JILATAN 31

807 Words
Pemulihan kondisi batin Sekaryani sudah seharusnya memang tidak singkat. Terlalu banyak luka. Terlalu banyak tragedi. Di padepokan milik Ki Yono, Sekaryani menjalani beragam terapi seperti yang disarankan Ki Yono. Terapi meditasi, terapi hipnosis, terapi konseling, bahkan terapi akupunktur pun dilakukan. Namun masih ada sakit yang menggentayanginya setiap malam. Sakit tertusuk bertubi-tubi. Rasa sakit ini tidak ia perlihatkan kepada Ki Yono dan orang-orang di padepokan. Setiap pagi Sekaryani menuju sungai dan mandi di aliran sungai yang dingin bersama perempuan-perempuan dalam padepokan.. Kata Ki Yono, dingin air akan cepat meningkatkan aliran darah dalam tubuh. Lalu setiap sore, Sekaryani mandi air hangat di kolam pemandian. Mandi air hangat membuat badan jadi rileks dan siap untuk beristirahat. Membuat saraf-saraf tegang. Tidak jarang memang hal itu berhasil membuat Sekaryani jadi pulas tidur malam. Tapi sesekali, rasa sakit yang menjelma hantu gentayangan, berhasil menyelinap masuk ke mimpi dan membuatnya terjaga. Sampai membuat kaget Lathi yang tidur di sampingnya. "Mama kenapa?" "Tidak apa-apa, hanya mimpi buruk." Sekaryani melihat anak gadisnya, begitu cepat buat anak itu pulih dari tragedi yang menimpa. Lathi sudah tampak riang kembali dan memiliki teman dekat. Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Ah, jiwa muda, masih banyak harapan di depan. Ah, jiwa tua, waktu kematian tinggal sebentar lagi, sudah melambai-lambai dari kejauhan. "Sini Lathi peluk Mama, biar tidak mimpi buruk." "Terima kasih, Lathi." Sekaryani berusaha tidak mengerang dalam tidur, walau sedang bermimpi dihunjam ribuan tombak. Tak ingin ia membangunkan Lathi yang kini sudah mulai tidur nyenyak. Pada awal-awal kedatangan mereka ke padepokan ini, Lathi sering cerita kalau dia bermimpi dikejar komodo. Akhir-akhir ini sudah tidak lagi. Biarkan seperti itu, lebih baik. Demi mengatasi tidak didatangi mimpi buruk, Sekaryani memutuskan tidak tidur. Ia habiskan sisa malam dengan menekuni wajah Lathi yang damai, memeluknya. Betapa dunia begitu sederhana di mata anak kecil, pikir Sekaryani. Dunia sudah begitu kejam padanya. Namun ia masih melihat hal-hal baik dari dunia. Hal-hal yang membuatnya semangat sehari-hari. Bagaimana kau melakukannya nak? Sekaryani minta Ki Yono tetap membiarkannya untuk masak sendiri, terutama untuk sarapan Lathi. Jadi setelah mandi pagi di sungai, Sekaryani menyibukkan diri di dapur padepokan. Sungguh melimpah bahan masaknya di sana. Sekaryani bisa saja membuat masakan kreasi yang tak sempat dilakukan sebelumnya di rumah Manjani. Semua bahan memungkinkan itu. Ki Yono bilang, semua bahan itu didapat dari kebun padepokan. Saking melimpahnya, Ki Yono menyuruh para pemuda untuk menjualnya ke pasar terdekat. Atau membagikannya ke keluarga-keluarga kurang mampu di desa terdekat. Mengetahui itu Sekaryani pun ikut berkebun. Kadangkala, bersinggungan dengan alam bisa membuat tenang. Merasakan tanah dalam genggaman. Embun di daun tanaman menciprat ke wajah atau tangan. Sedikit demi sedikit bisa mengalihkan Sekaryani dari duka nestapanya. Kadang Lathi ikut membantu di kebun. Tapi, bocah itu lebih banyak bermain dengan teman barunya, Guntho. Mereka bermain kejar-kejaran dan petak umpet. Mendengar ceria tawa Lathi begitu lepas, mengurungkan Sekaryani untuk menghentikannya. Lagipula orang-orang di kebun tidak merasa terganggu oleh mereka. Hanya saja kekhawatiran Lathi bakal terantuk jatuh, karena tanah di kebun banyak yang bergunduk-gunduk, sering melintas. Setiap beberapa menit, Sekaryani celingukan mencari keberadaan Lathi. Bi Seroh yang sedang memetik cabai berkata, "Sudah tenang saja. Biarkan mereka bermain sesuka hati. Itu sudah jadi tugas anak kecil. Bermain sepuasnya. Bila nanti sudah dewasa, mereka sudah puas bermain, menjalankan hidup dengan tidak main-main." Sekaryani tersenyum menanggapi perkatan Bi Seroh. "Kalau nanti jatuh, luka bisa disembuhkan dengan mudah di padepokan ini. Tabib-tabib banyak dan siap sedia." Tambah Bi Seroh lagi. Memang di padepokan ini banyak sekali tabibnya. Bahkan pendapatan padepokan ini banyak dari para tabib itu. Ki Yono pernah menunjukkan ke Sekaryani lebih lengkap, satu bangunan dari bambu yang memiliki bilik-bilik penyembuhan. Tempat pertama kali Sekaryani dan Lathi terbangun. Aroma herbalnya begitu terasa dan menggugah jiwa untuk merasa optimis, merasa hidup. Sebetulnya, kata Ki Yono, para tabib itu enggan menerima uang dari para pasien. Hanya saja mereka tak berani menolak. Maka uang pemberian itu masuk ke dana padepokan. "Cukup berdikari," komentar Sekaryani waktu itu. "Yah, kita tidak bisa selamanya bergantung kepada orang lain kan?" perkataan Ki Yono benar adanya. Kalau lama diperhatikan, Sekaryani hampir sama sekali tidak pernah melihat penghuni padepokan ini memegang uang. Mereka seperti memiliki segalanya, dan berbagi segalanya. Kalau saja dari dulu Sekaryani tinggal di sini, hidupnya pasti waras-waras saja. Kehidupan di sini, seperti cerminan kehidupan ideal masyarakat desa. Semuanya dilakukan secara bergotong royong. Semuanya saling menjaga. Untuk pertama kalinya, setidaknya, di tempat ini, Sekaryani bisa mengharapkan kehidupan normal yang layak bagi Lathi. Kemudian hal berikut terjadi: Orang-orang di kebun berlarian ke arah timur, tempat gundukantanah cukup tinggi hingga membentuk bukit. Di sana Sekaryani melihat Gunthomenutup muka, ketakutan. Orang-orang mengitari gundukan tanah itu dan menemukanLathi pingsan. Tubuhnya berwarnakan darah. Bajunya terkoyak. Sekaryani menjeritnama Lathi. Ia pun berlari kencang menuju Lathi. Sesampainya di sana, Sekaryanisyok berat. Kepala Lathi terpuntir ke arah sebaliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD