JILATAN 71

822 Words
Pak Hendra jadi memperbolehkan Lathi tinggal bersamanya. Itu setelah meminta pertimbangan dari atasan. "Saya mungkin bisa menampungmu sejauh sampai penemuan titik terang kabar keberadaan tentang ibumu." "Tidak apa-apa Pak. Lathi sudah cukup senang akhirnya bisa tinggal di bawah rumah atap lagi." Pak Hendra membawa mobil dinas. Rumahnya di sebuah komplek sederhana yang disediakan negara untuk polisi. Rumahnya kecil. Tampak sepi dan kurang terawat. "Pak Hendra tidak berkeluarga?" tanya Lathi. "Maaf Pak kalau lancang." "Dulu pernah." Jawab Pak Hendra singkat, sambil tersenyum samar. Mobil diparkir di garasi. Lathi mengikuti Pak Hendra. "Maaf berantakan, jarang ditinggali." Rumah Pak Hendra memang tampak cukup berantakan. "Tenang Pak, nanti Lathi bantu bereskan." "Kamu duduk dulu di sini. Saya siapkan kamarmu di belakang." "Terima kasih Pak Hendra." Lathi mengamati sekitar ruangan. Tak ada foto terpajang di mana pun. Perabotan rumah seadanya dan penuh debu. Sembari melihat-lihat, Lathi berpikir bagaimana kira-kira Pak Hendra ini jadi jalan pembukanya. Tak ada jalan lain, telinga Lathi harus tajam. Dari Pak Hendra, ia nanti akan mendapat bocoran kasus-kasus. Ini harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lathi akan menilai, siapa-siapa penjahat yang layak mati. Kalau bisa, langsung yang kelas kakap. Negeri ini terlalu penuh penjahat kelas kakap yang tak tersentuh hukum. Mereka boleh saja tidak tersentuh hukum, tapi mereka tak bisa lari dari Lathi. Algojo yang tak bisa mati. "Kamarnya sudah siap." Kemunculan kembali Pak Hendra sedikit mengagetkan Lathi. Pak Hendra membawakan selimut dan baju ganti buat Lathi. "Sekali lagi terima kasih banyak Pak Hendra telah memberi Lathi kesempatan." Lathi menjura. "Ya sama-sama. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan." Dalam hati Lathi meminta maaf kepada Pak Hendra. Lathi telah berbohong. Hal yang semenjak kecil jarang sekali ia lakukan. Demi kebaikan lebih besar, Lathi meyakinkan diri. Pak Hendra mengantarkan Lathi ke kamarnya di belakang. Sebuah kamar yang tidak terlalu sempit. Kasur busa sudah tersedia di sana di atas tikar. Dua buah bantal dan satu guling. Sekalian juga Pak Hendra menunjukkan letak dapur, kamar mandi dan seluk beluk rumahnya yang sepi berdebu itu. Pak Hendra tidak menunjukkan letak kamarnya sendiri. Lathi ditinggalkan untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian Pak Hendra mengetuk kamar Lathi, membawakannya mie rebus. "Sebelum tidur, mungkin perut perlu diisi dulu. Biar tidur nyenyak." Lathi sampai lupa kalau dirinya lapar. Kemampuannya menyembuhkan diri, luka-luka tak manusiawi yang diterimanya, membuatnya lupa tentang lapar. Tak terantisipasi, Lathi menitikkan air mata. Bukan pura-pura. Setelah sekian banyak yang dialaminya, masih ada orang sebaik Pak Hendra yang peduli dengan kondisi perut orang lain. "Terima kasih banyak, Pak Hendra." "Saya tinggal dulu ya. Selamat istirahat." Pak Hendra terjaga hampir sepanjang malam. Lama ia tak pulang ke rumah dinas. Seingatnya dulu, rumahnya tak ada tokek. Kini, setiap setengah jam sekali suara tokek terdengar. Ia habiskan waktu terjaganya dengan memandangi foto anaknya. Anak yang tak lagi bersamanya. Dibawa pergi mantan istri. Bertahun-tahun sudah ia hidup dalam kesunyian. Menyibukkan diri untuk mengabdi menjadi penegak hukum. Memburu siapa saja yang berbuat jahat. Walau tak jarang, tikus-tikut tengik itu terpaksa lepas dari jeratan. Ada yang lebih kuasa dari hukum, yaitu uang dan kedudukan. Ingin sekali Pak Hendra bisa melakukan yang lebih. Menghukum yang sebenar-benarnya. Membuat mereka membayar. Meski dengan kehidupan rumah tangganya yang karam, Pak Hendra sebisa mungkin tidak terjerumus dalam klise polisi yang mudah disogok dan lain-lain. Ia mempertahankan citra baiknya. Polisi yang adil. Polisi yang siap mengayomi dan melindungi. Seperti yang ia tengah lakukan saat ini. Ia ingin menolong Lathi menemukan ibunya. Demi untuk merasakan kembali, bangkit dari mati rasa, Lathi mengenang kembali Sekaryani. Memeluknya dalam bayang-bayang, sembari menangis. Masihkah hatinya bisa merasakan perih? Ketika luka-luka fisik sudah tak ada artinya lagi. Hanya dengan menangis. Menangis rindu terhadap ibu, Lathi meyakinkan diri bahwa dirinya masihlah manusia. Ini perlu ia lakukan agar tidak terlalu cepat kehilangan jati diri. Seperti kata Bik Muyah, "Semakin kau membunuh, semakin hilang jati dirimu." Tak mau hilang jatidirinya, Lathi menangis hebat. Ia redamkan suara isak tangisnya dengan menenggelamkan muka ke bantal. Tenggelam ia, menangisi ibu. Tiba-tiba ia berhenti menangis. Ibu. Sejauh yang ia ingat tentang ibu kandungnya, hanyalah wajah samar-samar seorang perempuan yang meletakkannya di depan pintu sebuah panti. Bayangan tentang ibu, selalu berakhir dengan Sekaryani sebagai ibu satu-satunya. Meminta Pak Hendra untuk mencarikan Sekaryani, hanyalah sebagai upaya pengelabuan dan juga pengingat jati diri. Ketika nanti Pak Hendra berhasil menemukan fakta bahwa Sekaryani sudah wafat terlumat ledakan, Lathi akan menangis hebat lagi. Bukti ia masih manusia. Masih bisa merasa. Sewaktu ia menangis, tokek-tokek ramai datang untuk menemani. Lathi mengusaikan tangisnya, menempelkan telapak tangan dan kaki ke tembok. Dan ia bisa merayap lagi. Sembari merayap, Lathi menempelkan telinga ke tembok. Ia berkonsentrasi. Apakah pendengaran super tajam juga menjadi anugerahnya? Karena kemampuan ini dirasanya perlu. Lathi merayapi langit-langit, membuka salah satu panel dan masuk ke loteng. Ia ingin melatih pendengarannya. Ia percaya, dalam gelap, kau lebih bisa mengandalkan telinga. Di lain sisi, ada yang berkecamuk dalam diri Lathi. Ia sudah merasakan bagaimana membunuh. Saat ini, dalam latihannya mendengarkan sunyi, ia berusaha menahan keinginan membunuh. Ini harus dikendalikan, ketagihan ini harus dikendalikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD