JILATAN 8

977 Words
Pekan-pekan sesudah kegegeran di rumah Sekaryani pada suatu sore, Sekaryani dan Lathi masih menetap di rumah Manjani. Suami Manjani dua minggu sekali pulang, beberapa hari kemudian berangkat kembali ke kota. Di setiap kepulangan suami Manjani itu, Sekaryani merasa sepi batinnya. Apa yang terjadi antara ia dan Manjani memang tidak pernah dibincangkan lebih jauh. Mereka membiarkan itu terjadi di setiap malam, melewatinya dengan syahdu. Cinta, bagi Sekaryani, ternyata memberi kejutan. Ia tak menyangka dirinya jatuh hati pada Manjani yang enam tahun lebih muda. Luka akibat kecewa di waktu lampau, kini terobati. Sekaryani memang kadang memikirkan bahwa hubungan ini terlarang, sebab ia merupakan manusia yang dapat berpikir lurus. Tapi untuk apalah lurus-lurus kalau kau terlampau sering dibengkokkan dengan paksa. Alias dikecewakan. Biarlah ia menikmati kasih cinta sekarang ini, sebab sudah lama ia tidak. Kepada Manjani ia mengusulkan, "Supaya aku tidak seperti numpang saja di rumahmu, bagaimana kalau aku bantu beres-beres. Tidak perlu kamu menggaji aku. Yang penting kita bersama-sama, bersama Lathi juga." "Tentu boleh, Sekaryani. Akan kusampaikan kepada suamiku." "Terima kasih atas bantuanmu, Manjani." "Sama-sama, Sekaryani. Kamu pun sudah membantuku waktu itu mencarikan kerja di panti. Suamiku sangat berterima kasih juga, soalnya ada yang menemaniku di rumah." Manjani menyentuh lembut pipi Sekaryani yang langsung memerah. Kebersamaan mereka semakin lekat. Lathi pun senang melihatnya. Ia akan minta digendong berdua oleh mereka. Di setiap sore, di halaman belakang, di bawah gazebo sambil minum teh dan berbincang ngalor-ngidul. Lathi diceritakan banyak dongeng oleh Manjani, seperti yang dulu pernah ia lakukan waktu masih di panti. Suatu waktu, ibu Sekaryani datang menjenguk, sekaligus membujuk anaknya mau pulang. "Tidak, bu. Bapak masih seperti itu." "Bapakmu hanya ingin yang terbaik buatmu." "Terbaik menurut dia. Terbaik yang menguntungkan dia." Lathi kurang suka apabila ibu Sekaryani datang. Lathi akan bertingkah aneh, seperti merayap di dinding, bermain kejar-kejaran dengan cicak. Ibu Sekaryani mengelus d**a melihat aksi anak itu. Manjani menyewa seorang preman untuk menjaga rumah. Hal itu disebabkan suatu hari di pekan ketiga, bapak Sekaryani datang membawa pentungan, menggedor-gedor pintu rumah Manjani sampai hampir lepas. Sekaryani dipukul oleh bapaknya, "Anak kurang ajar!" Manjani mendorong Pak Karyan, tapi terhuyung sendiri hingga menabrak lemari kaca tempat pajangan kerajinan tangan koleksi suaminya hingga pecah. Sekaryani dijambak dan diseret oleh bapaknya, "Ayo pulang kamu. Kamu harus kawin dengan laki-laki pilihan bapak." "Tidak sudi!" Sekaryani meraung. Yang membuat Pak Karyan lari tunggang langgang dari rumah Manjani adalah ia diserbu oleh puluhan cicak yang jatuh dari langit-langit. Awalnya Pak Karyan bisa menangkapi cicak-cicak yang berlarian di kulitnya dan membuangnya, tapi setelah upaya kelima, ada tokek yang menclok di kepala. Menggigit telinganya. Pak Karyan melolong selagi kabur dari sana. Lathi tertawa terpingkal-pingkal hingga sekian menit. Setelah sakit akibat dijambak bapaknya mereda, Sekaryani menasehati Lathi, "Itu tadi yang melakukan Lathi? Lathi menyuruh cicak dan tokek menyerang bapak Mama?" "Iya, Ma. Lathi tidak suka orang jahat itu menyakiti Mama." "Lathi anak mama sayang. Kalau Lathi ikut menyakiti orang jahat yang menyakiti mama, itu sama saja. Lathi sama seperti orang jahat." "Tapi, Ma. Lathi tidak tega melihat mama disakiti." "Mama tidak apa-apa, Lathi. Mama bisa mengatasi semua." "Maaf, Ma." Lathi kemudian dipeluk oleh Sekaryani dan Manjani. Sembari itu, Lathi meminta para cicak dan tokek kembali ke sarangnya masing-masing. Preman yang disewa Manjani bernama Waluyo. Preman dari desa sebelah. Kekar berbadan besar dengan tato naga di lengan kiri dan kadal di lengan kanan. Tato kadal itulah yang membuat Lathi tertarik dekat-dekat dengan Waluyo. Seperti sewaktu berjumpa dengan Ki Yono, Lathi memberi seekor cicak kepada preman itu. "Cicaknya suka, berarti paman orang baik." "Terima kasih, anak manis." Waluyo sama sekali tidak risih dengan lidah bercabang Lathi. Menurut penuturannya kepada Manjani dan Sekaryani, ia pernah melihat yang lebih aneh. Jadi Lathi dianggapnya masih normal dan wajar. Selama ada Waluyo yang berjaga di pos yang dibuat dadakan dekat pagar rumah, Pak Karyan tidak pernah datang kembali. Sekaryani dan Lathi bolehlah merasa aman dan nyaman tinggal di rumah. Lain lagi kalau mereka bertiga, Manjani, Sekaryani dan Lathi, pergi ke pasar. Diam-diam, Pak Karyan menyewa dua anak muda yang mau dibayar gocap untuk menculik Sekaryani. Dikira oleh Pak Karyan, mereka bertiga pergi tanpa dikawal. Tentu saja ia salah, Waluyo tahu-tahu muncul dan mematahkan tangan dua pemuda nekad itu. Kemudian mencekik leher Pak Karyan hingga kehabisan napas. Kalau saja Sekaryani tidak memberhentikan tindakan kejam itu, bapaknya tentu sudah berpamit pulang ke Ilahi. Lathi pun, diam-diam, memasukkan dua ekor kadal yang ditemukannya di pojokan pasar ke celana dua pemuda sok jagoan itu. Lathi kemudian berlari girang menuju Sekaryani yang mengusap lengannya akibat habis ditarik paksa dua pemuda. "Kenapa bapakmu begitu bersikerasnya mau menikahkan kamu?" Manjani keheranan, setelah sampai di rumah dan menurunkan belanjaan. "Entahlah, katanya pengin cucu. Padahal sudah ada Lathi. Entahlah, kupikir dia hanya ingin cipratan harta dari calon mantu, memanfaatkanku sebagai pemulusnya." "Kamu tidak mau menikah dulu kan?" "Tidaklah. Aku sudah melupakan hal itu lama sekali. Aku sudah tidak berminat sejak lama." Manjani tersenyum. Sekaryani membalas senyum. Kehangatan saling tukar senyum, menenangkan hati yang seringkali diusili gelisah. Masih, setelah sekian lama memadu kasih terlarang, belum ada kata-kata untuk membincangkannya. Sekaryani menanti. Atau malah Manjani pun ikut menanti. Siapa yang mengutarakannya dahulu, biar waktu yang menjawab. Karena bila dituntut jawab sekarang, yang ada malah gelisah yang mengusili hati di setiap waktu. Gelisah-gelisah macam itu hanya bisa disirnakan dengan paduan lidah yang saling membuat satu sama lain geli-geli basah. Di pekan kelima, Ki Yono datang menjenguk Lathi. Kali ini ia membawakan sesuatu. "Apa itu paman?" Lathi menunjuk sebuah kotak yang ditutupi kain hitam. "Coba Lathi buka." Lathi menuruti, perlahan menyingkap kain penutup kotak yang lama-kelamaan terungkap ternyata adalah sebuah sangkar. Lathi membelalak dan membulatkan bibirnya, ia terpesona dengan apa yang dilihatnya. "Lathi suka?" Lathi mengangguk antusias. "Dia teman Lathi juga," ungkapnya setelah menjulurkan lidah bercabangnya ke udara. "Itu namanya Iguana." "Hai, Iguana."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD