Seandainya 2

1482 Words
Banu sudah tidak terlihat lagi oleh pandangan Yuda, tapi wajah dan perawakannya masih dia hapal. Salim baru selesai mengganti ban motornya yang bocor dengan ban yang kini terlihat mengkilat karena masih baru dan belum berguling di jalanan. Yuda yang melihat di bengkel Salim kini hanya ada dirinya pun memutuskan untuk berbincang sejenak dengan Salim karena sepertinya Salim memang tahu banyak tentang Banu. Seseorang yang baru saja membuat Yuda merasa menemukan sosok yang sedang dia cari. “Mang, eh tadi namanya Mang Salim ya?” tanya Yuda mengingat saat Banu memanggil nama pemilik bengkel yang kini sudah duduk di sampingnya. “Iya, Pak. Tuh namanya Beng-kel Sa-lim,” telunjuk Salim mengarah pada sebuah ban mobil bekas yang dipajang di depan bengkelnya dengan huruf yang berjajar dan membentuk dua kata yakni Bengkel Salim. “Wah, iya ya, saya baru lihat itu ban disitu ternyata nama bengkelnya ya,” kekeh Yuda yang kemudian membaca nama bengkel yang tertulis di ban beberapa kali. “Mang Salim nggak sibuk kan, saya mau istirahat dulu di sini sambil ngobrol santai sama Mang Salim boleh nggak nih?” tanya Yuda. Yuda takut kalau ternyata Salim ada pekerjaan lain meskipun sekarang bengkelnya tampak sepi dan tidak ada pekerjaan lain yang akan dikerjakan oleh Salim. “Boleh pak, lumayan lah pak buat nemenin saya. Kalau pagi gini bengkel sepi pak, nanti kalau ramai ya ngantri gitu. Suka bingung sama rahasia rejeki pak. Sekali datang ya ngantri, kalau sepi ya kayak gini,” beber Salim yang sedikit berkeluh kesah pada Yuda. “Wah, ya mesti tetap disyukuri ya, Mang. Siapa tahu berawal dari bengkel kecil seperti ini, nantinya jadi bengkel besar seperti pabrik itu tuh pak ... tadinya kan pabrik kecil, sekarang jadi pabrik paling besar di kota ini,” ujar Yuda sembari mengarahkan telunjuknya pada pabrik miliknya. “Amin ... amin, Pak. Itu pabrik punya Mister Yuda loh pak, orangnya baik. Keturunan Indonesia asli, tapi warga sini tetep manggilnya Mister Yuda. Soalnya biar beda, sebagai apresiasi eh .. apa ya pak namanya itu tuh apresimasi ... atau apa ya?” “Apresiasi mang.” “Nah, iya, itu ... sebagai Apresiasi kami terhadap kebaikan Mister Yuda yang selalu terlibat pembangunan di desa ini,” sambung Salim tanpa dia tahu orang yang sedang dia bicarakan adalah pria tua yang duduk di ranjang miliknya. “Alhamdulillah, berarti keberadaan pabrik itu benar-benar berguna buat warga sini ya, Mang.” “Betul itu, pak. Sangat berguna sekali,” tegas Salim tanpa keraguan sedikit pun dari ucapannya. “Syukurlah, oh ya Mang. Saya mau nanya kalau Banu itu kerja dimana ya Mang?” tanya Yuda yang sudah merasa basa-basinya dengan Salim sudah cukup dan kini waktunya dia mengorek informasi sebanyak mungkin tentang pria muda bernama Banu yang tadi menolongnya. “Banu ya kerja di situ, Pak. Warga sini kan banyaknya kerja di sana semua. He ... he, meskipun kebanyakan kerja kasar pak, kayak si Banu itu. Kerjanya jadi kuli bongkar bahan baku yang masuk ke pabrik keramik di situ pak. Pabrik MY,” jawab Salim polos karena memang sedari tadi dia benar-benar tidak tahu jati diri Yuda yang asli. “Oh, Banu kerja di sana sebagai kuli bongkar ya Mang?” Salim mengangguk. “ memangnya dia itu lulusan apa Mang, SMA atau apa Mang?” “SMA kayaknya, padahal orangnya pintar. Sayang nasibnya kurang beruntung. Dia itu ramah, ringan tangan lagi, nih bantu bapak dorong motor. Padahal bapak juga nggak kenal sama dia. Bukan bapak saja yang pernah dibantu Banu, hampir semua warga sini sering dia bantu,” beber Salim menceritakan kebaikan Banu. Salim memang berkata apa adanya, berkata sesuai dengan apa yang dia ketahui tentang Banu. Yuda pun bisa menangkap kalau semua kalimat yang terlontar dari Salim jujur tanpa ada maksud sedikit pun melebih-lebihkan Banu di hadapannya. Apalagi Yuda juga yakin kalau Salim sampai saat ini tidak tahu siapa dirinya. “Orangnya jujur, Mang? Maksudnya bisa dipercaya apa suka maunya sendiri ya,” selidik Yuda yang semakin penasaran dengan sosok Banu. Ada sebuah rencana yang sudah tersusun di otaknya saat mendengarkan Salim yang mengungkapkan kebaikan-kebaikan yang sering Banu lakukan untuk warga sekitar. Akuntan kepercayaan keluarganya yang sudah bekerja sejak PT Marga Yuda masih di bawah kepemimpinan ayah Yuda sebentar lagi akan pensiun. Sampai saat ini Yuda belum juga menemukan pengganti yang akan dia tempatkan di bagian yang paling riskan di perusahaannya. Yuda tidak bisa begitu saja merekrut asal pegawai untuk di tempatkan di posisi tersebut. Seorang akuntan pekerjaannya akan bergelut di bidang keuangan. Dia yang akan melaporkan semua laporan keuangan dari mulai uang keluar, uang masuk, keuntungan perusahaan dan semua hal lainnya yang berkaitan dengan keuangan perusahaannya. Yuda memang mencari orang yang bukan hanya berkompeten dalam bidang akuntansi. Namun, jauh lebih penting dari itu. Dia juga membutuhkan seseorang yang jujur dan bisa dipercaya untuk bekerja sama dengannya mengatur semua laporan perusahaan dengan jujur tanpa ada manipulasi laporan keuangan yang pernah terjadi di salah satu cabang pabrik keluarganya yang berada di kota lain. Itu terjadi gara-gara kakak Yuda yang menjadi pemimpin tertinggi di sana asal setuju saja ketika bagian personalia merekrut akuntan baru tanpa menyelediki personalnya terlebih dahulu. Itu sudah cukup menjadi pelajaran untuk Yuda agar tidak tergesa-gesa mencari akuntan pengganti. Bagaimana pun, syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang akuntan adalah sikap jujur, bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Karena keuangan perusahaan ada di bawah kendali seorang akuntan, meskipun dia diawasi oleh pemilik perusahaan. Namun tetap saja seorang akuntan yang tidak bisa dipercaya akan dengan mudah memanipulasi laporan keuangan perusahaan. “Jujur, bukan hanya jujur, Pak. Banu mah sangat bisa di percaya, kalau tidak dikasih langsung dia mana berani ambil minum atau ambil duit orang. Padahal tuh duit sudah di tangannya.” Salim berhenti sejenak untuk mengambil napasnya, dia juga mengambil botol air mineral di sampingnya untuk dia teguk. “Saya sering nyuruh dia beli nasi di depan pabrik kalau istri saya tidak di rumah. Padahal saya sudah ngomong kalau uang kembaliannya buat dia saja, eh itu mah tetap dibalikin dulu ke saya,” terang Salim melanjutkan ceritanya tentang Banu. “Semua warga sini hapal kalau Banu itu bukan hanya ringan tangan, tapi juga orang yang sangat jujur dan sangat bisa dipercaya,” tambah Salim yang semakin membuat Yuda yakin kalau dia sudah mendapatkan orang yang tepat. Mereka masih saja mengobrol dan membahas tentang Banu. Semakin mendengar penuturan dari Salim tentang Banu. Yuda pun semakin tertarik untuk menjadikan Banu akuntan di pabriknya. Namun karena Banu hanya lulusan SMA. Hal yang pertama dia lakukan adalah memberikan Banu beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi dan mengambil program akuntansi agar bisa memiliki kemampuan di bidang pekerjaan yang akan Yuda berikan padanya. __ “Wah ini kok ngantrinya panjang banget ya,” ujar Yuda yang kini sedang berdiri di depan warung milik Rumi. Rumi terlihat menyunggingkan senyum sejenak sebelum dia kembali cekatan melayani semua pelanggannya. Yuda bisa melihat kalau Banu ada di belakang Rumi sedang duduk di depan wajan besar dengan memegang spatula. “Bapak mau beli apa? Nunggu sebentar nggak apa-apa ya, pak. Ini masih ada empat orang lagi,” kata Rumi dengan ramah. Orang-orang pun melemparkan senyum pada Yuda. Mereka sepertinya tidak asing melihat wajah pria tua yang kini ikut mengantri di depan warung Rumi bersama mereka. Namun, mereka sulit sekali menerka-nerka siapa yuda karena pagi ini Yuda kembali menyamarkan penampilannya. Apalagi dia juga memakai topi untuk menutupi ubannya. “Saya ambil ini dulu ya, Bu. Lumayan lah, sambil ngantri makan gorengan dulu biar cacing-cacing dalam perut saya ini nggak terus demo.” Yuda mengambil sepotong bakwan dan tahu isi, seseorang memberikan koran bekas pada Yuda. “Terima kasih ya, Bu. Saya nunggu di sana saja, sambil lihat si bapak gorengin bakwan,” ujar Yuda sembari menerima kertas yang dijadikan pembungkus gorengan. Yuda kemudian berjalan ke teras rumah Rumi, dia berhadapan dengan Banu yang terlihat kepanasan berada di depan penggorengan dengan api besar. Keringat mengucur deras membasahi keningnya. Beberapa kali Banu terlihat menyeka keringat dengan handuk yang dia sampirkan di leher. “Lah, bapak. Bapak kan yang kemarin bannya bocor itu,’” tebak Banu yang masih mengingat jelas wajah Yuda. Apalagi baru kemarin dia bertemu dengan Yuda sehingga wajahnya masih diingat dengan jelas. “Iya, ini mau nyobain nasi uduk dan nasi kuning Mbak Rumi, katanya menu sarapan di sini murah dan enak. Saya jadi penasaran dan balik lagi ke sini buat nyobain, kemarin keburu habis soalnya.” “Ah, mang Salim mah suka melebih-lebihkan Pak. Bapak sudah pesan nasinya?” tanya Banu saat menengok ke belakang. Masih ada dua pelanggan lagi yang menunggu giliran untuk dilayani. “Sudah, katanya nanti setelah layanin mereka baru giliran saya. Jadi, sembari ngantri ya saya duduk di sini dulu mas.” Banu terlihat manggut-manggut mendengar penuturan Yuda. Dia kini fokus mengangkat gorengan bakwan yang terakhir di goreng kemudian mematikan kompor di hadapannya. “Alhamdulillah sudah selesai,” ujar Yuda yang ditimpali kalimat yang sama yang terucap dari mulut Banu. “Mas Banu mau tidak kuliah?” “Hah? Kuliah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD