Bab 3 : Anak Yang Tidak Bisa Berbicara 3

1306 Words
# Gi muncul lagi ke-esokkan paginya. Kali ini bukan sopirnya yang turun membeli roti tapi anak itu turun sendiri dan mengambil sendiri apa yang ia inginkan. Arruna tersenyum ramah. "Selamat pagi Gi, roti yang sama seperti kemarin. Kau suka sekali roti jenis ini ya?" tanya Arruna. Gi mengangguk cepat, bola matanya terlihat berbinar. Arruna menghitung semuanya seperti biasa dan memasukkannya ke dalam kantong kecil yang sudah ia persiapkan khusus sebelum memberikannya kepada Gi. Gi menatap kantongnya dan melihat sebuah sandwich di dalamnya. Ia beralih menatap Arruna bingung. "Kau masih kecil, butuh lebih dari sekedar roti dan s**u untuk sarapan. Itu sandwitch buatanku, kuharap kau suka." Arruna mengedipkan sebelah matanya ke arah Gi. Gi terdiam, ia menatap Arruna dengan wajah terharu. Buru-buru ia mengambil tabletnya dan menulis disana. “Terima Kasih” "Sama-sama," ucap Arruna. Gi kemudian berlari memasuki mobilnya. "Tuan kecil, anda belanja banyak sekali," ucap Pak Yadi— sopir pribadinya. Gi menghapus air matanya. "Tuan kecil, anda menangis? Ada apa? Anda sakit?" Pak Yadi tampak panik. Ia baru sadar kalau Gi ternyata menangis. Gi menggeleng kuat-kuat. Ia mengeluarkan sandwich yang diberikan Arruna dan memakannya perlahan. Sopirnya meminggirkan mobil dan beranjak ke belakang bermaksud memeriksa keadaan Tuan kecilnya. Gi menutup matanya dengan sebelah tangan. Ia tetap mengunyah makanannya tanpa berhenti menangis. Syeni baru saja menuju ke tempat kerjanya saat ia melihat mobil jemputan Gi diparkir di pinggir jalan. Ia bergegas menghampiri mobil itu. "Gi?!" Syeni sedikit terkejut melihat keadaan Gi. Wajah anak itu basah oleh air mata. "Pak, apa yang terjadi? Gi tidak apa-apa?" tanya Syeni, raut wajahnya jelas terlihat khawatir. Namun pria paruh baya itu sama bingungnya dengan Syeni. "Saya juga tidak tahu Non, tadi sehabis dari toko, Tuan kecil tiba-tiba bergegas makan dan menangis." Syeni menatap kantong roti dan juga sandwich di tangan Gi. Ia ingat tadi pagi adiknya membuat sandwich dan memasukkannya ke kantong yang sama. Sandwich dengan tambahan potongan wortel kukus, di dunia ini hanya Arruna seorang yang suka membuat dan memakannya, jadi sudah jelas yang dimakan Gi adalah pemberian Arruna. Syeni membungkuk dan mendekap Gi dengan lembut, membiarkan kemejanya basah oleh air mata anak itu. "Makanlah dengan tenang dan jangan menangis. Itu dibuat khusus untukmu," ucap Syeni sambil menepuk pelan punggung Gi. Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menenangkan Gi dan menemani anak malang itu hingga selesai makan. Saat Gi selesai makan, Syeni merapikan penampilan Gi dan membersihkan wajah Gi dengan tissue basah. "Kalau ayah dan nenekmu tahu kau menangis seperti ini, kau tidak akan di ijinkan ke toko lagi," ucap Syeni. Gi menggeleng kuat-kuat. Ia tidak mau itu terjadi....tidak boleh. "Karena itu, dengarkan kata-kata Tante," bujuk Syeni. Gi mengangguk pelan. "Ini akan menjadi rahasia kita, tapi nanti Gi tidak boleh begini lagi. Kalau Gi kesekolah dengan mata bengkak seperti ini, teman-teman di sekolah Gi akan mengira kalau Gi anak yang cengeng," ucap Syeni. Gi mengangguk paham. Ia menundukkan wajahnya. Syeni hanya bisa menarik napas panjang sambil menatap Gi iba. Sebenarnya, Gi terlalu kecil untuk melewati semua ini. Bahkan ia sendiri tidak tega melihat keadaan anak ini. Tapi tidak ada pilihan lain, dokter menyarankan hal ini untuk Gi. Syeni menoleh ke arah sopir Gi dan mengangguk sebagai isyarat untuk mengantar Gi kesekolah. Ia menunggu sampai mobil Gi menjauh dan menghilang di belokan menuju Sekolah Dasar sebelum ia akhirnya menstarter motornya. Baru saja ia hendak menjalankan motornya, ia mendengar suara Arruna memanggilnya. Ia menoleh dan melihat Arruna yang mengayuh sepeda ke arahnya. "Ya ampun, kupikir aku harus mengayuh sepeda sampai kekantormu," ucap Arruna dengan napas tersengal-sengal. Syeni melirik sebentar ke arah mobil Gi, memastikan mobil itu sudah benar-benar menghilang. Jika saja Arruna sedikit lebih cepat atau mobil Gi berangkat sedikit lebih lama, mereka akan bertemu di tempat ini. "Kau kenapa? Olahraga?" tanya Syeni tidak paham. Arruna mengibaskan tangannya. "Berkasmu ketinggalan, kau bilang tadi kalau ini berkas penting milik klien tapi kau malah meninggalkannya di meja makan," ucap Arruna. Syeni menatap map tebal di tangan Arruna dan mau tidak mau merutuki kebodohannya. Arruna benar, ia pasti diomeli habis-habissan jika ia sampai dikantor tanpa benda ini. "Ya ampun. Kau penyelamatku," ucap Syeni. Arruna tertawa senang. Ia mengulurkan tangannya ke arah Syeni. "Tidak masalah, cukup beri aku upah yang setimpal karena mengayuh kesini sangat melelahkan," ucap Arruna. "Hah? Upah?" Syeni menatap Arruna bingung. Arruna mendengus sebal. "Iya upah....kakakku sayang, adikmu ini sekarang pengangguran yang bekerja paruh waktu di toko roti milik mama. Karena aku sudah menolongmu, berkenankah kau memberiku sedikit upah?" Arruna memasang wajah paling menyedihkan yang ia bisa untuk menggugah perasaan kakaknya. Syeni mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar dari mulut adiknya. Mau tidak mau ingatannya kembali ke masa lalu. "Adikku sayang, kakakmu ini sekarang mahasiswa miskin yang bekerja paruh waktu di toko roti mama, karena aku sudah membantumu dan karena kau sekarang kaya raya, berkenankah kau memberiku upah?" Syeni tertawa keras saat ingatan itu kembali kepadanya. "Tidak perlu seperti itu, kau bukan lagi remaja umur belasan yang baru akan kuliah. Kau terlalu tua untuk bersikap seperti itu," ejek Syeni. Arruna cemberut. Kakaknya benar-benar membuatnya harus kembali menerima kenyataan kalau usianya sekarang sudah kepala dua. Syeni menarik dompetnya dan mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan kemudian memberikannya kepada Arruna. "Berterima kasihlah padaku nanti saat kau bisa mengingat semuanya," ucap Syeni. Arruna terpana melihat tiga lembar uang berwarna cerah di tangannya. "Yah ampun kau serius? Aku tidak tahu kalau kau semurah hati ini!" seru Arruna. Suasana hatinya seketika langsung berubah menjadi baik. Syeni hanya tersenyum penuh makna. "Aku sudah terlambat, aku pergi dulu. Kau pulanglah, jangan membuat mama cemas," ucap Syeni. Syeni menghidupkan motornya. Sudah bisa dipastikan ia akan terlambat hari ini tapi ia tidak seberapa perduli, keluarga jauh lebih penting dari apapun. Arruna menatap kepergian kakaknya beberapa saat. Ia memasukkan uangnya ke dalam kantong celananya dan kemudian menatap ke arah berbeda. Kalau ia tidak salah ingat, itu adalah arah menuju sekolah Gi, meski begitu, ia akhirnya mengayuh sepedanya kembali ke toko roti. "Kau berhasil menyusulnya?" tanya Nyonya Wina khawatir. Arruna mengangguk mantap. "Tentu saja, aku bahkan bisa mengayuh sampai ke tempat kerjanya kalau diperlukan," ucap Arruna. Nyonya Wina menarik napas lega. "Kakakmu memang agak sedikit ceroboh, tapi dia seorang yang bertanggung jawab, dia pasti akan panik sekali kalau sadar berkas sepenting itu ketinggalan," ucap Nyonya Wina. "Tentu saja, karena itu dia akan selalu membutuhkan adiknya ini," ucap Arruna sambil bersenandung pelan. Nyonya Wina melirik anak bungsunya. "Kelihatannya kau sedang senang?" tanyanya penasaran. Arruna tertawa. "Tidak apa-apa, hanya urusan pribadi antara saudara perempuan, mama tidak boleh tahu," ucap Arruna. Tentu saja ia senang, ia baru saja diberi uang secara cuma-cuma oleh kakaknya. "Yah ampun kalian ini...." Nyonya Wina hanya bisa mendesah pelan. "Oh ya Ma. Mama tau dimana KTP-ku? Aku menemukan ijazah dan yang lainnya, tapi aku tidak menemukan KTP-ku. Apa mungkin KTP-ku rusak saat aku mengalami kecelakaan yang terakhir?" tanya Arruna. Nyonya Wina mendadak membeku. Beruntung saat ini ia sedang membelakangi Arruna. "Ke...kenapa kau perlu KTP-mu?" tanya Nyonya Wina kemudian. "Mengurus SIM tentu saja. Syeni bilang SIM-ku sudah lama hilang, jadi aku akan mengurusnya lagi," ucap Arruna. "Tidak perlu!" Nyonya Wina berbalik cepat. "Kenapa?" Arruna menatap Ibunya bingung. "Ka...kau kecelakaan saat mengendarai motor! Bagaimana mungkin mama membiarkanmu mengendarai motor lagi?" ucap Nyonya Wina panik. Arruna menatap ibunya. Tampak terkejut dengan penolakan keras ibunya. "Baiklah...aku paham kalau mama tidak suka aku memiliki SIM. Tapi aku tetap membutuhkan KTP, mana ada orang dewasa yang tidak punya KTP," keluh Arruna. Baginya akan sangat keterlaluan kalau Ibunya juga tidak mengijinkannya memiliki KTP bukan? "Kau belum butuh KTP," ucap Nyonya Wina sambil berlalu meninggalkan anak bungsunya. Arruna tidak menyangka Ibunya akan mengatakan hal itu. Ia paham kalau Ibunya takut ia mengendarai motor lagi mengingat dia dua kali mengalami kecelakaan parah dengan motor. Tapi masa ia tidak diperbolehkan memiliki KTP juga? Bukannya sudah sewajarnya dia memiliki tanda pengenal? Arruna benar-benar merasa ibunya sangat aneh. Dua orang pegawai toko roti tampak hanya diam menatap Arruna. Bersambung......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD