JILATAN 51

591 Words
Satu hal yang pasti adalah: orang-orang tak bisa lagi datang berobat ke padepokan Sapujagad. Tempat itu kini sudah lumat. Habis dilalap api. Selayaknya badai mau menjelang, di gelaran pesta pernikahan itu, selama beberapa saat lamanya, suasana mendadak sunyi hingga telinga hanya mendengar denging samar-samar. Semua orang tiba-tiba bisu, padahal mereka sedang bicara satu sama lain. Mereka baru menyadari ketika tinggal sepuluh hitungan detik lagi menuju ledakan. Baru sadar suasana tiba-tiba sunyi. Terlambat untuk melarikan diri. Ledakan besar dari beberapa titik secara bersamaan, benar-benar melumat segala yang ada di sana. Pengantin yang sedang berbahagia, hadirin yang sedang bersenang-senang dengan hidangan, tukang potret yang berkeliling mencari objek bagus, paman-paman dan bibi-bibi yang lalu lalang mengambil pirin dan membantu hadirin, para pendekar yang bersiaga mata terhadap penyusup atau apa pun yang kiranya bakal merusak acara, semua tak menyadari, ternyata ada yang meletakkan bom di beberapa titik. Boom! Hadirin yang datang itu, hampir semua pasien yang pernah datang berobat. Mereka lenyap, tanpa bisa meneruskan lagi kabar ajaib, atau mukjizat nyata tentang darah yang bisa menyembuhkan segala. Ledakan dahsyat itu bahkan merembet hingga merusak hutan-hutan di sekeliling. Merusak sungai dan habitatnya. Radius ledakannya kira-kira hampir satu kilometer. Pada saat ledakan terjadi, empasan pertamanya mengirim Lathi dan Guntho yang telah mencapai jarak cukup aman, ke udara lalu tersungkur ke tanah. Guntho memeluk Lathi erat dengan harapan dapat melindunginya. Seperti yang sudah diketahui, Lathi tidak bakal luka-luka. Guntho keseleo kakinya. Butuh beberapa waktu lamanya setelah Lathi menyembuhkan lukanya, untuk ia tahu apa yang barusan terjadi. Itu ledakan. Dan ledakan itu berasal dari tempat pesta. Ia membelalak ketakutan dan berteriak, "Mamaaa!" Lathi berlari menuju arah ledakan. Guntho yang keseleo kakinya berusaha mencegah. Ia tertatih menyusul Lathi. Ada gelombang empas menyusul kemudian, mengirim mereka kembali ke belakang, berguling jatuh. Jarak Guntho dengan Lathi jadi terpangkas. Guntho meraih dan menggenggam erat tangan Lathi. "Lathi, jangan ke sana." Di sana, di tempat pesta, sudah jadi lautan api. Hutan tempat dulu Lathi pernah menghilang, dijilati lahap oleh api. Sebentar lagi mungkin akan mencapai tempat Lathi dan Guntho sekarang ini. Lathi tidak mendengarkan peringatan Guntho. Ia kalut. Ia memikirkan ibunya. Berteriak berkali-kali memanggil mama. Lathi mengentakkan cengkeraman Guntho sampai lepas. Ia bangkit dan berlari menembus jilatan api. Guntho hanya bisa pasrah, ia menyingkir ke tempat aman. Lathi akan kembali, ia kebal api. Guntho menunggu di tanah lapang. Lathi akan kembali. Setengah hari kemudian Lathi baru kembali ke Guntho. Lathi telanjang. Bajunya habis terbakar. Ia sudah berhenti menangis. Tapi kentara sekali dari sorot matanya yang hampa, teramat kehilangan. Ia berjalan sempoyongan. Guntho segera menujunya dan melepas kemejanya untuk dipakaikan ke tubuh Lathi. "Habis. Semuanya. Mati." Dikatakannya dengan begitu pilu, bagai disayat ribuan sembilu. Pada saat itu, api masih tetap menjilat-jilat, tapi intensitasnya sudah menurun. "Habis." Guntho memeluk Lathi. Guntho menangis deras. Ia ajak Lathi pergi dari tempat itu. Menuju tempat keselamatan, antah berantah. Mereka berdua, kehilangan segalanya. Mereka berjalan tanpa berhenti. Menyusuri jalan yang bisa dipijak kaki. Guntho tak peduli tubuhnya kedinginan. Ia berjalan bertelanjang d**a. Hari sudah mulai gelap. Guntho membawa Lathi menuju kota. Lampu-lampu kota sudah tampak. Mereka hanya perlu menyusuri jalanan aspal untuk menuju ke sana. Di tengah jalan, ada mobil jeep berhenti menghadang mereka. Empatorang laki-laki bertubuh besar turun dan langsung saja mendorong Guntho danmemukulnya. Guntho melawan tak berarti. Ia kalah telak. Lathi direbut olehmereka. Lathi tak bisa bereaksi. Ia masih kalut terhadap kehilangannya. Ia bahkantidak melawan ketika diculik oleh gerombolan orang beringas itu. Guntho berdarah-darahmukanya dan dibiarkan tengkurap tak berdaya di pinggir jalan berkerikil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD