JILATAN 77

822 Words
Selagi Lathi merasakan pergolakan ganjil dalam hati yang tak ia mengerti, sekitar lima puluh kilometer dari tempatnya berbaring menatap langit, di dalam hutan dekat suatu desa, seorang bibi menyapu pekarangan rumah dan mendapati tumpukan abu yang pernah dilihatnya di masa lalu. Ia mengingat-ingat, tak ada peristiwa ledakan atau kebakaran di sekitar sini. Ada mungkin, tapi di seberang pulau. Hutan terbakar dan asapnya menyelubungi seantero kota. Ia hampir saja menyapu tumpukan abu itu. Untunglah ingatan tentang abu ganjil waktu itu masih utuh di ingatan. Mana bisa ia lupa. Ada manusia muncul dari tumpukan abu itu bagai seekor foniks terlahir kembali. Aroma abunya sama persis. Ia menyangka, apakah mungkin gadis yang dulu mengalami ledakan dahsyat lagi hingga menghancurleburkan wujud. Yang ia lakukan selanjutnya adalah membersihkan dedaunan kering di sekitar abu. Lalu ia memagari abu itu dengan bambu dan juga ranting. Di atasnya ia tutupi dengan terpal biru. Akhir-akhir ini sudah mulai turun hujan. "Apakah ini abumu, Lathi?" tanya si Bibi. Tentu saja tumpukan abu tidak menjawab. Ia harus menunggu. Ia menggelar tikar dan menyiapkan tungku dan mangkuk tanah liat. Ia isikan kembang setaman lalu membakar dupa. Ia juga menyalakan aroma terapi jenis lavender, cocok untuk bersemadi. Barangkali kalau ia semadi, ia bisa berkomunikasi dengan manusia yang bakal muncul dari tumpukan abu itu. Hari berganti hari. Berganti minggu, berganti bulan. Tumpukan abu itu tak kunjung berganti jadi manusia. Ia mulai berpikir kalau abu itu barangkali adalah bekas bakaran sampah warga. Tapi setahunya, tak ada warga yang nekat mendekati rumahnya, bahkan tak ada warga yang berani dekat-dekat hutan ini. Bisa saja itu ulang anak muda nakal. Lihat saja, kalau ketahuan, akan ia sunat tiga kali mereka. Akhirnya ia tidak bisa mentolerir lagi, terpal ia bongkar, bambu dan ranting ia cabut dan ia harap angin membawa abu itu pergi. Ia kembali ke rutinitasnya yang biasa. Meracik ramuan pesanan pejabat. Ramuan yang bakal membuat apa pun yang dibicarakan pejabat itu, tidak masuk akal pun, tetap akan didukung dan diamini orang-orang. Hingga suatu hari di siang bolong, angin berembus kencang, hampir saja membentuk angin puyuh. Sedetik kemudian, menyusul suara ketukan. Ia membukanya segera. Seorang perempuan seusianya berdiri di depan. Tanpa busana. Ia mengamati secara cepat wujud si perempuan, samar-samar ada sisik di beberapa tempat pada kulitnya. "Maaf, siapa ya?" Si perempuan asing itu menggigil, "aku yang kau tunggu-tunggu." Si Bibi bingung. Tak mungkin perempuan asing ini adalah Lathi. "Kau, Lathi?" "Bukan, tapi aku memang tahu Lathi." Mendengar itu Bik Muyah segera masuk dan mengambilkan sepotong daster. "Pakailah, mari-mari, masuk ke dalam." Pikiran Bik Muyah berkecamuk. Semakin aneh saja. Bahkan menurutnya, genderuwo dan kawan-kawannya lebih masuk akal. Bik Muyah mengantar perempuan asing itu masuk ke dalam, mempersilakannya duduk di dipan. Bik Muyah melihat lidah perempuan itu bercabang, itu tampak ketika perempuan itu menyesap teh hangat dari Bik Muyah. Tanpa menunggu lebih lama, Bik Muyah langsung ke pokok permasalahan. "Katakan, siapa kau?" Perempuan itu menghabiskan dahulu segelas besar tehnya. Ia terlampau haus. Lidah bercabangnya menjilat-jilat bibir atas dan bawah, bahkan sampai ke lubang hidung. Bik Muyah bergidik. "Aneh kan." Kata perempuan itu. Bik Muyah mengernyit. Ia mengambil bangku, lalu duduk di depan perempuan itu. "Siapa namamu?" "Bangsaku tak punya nama. Nama hanyalah milik manusia." Bik Muyah makin mengernyit. "Kau bukan manusia?" Perempuan itu tertawa singkat. "Ada manusia yang lidahnya bercabang dan kulitnya bersisik?" "Kalau kau mau repot-repot mencari, pasti ada." "Ya, bisa juga. Tapi terserah. Aku mungkin bukan manusia. Mungkin juga bisa disebut manusia. Tergantung sudut pandangmu. Di masyarakat yang ideal, aku pasti terusir karena keanehan wujud ini." "Masyarakat yang ideal, harusnya bisa menerima kondisi seaneh apa pun." "Boleh juga seperti itu. Realitasnya, dengan kondisiku yang seperti ini aku akan tersingkir." "Atau malah jadi sorotan?" Bik Muyah heran, kenapa ia jadi terseret dalam perbincangan absurd ini. Apakah ia berangsur-angsur menjadi masyarakat modern yang baru saja ia utarakan. Ia mungkin takjub dengan penampakan perempuan ini, tapi risih? Tidak sama sekali. Ketimbang Lathi, perempuan ini belum begitu aneh. "Menjadi sorotan adalah salah satu cara orang menyingkirkanmu." "Jadi, kau benar-benar tak bernama?" "Aku ini makhluk tidak jelas. Aku tidak tahu asal-usulku. Aku tak punya nama, karena, toh buat apa? Buat apa nama bagi orang yang bisa hidup selamanya?" "Bisa hidup selamanya? Artinya, kau akan cepat sembuh ketika mendapatkan luka?" masih terbayang jelas saat Lathi melukai diri pakai pisau. "Dulu seperti itu." "Sekarang?" "Aku tidak tahu. Aku malas untuk mencari tahu." "Apakah kau muncul dari tumpukan abu di depan rumahku?" "Sepertinya begitu. Aku tidak begitu ingat." Bik Muyah anggap itu iya. Dari mana lagi coba? "Soalnya aku pernah mendapati orang sepertimu. Ya, si Lathi itu. Dari tumpukan abu, tapi dia lahir kembali sebagai gadis belia." "Kami menyebut proses itu sebagai reinkarnasi api. Kami harus lebur sehancur-hancurnya bersama lahapan api. Lalu kami akan terlahir kembali, muda belia. Tapi itu kalau kami masih murni." "Tunggu dulu. Kami? Berarti ada banyak orang sepertimu dan Lathi?" "Dulu banyak. Sekarang, tinggal kami berdua." "Ke mana yang lain?" "Itulah, yang ingin kusampaikan padamu agar kaumenyampaikannya lagi ke Lathi. Aku adalah ibunya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD