SAYATAN 6

1059 Words
Pendekar muda itu masih ngotot kalau Lathi tidak boleh masuk. “Padepokan ini hanya untuk laki-laki, kakak tidak ingat?” “Kau salah menafsirkan, dungu!” bentak si pendekar lebih tua yang kemudian memperkenalkan namanya sebagai Wastu. Wastu menjitak pendekar muda yang bernama Wungkul tepat di keningnya. Wungkul geram dan melakukan jurus memutar kaki untuk menjegal Wastu, tapi kakinya malah mengalami cidera. Wastu meninggalkannya begitu saja. “Kau perlu seminggu di bilik perenungan, akan kupastikan kau mendapat pelajaran atas kelancangan terhadap tamu kehormatan Kong Jaal.” Wungkul meringis, dia memegangi pergelangan kakinya. Dua orang pendekar sekelas Wastu hadir, lalu membawa Wungkul pergi dari gerbang. “Abaikan dia,” kata Wastu kepada Lathi. Lathi mengangguk. Di sini lebih ketat daripada padepokan Ki Yono. Pendekarnya masih muda-muda. Selama berjalan melewati bangunan-bangunan kayu, Lathi dan Sastro tidak mendapati ada pendekar bermuka tua. Sastro merasakan perasaan janggal mengintainya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati ada pendekar dengan mata satu, yang mata kirinya ditutup bantalan mata. Pendekar muda itu langsung bersembunyi di pilar kayu besar. Bukit batu menjulang yang mereka lihat dari gerbang berletak di luar blok bangunan-bangunan utama. Di luar tempat berlatih dan bermalam para pendekar. Di atas bukit batu itu terdapat bangunan kecil dari kayu juga. Menyerupai pagoda. Itu adalah tempat Kong Jaal bersemayam di waktu-waktu tertentu. Begitu jelas Wastu. Sastro melihat di lapangan latihan, para pendekar menjajal jurus-jurus mereka. Ada yang bergerak begitu ringan sampai kelihatan lagi terbang. Berlari jinjit tanpa meninggalkan jejak di tanah. Semua itu menambah keinginan mendadaknya untuk menimba ilmu bela diri di sini. Sesuai saran Bik Muyah. “Padepokan kami selalu menjaga jumlah murid kami di angka sembilan sembilan sembilan. Tahun ini belum ada yang graduasi untuk mengabdi di seluruh negeri,” begitu kata Wastu. Lathi belum begitu peduli dengan informasi-informasi itu. Dia ingin segera bertemu dengan Kong Jaal dan melihat dan memegang kulit bekas ibunya. Mungkin ada jejak aroma di sana yang bisa menuntun instingnya untuk mencari keberadaan ibunya. Mereka melewati barisan ruangan berisi para pendekar muda sedang menimba ilmu teks. Para pengajarnya adalah pendekar setingkat dengan Wastu ini. Teks yang mereka gunakan masih belum berwujud buku, melainkan gulungan-gulungan perkamen. Selain itu mereka masih menggunakan lembar-lembar lontar. “Sebelum kami dilepas ke dunia luar, terlebih dahulu kami harus ajeg dulu dengan dunia dalam, dunia lampau, di mana kebijaksanaan para pendekar dalam posisi paling kuat. Sekarang, para pendekar di dunia modern banyak terpengaruh kepentingan-kepentingan busuk. Mereka hanya sebagai senjata dari orang-orang berpikiran bulus. Harusnya para pendekar bijak, dapat menjadi bagian dari solusi besar.” Sastro yakin Wastu ini sedang curhat. “Di mana tempat Kong Jaal? Dari tadi kok belum sampai?” Lathi kesal karena bosan diajak berputar-putar. “Kong Jaal ada di tempatnya. Tempatnya, ya cara menujunya adalah dengan mengikutiku. Hanya segelintir dari pendekar-pendekar senior yang bisa sampai ke ruangan Kong Jaal pribadi.” “Sombong sekali,” gerutu Lathi. “Bukan sombong, melainkan itu sangat perlu. Sebagai guru para pendekar di sini, banyak orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk membeli Kong Jaal. Menjadi algojonya. Tapi Kong Jaal selalu menolak. Kami dan cara menuju tempat Kong Jaal, adalah benteng pertahanan padepokan ini.” Sastro kagum dengan penjelasan itu. Itu masuk akal baginya. Dia makin yakin ingin menimba ilmu di sini. “Saya sarankan, kalau mau bertemu dengan Kong Jaal, harus dengan hati sabar dan bersih, karena perjalanan ini akan jadi sangat lama kalau terus-terus merengut,” perkataan Wastu itu malah membuat Lathi makin sebal. “Persetan!” ketus Lathi. Wastu berhenti. Dia mendekati Sastro. “Sepertinya hatimu tenang dan bersih dari tadi, bagaimana kalau kau saja yang bertemu dengan Kong Jaal?” Sastro bingung. Dia melirik ke Lathi. Sastro bingung mau bilang apa. Lathi memelototinya. Sastro memberi tatapan melas, dengan isyarat agar Lathi menuruti saja ketentuan ini. Demi petunjuk tentang ibu Lathi. Lathi mengepalkan tangan. “Kau tahu tidak sih? Seumur hidup aku terpisah dari ibuku. Ibuku sudah aman-aman berada di rumah Bik Muyah untuk menunggu kedatanganku. Tapi ketika aku datang, dia sudah pergi. Aku jadi mulai berpikiran jangan-jangan Kong Jaal yang menyebabkan dia pergi… atau lebih buruknya lagi… ibuku mati di tangan Kong Jaal.” Wastu jadi panik, dia merasa salah ucap, “Duh duh, bukan begitu maksudnya… Kong Jaal pasti akan menemuimu. Tapi mohon kamu tenang dulu ya.” Wastu memberi kode ke Sastro untuk membantunya menenangkan Lathi. “Lathi tenang dulu ya. Singkirkan dulu pikiran-pikiran buruk. Petunjuk tentang keberadaan ibumu, saat ini hanya Kong Jaal yang tahu,” kata Sastro sambil menyentuh pundak Lathi. Mata mereka saling tatap, lama kelamaan Sastro malah salah tingkah sendiri. Lathi menarik napas, dia berdiri tegak, menghadap arah badan Wastu. “Baiklah, ayo lanjutkan.” Wastu membimbing mereka lagi menuju ruang pribadi Kong Jaal. Sastro berpikir, berarti Kong Jaal memiliki ilmu sihir. Wah, di padepokan ini bisa belajar sihir. Menarik. “Padepokan ini memberimu kesempatan untuk menggali potensi dirimu yang terpendam. Para pendekar di sini akan diajari cara mengenali diri. Berbicara dengan sosok tersembunyi di balik lembar sukma di dalam jiwa. Versi dirimu tapi dalam wujud gaib. Tipis transparan, bersemayam dalam dirimu. Dirimu yang sesungguhnya, yang menunggu untuk kalian temui. Kecanggihanmu dalam mengeksplorasi diri akan menentukan seberapa banyak yang kau bisa gali bersama sukma dirimu.” Lathi mulai tertarik mendengar penjelasan yang ini. Dia teringat pesan Dila waktu di kamar mandi. Apakah mungkin kelakuan Dila itu gara-gara sekeping sukma dalam Lathi tersalin ke jiwa Dila? Karena ketertarikan ini Lathi melangkah tanpa keluh kesah dan gerutu. Wastu jadi ringan langkahnya mengantar mereka. Dalam waktu singkat, mereka sudah tiba di depan sebuah pintu tanpa ruangan. Sastro bingung. Wastu berbalik badan. “Silakan ketuk,” kata Wastu. Lathi yang mengetuk. Pintu itu membuka. Pintu itu di tengah-tengah sebuah lantai. Pada saat pintu itu membuka Wastu sudah berbalik meninggalkan mereka. Lathi dan Sastro melangkah masuk ke pintu itu. Di dalamnya adalah ruangan penuh dengan rak lemari berisikan gulungan-gulungan perkamen. Ada sebuah bola dunia cukup besar. Seorang tua sedang duduk bersila di atas meja. Dia turun seketika untuk menyambut Lathi. “Dari Bik Muyah?” tanya orang itu. “Kong Jaal?” tanya Lathi. Orang itu tersenyum, mengangguk. “Bik Muyah masih belum mau bertemu dengan saya ya?” Lathi mengangguk. “Namamu siapa dan siapanya Bik Muyah?” “Saya Lathi. Saya anak yang pernah dibantu Bik Muyah. Sekarang, saya yang tanya, di mana ibu saya?” Kong Jaal mengistirahatkan tangannya di balik punggung. Terhenyak mendengar pertanyaan Lathi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD