SAYATAN 13

1044 Words
Tampang Lamtoro seperti orang habis keluar dari saluran pembuangan limbah. Bajunya basah dan penuh noda kotoran. Ada darah, ada kotoran kucing, ada pasir, ada jeroan menempel di kerahnya. Baunya mengerikan. “Ngapain kau ke sini? Ke mana kau waktu itu?” Bik Muyah terkejut dengan kedatangan Lamtoro di rumahnya. “Ceritanya panjang, Bik. Saya lapar,” keluh Lamtoro. Dia berjongkok, seperti meminta ampun ke Bik Muyah. Bik Muyah melihatnya prihatin. “Kau mencuri motor Sastro, dari kantor polisi kau ke komplek Pak Hendra sendiri ya? Mau apa kau kok tidak bareng kami?” Lamtoro menundukkan wajah, malu. Mukanya pun penuh darah yang kelihatan berlendir. Matanya kentara sekali mata orang syok. Bik Muyah tidak mau memberinya makan sebelum Lamtoro menjelaskan duduk perkaranya. “Ayo, jelaskan ke Bibik, maumu apa waktu itu? Bibik tidak suka dikhianati.” Lamtoro kelihatan enggan. Tangannya gemetaran memeluk lututnya. Dia geleng-geleng kepala. Peristiwa menjijikkan dan mengerikan itu membekas di dirinya. Ada bagian tubuhnya yang mengalami perubahan. Dari tadi dia tekan-tekan terus karena kalau berdiri akan kelihatan menggelikan. “Itu kenapa otongmu?” tanya lagi Bik Muyah. Lamtoro menutupi kelaminnya yang berdiri di balik celana. Dia menyeringai malu. Semenjak peristiwa di komplek berdarah itu bagian tubuhnya itu tidak kunjung tidur. “Tidak tahu, Bik, sepertinya saya kena kutukan.” “Bah, kutukan macam apa itu?” Lamtoro menutupi kelaminnya, tapi lama kelamaan dia malah menggosok-gosokkan tangannya, kemudian merogoh celananya. “Hei hei, ngapain kau! Tidak sopan ya!” Bik Muyah memukul tangan Lamtoro. Lamtoro terus mengocok isi celananya. “Astaga!” Bik Muyah mencari tali tambang. Tubuh tuanya masih kuat kalau hanya untuk mengekang laki-laki seperti Lamtoro. Dua tangan Lamtoro dia tarik dan ikat ke saka. Batang Lamtoro di balik celananya masih tegak berdiri. Lamtoro meringis, menggeram, matanya berubah aneh, seperti orang yang haus akan persebadanan. Bik Muyah geleng-geleng. Dia mengamati Lamtoro. Dia adalah korban. Dampak dari hujan darah yang membuat orang-orang lupa diri, ternyata tak kunjung lepas dari Lamtoro. Bik Muyah tebak karena pada  saat peristiwa itu terjadi, Lamtoro tidak kedapatan pasangan karena dia sudah pingsan terhantam sesuatu. Ketika semua selesai dan orang-orang kembali normal, Lamtoro masih pingsan. Bik Muyah mengerti. Dia pikir, hanya Lathi yang bisa menarik kutukan ini. Lamtoro meronta-ronta, dia kelojotan. Bahkan dia mau membungkuk untuk mengisap kepala kelaminnya sendiri. Kakinya berusaha meloloskan celananya tapi tak berhasil. Akhirnya tak ada cara lain, Bik Muyah memukul kepala Lamtoro sampai pingsan. Satu hal dulu, Lamtoro harus dibersihkan. Baunya seperti pasar ikan busuk. Bik Muyah menimba sumur mengisi belasan ember. Dia mengumpulkan abu gosok dari bawah tungku. Bik Muyah mengumpulkan kembang lavender, dia gerus dan jadikan baluran penghilang bau. Baju Lamtoro Bik Muyah robek pakai pisau. Dia loloskan semua pakaiannya. Bik Muyah takjub, batang perkasa Lamtoro masih tegak menantang. Bahkan dia bisa lihat ujung kepalanya itu berdenyut-denyut. Kalau saja Bik Muyah masih muda dia akan tergoda dan menikmati batang itu. Hanya saja, birahi itu sudah lama dia bunuh dan kubur sedalam perut bumi. Hal-hal macam itu sudah tak penting lagi baginya. Bik Muyah mengguyur tubuh Lamtoro lalu menggosoknya pakai sikat kawat. Baju Lamtoro tadi dia buntal lalu bakar di luar rumah. Baunya makin parah ketika dibakar. Bik Muyah menepuk jidat. Ah biarlah. Belasan ember itu terpakai semua airnya untuk membersihkan tubuh Lamtoro. Terakhir, tubuh Lamtoro dia taburi dengan kembang tujuh rupa. Bik Muyah tutupi kemaluan Lamtoro pakai daun pisang. Bentuknya mengingatkannya pada seseorang, dan itu membuatnya mual. Selesai memandikan Lamtoro Bik Muyah menyiapkan kain untuk dijadikan jubah ala-ala pendekar buat Lamtoro. Bik Muyah tidak punya setelah baju laki-laki dewasa. Punya anaknya dulu terakhir masih waktu umur belasan. Tidak muat. Bik Muyah mengelupasi kembang-kembang kering di tubuh Lamtoro, setelah itu dia pakaikan jubahnya. Bik Muyah melepas ikatan tangan Lamtoro, lalu mengangkat pemuda itu ke dipan. Tidak mau ambil risiko, Bik Muyah ikat lagi tangan Lamtoro di kaki dipan. Bik Muyah istirahat, duduk di dingklik menyelonjorkan kaki. Dia menyulut rokok pabrikan, menikmati asap rasa mentol. Menjelang tengah malam Lamtoro mulai bertingkah tapi dengan mata terpejam. Tubuhnya, terutama bagian pinggul dan s**********n kelojotan. Batangnya menonjol. Bik Muyah mendesah, dia kedapatan ide. Bik Muyah keluar untuk menebang batang pohon pisang. Dia gotong debognya ke dalam rumah, dia lubangi lalu masukkan lembaran daging yang dia lumuri dengan kecap. Bik Muyah buka jubah Lamtoro dan keluarkan batangnya, Bik Muyah tibani batang itu pas di lubang yang dia buat di debog. Bik Muyah pikir, Lamtoro butuh pelampiasan. Kalau dia sudah bisa mengeluarkan puncak erotisnya maka dia bisa tenang. Bik Muyah memegangi debog itu supaya tidak jatuh. Gerak goyang pinggul Lamtoro menggila. Itu berlangsung hampir satu jam lamanya sampai akhirnya tubuhnya mengejang. Lalu melemas. Lamtoro mendengkur tertidur pulas. Bik Muyah angkat debog itu dan tumpahkan cairan Lamtoro. Banyak sekali, kira-kira secangkir penuh. Bahkan di batangnya saja masih menetes-netes. Bik Muyah geleng-geleng. “Sebegininya pengaruhmu, Lathi Lathi,” gerutu Bik Muyah. Bik Muyah akhirnya bisa tidur tenang malam itu di atas tikar. Anehnya sekitar sepertiga malam terakhir, terdengar kokok ayam dari desa. Tumben-tumben terdengar jam segini dan sampai gubuk Bik Muyah. Dia bangun lalu mendapati dipan Lamtoro kosong. Tali tambang yang mengikatnya putus. Bik Muyah cari di dalam rumah tidak ada. Dia khawatir kalau-kalau pengaruh birahinya masih melekat di diri Lamtoro, lalu dia turun ke desa dan menyatroni tiap gadis. Gawat. Bik Muyah mengambil pentung lalu turun ke desa. Benar saja. Dari kejauhan terdengar teriakan panjang. Tidak menunggu lama ada suara ramai-ramai orang. Mereka pada bawa obor. Bik Muyah lari cepat. Lamtoro sedang diarak massa, diikat di saka balai desa. Mukanya masih diterjang bogem mentah dari amuk massa. Batang k*********a entah bagaimana masih berdiri tegak. Orang-orang pada maju dan menginjak-injak batang itu. Bandel sekali, batang itu masih berdiri menantang. Membuat orang-orang berpikiran untuk, “Sudah bakar saja! Dia sudah memerkosa anak saya!” Bik Muyah lompat tinggi dan mendarat tepat di depan orang yang mau menyulut Lamtoro pakai obor. Lamtoro sudah disiram pakai minyak tanah. “Hentikan!” Orang-orang pada mundur melihat kehadiran Bik Muyah. Kemunculan Bik Muyah diiringi embus angin yang meniup padam obor-obor. “Kenapa Bik Muyah membela bocah k*****t ini?” seru Pamong desa. “Dia dirasuki setan m***m. Ini bukan kehendaknya, kalian memangnya tidak kenal dia? Ini Lamtoro!” Orang-orang pada berbisik, terutama anak-anak muda. “Biar saya bawa dia dan urus di rumah. Nanti setelah sembuh saya akan suruh dia pergi dari desa. Sepakat?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD