kekuatan saktinya berasal dari orang asing yang bernama Tommy Rigmagog! Padahal ada kemungkinan kekuatan itu berasal dari dalam dirinya!" Sontak, Naomi dan Lizzie tercengang mendengar omongan Paul. "Berasal dari dalam dirinya, apa maksudnya itu?" tanya Naomi yang ingin meminta penjelasan lebih lanjut terkait hal tersebut. "Aku tanya pada kalian, apa yang menyebabkan kalian bisa terpilih menjadi seorang pahlawan?" Mendengarnya, Naomi dan Lizzie hanya saling memandang dan segera mengungkapkan pendapatnya masing-masing. "Bakat yang terpendam?" cetus Lizzie dengan asal-asalan. "Takdir dari Tuhan?" tebak Naomi dengan muka yang berkeringat, memikirkan baik-baik topik tersebut. "Salah dan salah!" teriak Paul dengan menggelengkan kepalanya. "Penyebab kalian terpilih menjadi seorang pahlawan, itu dikarenakan roh kunang-kunang percaya dan memilih kalian untuk menjadi seorang pahlawan, hingga akhirnya, roh itu masuk ke dalam tubuh kalian! Bukankah aku pernah menjelaskannya berulang-ulang!?" Teringat, Naomi dan Lizzie tersadar pada hal itu dan cukup jengkel karena mereka nyaris melupakannya. Padahal, itu adalah fakta dan asal-usul dibalik terpilihnya mereka menjadi pahlawan. "Tapi, apa hubungannya topik ini dengan kekuatan sakti yang dimiliki Abbas?" celetuk Lizzie dengan nadanya yang terdengar malas. Menggeram, Paul segera menjawabnya dengan tegas. "Kemungkinan, kekuatan sakti milik Abbas berasal dari roh kunang-kunangnya!" "Eh!?" Naomi dan Lizzie terkejut secara bersamaan. "Maksudnya, roh kunang-kunang itu bisa memberikan kekuatan sakti pada kami?" Naomi tampak bersemangat dalam pembahasan tersebut. "Ya!" Mengangguk, Paul membenarkan apa yang dikatakan oleh Naomi. "Tapi, roh itu tidak serta-merta langsung memberikan kekuatannya pada kalian!" "Eeeeeeh?" Naomi dan Lizzie jadi sedikit kecewa mendengarnya, padahal mereka baru saja berbahagia karena memiliki potensi untuk mengeluarkan kekuatan sakti seperti Abbas. "Sudahlah! Aku tidak mau menjelaskannya lagi pada kalian berdua! Aku akan menjelaskannya lebih lanjut saat sepuluh muridku ada di depanku! Jadi, simpan pembicaraan ini untuk sementara dan pergilah tidur!" Kecewa, Naomi dan Lizzie pun membalikkan badannya dan melangkah pergi dari balkon untuk kembali ke kamar tidur perempuan, meninggalkan Paul sendirian di sana. Memandangi langit hitam yang dihiasi banyak sekali bintang, Paul termenung dalam sesaat sebelum akhirnya bergumam dalam hening. "Tommy Rigmagog, ya?" gumam Paul dengan menekan dua alisnya, pikiran tenangnya jadi terusik saat mengingat nama yang diucapkan oleh Naomi. "Sebenarnya, dia itu siapa?" Sementara itu, di ruang kamar perempuan. "Apa yang kalian bicarakan bersama Paul?" Lizzie dan Naomi terkaget saat mendengar suara Isabella saat mereka baru saja masuk ke dalam kamar, ternyata perempuan berambut merah panjang itu masih terjaga, dia sedang duduk di jendela sambil menyenderkan punggungnya di tepian dan sedikit melirik ke luar, memandangi pemandangan malam hari yang cantik dari sana. "Bukan urusanmu." balas Lizzie lalu langsung melompat ke ranjangnya dan menarik selimut tebal, menenggelamkan seluruh tubuhnya di dalam kain yang hangat. "Kami hanya membicarakan soal kekuatan sakti milik Abbas dan orang yang bernama Tommy Rigmagog." jelas Naomi dengan membuka kerudungnya pelan-pelan dan duduk di tepian ranjang tempat tidurnya yang bersebelahan dengan Isabella. Rambut kuningnya terurai begitu panjang di permukaan ranjang, tampak berkilauan dan basah karena keringat. Kecantikan Naomi jadi bertambah saat rambutnya diperlihatkan, membuat Isabella tersenyum simpul memperhatikannya. "Lalu, apa yang dikatakan Paul setelah mendengarnya?" Isabella kembali bertanya pada Naomi, di saat Lizzie, Cherry, dan Koko terlelap begitu nyenyak di kasurnya masing-masing. "Paul akan menjelaskannya pada kita semua, kalau waktunya sudah tiba, jadi untuk sekarang, saya tidak bisa menyampaikannya karena saya juga masih belum begitu memahaminya," kata Naomi sembari membaringkan badannya di permukaan ranjang. "Jadi kita tunggu saja sampai Paul benar-benar mau menjelaskannya pada kita. Aku pamit tidur. Jangan terlalu banyak begadang, Isabella." Dan akhirnya, Naomi juga menarik selimutnya dan meninggalkan Isabella yang terbangun sendirian di kamar. "Begitu, ya," Isabella hanya menyunggingkan senyuman tipisnya tanpa berkeinginan untuk memaksa Naomi memgungkapkan apa yang didengarnya dari Paul. Isabella pun turun dari tepian jendela dan berjalan pelan ke ranjangnya. "Baiklah, tidak apa-apa. Selamat tidur nyenyak, semuanya~" Setelah sampai di ranjangnya, bukannya tidur, Isabella malah mengambil ponselnya dari saku rok pendeknya dan mengaktifkannya untuk menyala. Setelah menunggu beberapa detik, ponselnya pun menyala terang, menampilkan halaman awal. "Sepertinya aku ingin bersenang-senang sebentar." Ternyata Isabella malah membuka situs p***o di ponselnya dan dia kini sedang menikmati video tak senonoh itu dengan mendesah-desah bahagia sembari memain-mainkan selangkangannya menggunakan jemarinya. Tanpa sepengetahuannya, Naomi dan Lizzie ternyata belum begitu terlelap, dengan terpaksa, mereka jadi mendengar aktivitas b***t yang Isabella lakukan di atas ranjangnya. Benar-benar gadis yang tidak tahu malu. Selepas memuncratkan semua cairan orgasmenya, Isabella pun segera mematikan ponselnya dan lekas tidur dengan nyenyak di kasurnya, tanpa mempedulikan bahwa Lizzie dan Naomi jadi tidak bisa tidur karena suara desahannya yang berisik. "Apa ini?" Di lorong, ketika Paul hendak ke kamar para pahlawan laki-lakinya untuk ikut tidur bersama mereka, ia menemukan sesuatu yang membuat dirinya menunduk, membungkuk, dan mengambilnya dari lantai. Diteliti baik-baik, ternyata benda kecil yang ditemukannya adalah sebuah cincin emas yang berkilau. "Cincin siapa ini?" Menolah-noleh ke segala arah, lorong sudah tampak sepi dan sunyi, semua orang sudah terlelap di ruangannya masing-masing, tidak ada satu pun makhluk yang beraktivitas. Karena tidak tahu harus diapakan cincin ini, akhirnya untuk sementara, Paul menyimpan cincin itu di saku celananya, agar nanti besok dia bisa bertanya pada orang-orang perihal cincin milik siapa yang ditemukannya di lorong pada tengah malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD