JILATAN 28

1092 Words
Beda anak beda ibu angkat. Sebelum menyadari bahwa mereka sudah berpindah tempat, si anak bermimpi, sedangkan si ibu angkat bermimpi kosong dan hening. Kalaupun ada gambar, mungkin hanya kegelapan dan garis hijau lurus yang dalam selang waktu tertentu bergetar. Seperti detak jantung menuju akhir hayat. Mimpi si anak cukup buruk dan memiliki dampak yang membuat si anak bersedih hati sepanjang hari. Anak berlidah kadal ini bermimpi sedang berjalan di pinggiran tebing tinggi. Ia tengah mengejar sahabat hewannya. Yang juga sedang dikejar hewan lain yang lebih besar. Hewan kesukaannya, iguana, tengah dikejar komodo. Lathi, si anak berlidah kadal, di mimpi ini, berkulitkan sisik selayaknya ular. Corak yang melukis lapisan kulit sisiknya begitu indah dan rumit. Gambaran tribal yang menjelaskan kegiatannya saat ini, mengejar komodo yang mengejar iguana. Dan setiap detik, gambaran pada lapisan kulit sisiknya itu ikut berubah. Dalam pengejarannya itu Lathi menangis. Tangisannya begitu deras sehingga di belakang kakinya yang melaju seribu, menjadi banjir, menjadi sungai, dan lalu menjadi laut yang bergejolak menciptakan gelombang pasang, melumat satu desa dengan warga berwatak bebal. Semakin dikejar, semakin iguana yang dikejar komodo itu menjauh. Namun, apabila berhenti, Lathi tahu dirinya akan hilang separuh. Bukan Lathi yang utuh. Apabila berhenti, Lathi akan tertelan air bah tangisnya. Komodo yang bergerak cepat dan penuh ancaman itu semakin jauh malah semakin besar. Awalnya, ketika Lathi sedang bercengkerama asik dengan iguana, menikmati senja di tebing, beberapa saat lalu, komodo yang tahu-tahu muncul dari bukaan di udara, masihlah berukuran anjing hutan. Si iguana yang tadinya dipangku Lathi, melonjak kaget dan melarikan diri. Ekor komodo menyepak muka Lathi sampai dirinya terjungkal. Lathi tak mau kehilangan iguana lagi. Walau di dunia nyata Lathi telah kehilangan, setidaknya dalam mimpi Lathi masih bisa bertemu. Lathi tak bisa lagi mengejar. Pengejarannya telah sampai di ujung dunia. Lathi tak bisa mengejar lagi. Iguana dan komodo kini berkejaran di udara. Mereka terbang. Lathi hanya bisa memandangi dengan sedih. Sementara di belakangnya, segalanya telah berubah jadi lautan. Lathi terempas ombak yang dibuatnya sendiri. Tangan menggapai-gapai. Ia tak bisa berenang. Di langit, komodo dan iguana telah berubah jadi awan. Awan berbentuk komodo yang memakan iguana. Iguana telah pergi. Lathi hancur hati. Lathi terbangun dengan muka basah. Mata basah dan hidung basah. Seluruh tubuhnya basah. Ia terbangun megap-megap mencari udara. Perlu beberapa saat sampai kesadarannya benar-benar utuh. Lathi menengok sekitar. Dirinya berada di kamar dengan dinding tersusun dari batang bambu. Tempat tidurnya juga dari bambu. Langit-langitnya dari anyaman bambu. Semua serba bambu. Penerangannya dari lampu minyak, apinya bergoyang seperti lidah komodo yang melahap iguana. Teringat mimpi itu lagi, hatinya seperti terlilit kawat besi berduri. Sambil menangis Lathi keluar dari kamar yang pintunya hanya berupa gorden dan tirai manik-manik. "Ma?" Di luar kamar, ramai orang hilir mudik membawa beraneka gerabah berasap. Baunya seperti racikan herbal dibakar. Lathi tak memedulikan mereka, ia ingin ketemu mamanya, Sekaryani. Ia mencari ke kamar-kamar di sebelah. Kebanyakan lagi kosong. Lathi kebingungan, di mana ibu angkatnya? Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Nak Lathi sedang mencari Neng Sekaryani ya?" "Neng?" Lathi tak mengerti julukan itu. "Maksud bibi, Mama-nya Lathi." Lathi mengangguk, "Di mana Mama?" "Baik, akan bibi antar. Sebelumnya, panggil saja bibi dengan Bi Seroh. Mari, ikuti bibi." Lathi diajak keluar dari rumah dengan banyak kamar berdinding bambu. Di luar, suasananya seperti hutan. Banyak pohonnya. Banyak pula terdengar kicauan burung dan sahut-sahutan monyet. "Ini di mana?" Tanya Lathi, mengikuti dari belakang sambil tengak-tengok. "Tempat yang aman buatmu," jawab Bi Seroh. "Sebentar lagi kita sampai." Mereka melalui jalanan yang tersusun dari batu sungai. Lathi yang tidak memakai alas kaki, merasakan dingin dan tekanan dari batu-batu itu. Bi Seroh pun tidak memakai alas kaki. Perempuan tua itu tampak biasa saja melangkah. Sementara Lathi kadang harus menjinjit karena di beberapa titik telapak kakinya terasa sakit ketika ada batu kecil menusuk. Lathi dibawa ke sebuah tempat dengan batu-batu besar tersusun melingkar. Batu-batu itu digunakan untuk duduk. Di sana, ada dua orang sedang berbicara. Lathi langsung berlari menuju mereka. Pertama ke ibu angkatnya, Sekaryani. Lalu kedua ke Ki Yono. "Ki Yono, Lathi kangen!" Ki Yono yang konsisten memakai baju hitam-hitam, membalas pelukan Lathi. "Ki Yono juga kangen dengan Lathi." Belum sampai Ki Yono melanjutkan kalimat berikutnya, Lathi menyela, "Maafkan Lathi Ki Yono. Lathi tidak bisa menepati janji. Lathi tidak bisa menjaga Iguana pemberian Ki Yono." Lathi meledak tangisnya. Terbayang mimpi semalam. "Tidak apa-apa Lathi. Iguana juga adalah makhluk. Seperti kita manusia. Iguana punya waktunya sendiri. Mungkin sudah waktunya Iguana pergi mendahului kita. Bertemu pencipta. Mari kita ikhlaskan saja, ya?" Lathi tidak mengangguk juga tidak menjawab. Ia masih terbawa mimpi. Iguanaku... "Maafkan juga Ki Yono yang tidak segera menemui kalian ketika sedang susah. Ki Yono datang terlambat, jadi tidak bisa membantu meluruskan perkara," lanjut Ki Yono. Lathi baru mengangguk. "Ki Yono, mohon hukum orang-orang desa itu. Mereka jahat." "Biarkan Yang Maha Kuasa saja yang membalas, ya. Yang penting Lathi dan Mama Sekaryani sudah di sini. Tempat yang aman. Tempat ini Ki Yono yang mengelola. Jadi semua sudah terjamin buat kalian ya." Lathi semakin erat memeluk Ki Yono. Seperti memeluk ayah yang tak pernah ia kenal. Sekaryani menepuk Lathi, sebuah teguran agar jangan berlama-lama memeluk Ki Yono. Lathi menurut, ia masuk ke pelukan Sekaryani. "Lathi semalam mimpi buruk, Ma. Mimpi Iguana lagi." "Mungkin Iguana kangen dengan Lathi." "Tidak Ma, Iguana mati." "Sudah ya Lathi. Iguana sudah tidak bisa kembali. Biarkan dia pergi. Siapa tahu, suatu saat nanti, Lathi akan punya iguana lagi." "Atau Lathi mau Ki Yono carikan iguana lagi? biar Lathi tidak sedih lagi," Tawar Ki Yono. "Tidak perlu repot-repot Ki Yono. Dengan Ki Yono sudah menjemput kami dan membawa ke padepokan yang Ki Yono asuh, sudah lebih dari cukup," kata Sekaryani. "Iya Ki Yono, jangan repot-repot," Lathi mengikuti teladan ibunya. "Baiklah, karena padepokan ini berada di dalam hutan yang penuh satwa. Bisa jadi nanti bakal ada iguana yang menghampiri Lathi sendiri. Dulu Ki Yono juga dihampiri Iguana, secara khusus meminta untuk diberikan kepada Lathi. Ajaib bukan?" Lathi berhenti menangis mendengar itu. "Baik, terima kasih banyak Ki Yono," ucap Sekaryani, "Sekarang, Lathi jalan-jalanlah bersama Bi Seroh. Padepokan ini luas sekali dan penuh hal-hal alami yang Lathi bakalan suka. Mama mau ngobrol dulu dengan Ki Yono sebentar ya." Lathi melepas pelukannya dan mengangguk. Matanya masih mengalirkan air mata memang, tapi kesedihannya sedikit lagi akan sirna. Bi Seroh menggandeng tangan Lathi dan mengajaknya berkeliling padepokan yang luas dan terdiri dari banyak bangunan dari bambu. Di padepokan Ki Yono, Lathi mendapati sahabat baru. Kali ini bukan dari jenis satwa. Melainkan manusia. Seorang bocah laki-laki bernama Guntho.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD