JILATAN 85

2225 Words
Sastro memesankan taksi online. Agak repot juga kalau memesan dua motor. Sastro melihak Bik Muyah, seperti orang udik yang baru turun gunung. Dia geleng-geleng setiap melihat mobil melintas. Sastro tebak Bik Muyah belum pernah naik mobil. Taksi online itu tiba. Sastro membukakan pintu penumpang buat Bik Muyah naik. Bik Muyah kebingungan cara naiknya bagaimana mengingat jarik yang membungkus kakinya. Sastro akhirnya bantu mendorongnya. “Repot amat naik kendaraan ini,” gerutunya. “Sesuai peta ya, Pak,” kata Sastro ke supir. Si supir melirik ke Bik Muyah dengan raut sinis. “Jauh memang tempatnya, nak?” tanya Bik Muyah. “Lumayan, Bik.” “Naik ini bayar pake duit, nak?” “Iya, Bik.” “Oh.” Selagi dalam perjalanan, Sastro minta ijin ke Bik Muyah untuk memotret uang-uang jadulnya untuk dia kirim gambarnya melalui aplikasi kirim pesan ke pamannya. “Tapi saya sarankan, Bik. Nanti kalau Bibik sudah punya uangnya, lebih baik disimpan di bank.” “Apa itu bank?” tanya Bik Muyah polos. “Tempat menyimpan uang.” “Lha, saya kan bisa simpan sendiri,” protes Bik Muyah. “Supaya lebih aman disimpan di bank, Bik. Jadi bibik tidak perlu bawa-bawa uangnya ke mana-mana,” jelas Sastro. “Lha kalau saya tidak bawa uangnya, berarti saya tidak punya uang dong.” Sastro menyeringai geli. “Uangnya tetap punya Bibik, justru karena disimpan di satu tempat, uangnya bisa sewaktu-waktu diambil.” “Halah, repot. Nanti bolak balik ke tempat itu.” Sastro menjelaskan dengan sabar. “Sekarang sudah canggih Bik. Menyimpannya di awal di satu tempat, tapi nanti mengambilnya bisa di mana saja kapan saja.” “Uang gaib dong?” Supir tertawa. “Heh, kenapa tertawa?” tegur Bik Muyah. “Tenang, Bik. Bolehkan saya untuk bantu menyimpan duitnya.” Bik Muyah menatap pemuda itu dengan curiga. “Kamu berniat rampok saya? Baik-baikin saya dulu, nanti mau rampok?” Sastro salah tingkah. “Duh duh, bukan begitu maksudnya, Bik.” “Awas ya kalau kamu berniat rampok saya, saya kutuk kamu jadi kodok, mau?” ancam Bik Muyah. “Jadikan kadal saja, Bik!” seru si supir. “Diam kamu, tak kutuk jadi tempe baru tau rasa!” Rupanya Bik Muyah keceplosan, ilmunya tadi masih aktif. Aneh sekali, dia kok tidak merasakan ilmunya aktif. Mobil tiba-tiba oleng ke pinggir jalan dan menabrak pohon. Mobil berasap. Bodi depannya penyok. Sastro melongo melihat supir taksi onlinenya berubah jadi sekeping tempe. Sastro menoleh takut-takut ke Bik Muyah yang mengaduh karena kepalanya terbentur pintu. “Bik… itu Bibik yang mengubah dia jadi tempe?” Bik Muyah tadinya bingung apa yang dimaksud Sastro, setelah dia menengok ke depan, dia mengutuk diri, “Astaga, ada apa denganku kok bisa keceplosan begini. Aduuh, maaf ya nak. Mana saya lupa lagi cara balikinnya.” Bik Muyah panik. Sastro panik juga. Dia memutuskan keluar dari mobil. Untunglah mobil tidak terbalik. Tadi mobil melaju tidak kencang. Orang-orang berhenti di pinggir jalan, penasaran dengan kecelakaan yang mereka alami. “Eh eh, mas, itu neneknya tolongin!” tegur orang yang lagi sibuk merekam mobil nyungsruk. Sastro meringis, dia tak ada pilihan, takut malah dimaki orang, dia putar balik dan mengeluarkan Bik Muyah dari mobil. Kepala Bik Muyah ada benjol kecil. “Kamu mau tinggalin saya, nak?” tanya Bik Muyah sedih. “Kamu takut?” Sastro mengangguk gugup. “Tenang, nak, kalau saya tidak melihat kamu berniat jahat, tidak akan saya kutuk kok,” kata Bik Muyah. Gagal menenangkan Sastro. “Tapi tapi… tadi…” Sastro menunjuk mobil taksi onlinenya. “Itu tidak sengaja.” Sastro menoleh kiri kanan, melihat kerumunan semakin ramai mengerubungi mobil dengan supir sekeping tempe. Sastro membawa Bik Muyah keluar dari kerumunan itu. Rupanya mereka lebih tertarik dengan mobil supir tempe. Tadi waktu keluar dari mobil, Sastro menyempatkan untuk ambil ponsel dan dompet si supir. Dia ambil lembar uangnya lalu buang dompetnya. Ponselnya dia ambil, cabut simnya lalu dia berniat nanti untuk diberikan ke Bik Muyah. “Oke oke, saya tahu sekarang kesaktian Bik Muyah. Saya tidak akan macam-macam. Kalau saya janji untuk membantu, tetap saya bantu. Masih mau ketemu paman saya, Bik?” Bik Muyah mengangguk. “Ya ya, tolong ajari saya nanti perkara bank gaib itu tadi.” Setelah berjalan agak jauh lepas dari kerumunan, Sastro memesan taksi online lagi. “Tolong jangan dikutuk lagi ya, Bik.” “Tenang, ilmu saya sudah saya matikan,” kata Bik Muyah. Tadi dia sudah menjumput rumput dan mengucap mantra pembalik. Orang-orang yang mengerumuni mobil tadi kaget dan makin ramai ketika menyaksikan langsung sekeping tempe berubah jadi manusia. Sastro jadi agak takut-takut dengan Bik Muyah. Dia menjaga jarak, tapi di sisi lain juga penasaran. Di taksi online berikutnya, dalam perjalanan dia menanya-nanyai Bik Muyah. Bik Muyah pun cerita apa adanya. Tentang desanya yang terpencil dan dia yang mengucilkan diri di sebuah gubuk dalam hutan. Tentang perguruan silatnya. Tentang kisah kasih yang tak sampai. Tentang anak durhaka. Tentang anak ajaib yang bisa memanggil hewan dari udara kosong. Tentang penyesalan, karena Bik Muyah tidak mempelajari ilmu pindah tempat sekejap dengan mengerjapkan mata. Itu ilmu yang susah dikuasai. Guru Bik Muyah dulu percaya sebenarnya Bik Muyah bisa mempelajarinya. Hanya saja Bik Muyah ogah. Kalau saja Bik Muyah menguasai itu, dia tak perlu repot jalan kaki sana sini mencari petunjuk. Hanya dengan mengingat muka target, dia bisa muncul di dekatnya. Itu bakal memotong banyak waktu. “Kalau kamu, nak, kenapa pengin menemani Bibik?” Sastro menceritakan bahwa dia baru saja mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Dia sebetulnya anak yang cemerlang di perkuliahan, tapi tak begitu mujur di lingkungan pekerjaan. Rekan-rekan kantornya rese semua. Sastro selalu menolak diajak nongkrong. Uangnya lebih suka dia simpan, atau kalau lagi luang di akhir pekan, dia bakal menjajakan uangnya ke bioskop dan beli buku yang banyak. Karena sering diomongin dari belakang, dan belakangan ini dia seperti disabotase pekerjaannya, walhasil dia bulatkan tekad untuk pergi dari sana. Membuka lembar baru petualangan. Dia merasa hidupnya terlalu monoton, makanya dia pengin merasakan petualangan. Mendengar Bik Muyah lagi mencari seseorang, dia jadi pengin membantu. “Saya bisa bantu Bik Muyah mengumpulkan petunjuk. Coba ceritakan tentang orang yang sedang kita cari ini,” pinta Sastro. Bik Muyah pun mulai menceritakan. Tentang awal pertemuannya dengan Lathi. Lalu agak terganggu dengan kegiatan Lathi yang obsesi melukai diri sendiri tapi kemudian sembuh cepat lagi. Melepaskannya pergi untuk balas dendam kepada manusia-manusia jahat. Lalu pertemuan dengan ibu kandungnya. “Misi saya adalah permintaan dari ibu kandungnya yang lagi lemah sekarang ini. Permintaan terakhirnya adalah untuk bertemu dengan putri kandungnya.” Sepanjang cerita, Sastro menelan ludah. Takjub juga khawatir, juga ngeri. Tapi semua itu dilapis dengan keantusiasannya menyambut sebuah petualangan. Kalau memang keajaiban itu ada, dia mau jadi saksi matanya. “Lathi ya namanya. Seperti lagu yang hits beberapa waktu lalu,” kata Sastro. “Oh ya? Ada lagu judulnya Lathi? Seperti apa?” Sastro mencarikan video musik Lathi. Diserahkan ponselnya ke Bik Muyah. Bik Muyah kelihatan senang sekali menyaksikannya. Dia begitu menikmati. “Nah, Lathi mirip seperti ini wajahnya sekarang ini.” “Jangan-jangan, dia yang ada di video itu,” kata Sastro. Bik Muyah menggeleng. “Bukan. Auranya beda.” Sastro takjub Bik Muyah bisa merasakan aura bahkan hanya melihat gambar saja. “Kalau saya, auranya bagaimana, Bik?” “Hmmm,” Bik Muyah berdeham malas. “Auramu jelek.” Sastro membelalak, dia tersedak minuman kotaknya. Bik Muyah tergelak. Supir juga ikutan tergelak. Sastro menyipitkan mata. “Bercanda, nak. Auramu positif, butuh pengalaman yang mengguncang jiwa, akanya kamu butuh petualangan.” “Kalau saya, Bik?” tanya supir. “Auramu jelek.” Semuanya tertawa. Sekitar dua menit kemudian mereka sampai. “Loh bayarnya tidak pakai duit?” tanya Bik Muyah, melihat Sastro langsung turun saja dari mobil. “Bayarnya sudah dari aplikasi, Bik. Uangnya digital.” “Digital?” “Uang gaib, Bik. Di ponsel.” “Ohh.” Sastro mengajak jalan kaki Bik Muyah yang sudah kuat melangkah banyak. Tadi di mobil Sastro memberikan bekal makan siangnya ke Bik Muyah. Sekotak nasi dengan lauk ayam geprek. Rumah pamannya berpagar hitam. Rumah orang terkaya di lingkungan itu. Rumahnya mengusung nuansa jadul dengan banyak kayu-kayu besar nan kokoh. Ada banyak gazebo kayu di halamannya untuk bercengkerama dengan tamu. Juga di sisi rumah ada kebun binatang kecil dijaga oleh pagar kawat. Sastro memencet bel. “Ini Sastro, Om,” kata Sastro pada sebuah kotak di depan pagar. Bik Muyah mengamati saja. Dia mendengus, mengejek isi rumah paman Sastro. Orang kaya hobinya aneh-aneh, anggapnya. Seorang nenek-nenek membukakan pagar. Nenek itu masih kelihatan segar bugar. “Eh den Sastro, monggo-monggo.” Sastro tersenyum kepada nenek itu. “Terima kasih, Mbok Sih.” Mbok Sih selaku pembantu di rumah paman Sastro, juga menyapa Bik Muyah. “Monggo,” sapanya. Bik Muyah mengangguk tersenyum. Mbok Sih mengantar Sastro dan Bik Muyah ke teras rumah yang sudah tertata meja dan kursi bambu yang panjang bukan main. Paman Sastro memang sangat kaya dan berpengaruh, para pejabat dan orang-orang penting di lingkungan sekitar sering sowan untuk meminta nasehat serta bantuan dana. Sastro dan Bik Muyah duduk. Mbok Sih pamit ke dalam untuk membuatkan teh manis. Yang ditunggu akhirnya muncul. Paman Sastro yang lagi pakai singlet putih dan sarung serta ada kalung berbandulkan batu akik besar, menyalami Sastro yang mencium tangannya. Bik Muyah bersalam tanpa bersentuhan. “Kenalkan, nama saya Satrio.” “Bik Muyah,” jawab Bik Muyah. Satrio perawakannya besar. Gendut dan besar. Tampangnya memang begitu ramah dan bijak. Tak heran ada wayang kulit dipajang di dinding teras itu. Wayang Semar. “Jadi, njenengan yang kata Sastro mempunyai uang lembaran sangat jadul?” tanya Satrio. “Betul, Om,” Sastro bantu menjawab. “Nggih, betul,” jawab Bik Muyah. “Boleh saya lihat langsung? Tadi sih sudah dikirimi foto oleh Sastro. Tapi saya mau mengecek keotentikannya.” “Boleh boleh,” Bik Muyah mengeluarkan lembaran uang jadul dari balik kutangnya. Satrio sempat menoleh ke arah lain. “Ini,” Bik Muyah menyodorkan ke meja. Satrio mengambilnya, memeriksanya dengan seksama. Matanya ternyata agak juling. Dia mengusap-usap permukaan uang kertas itu. “Ngomong-ngomong, ini Bibik dapat dari mana?” “Itu pemberian turun temurun dari leluhur saya,” jawab Bik Muyah. “Menarik, ini sangat otentik. Sangat jadul. Ini bagian dari sejarah. Berarti ini uang dari jaman kolonial ya?” “Entahlah, saya tidak peduli. Itu uang sudah tidak bisa dipakai bayar-bayar ya sekarang?” tanya Bik Muyah cuek. “Ini bukan lagi alat tukar, Bik. Ini adalah warisan. Ini adalah harta karun. Saya sangat senang bisa menyentuhnya. Dan kalau boleh, memilikinya.” Satrio meletakkan lagi ke meja. “Ya ya boleh, asal harganya cocok,” kata Bik Muyah, cuek. Sastro tertegun dengan kecuekan Bik Muyah. “Baik tunggu sebentar.” Satrio masuk lagi ke rumah, menyusul kemudian keluarlah Mbok Sih membawakan senampan teh. Mbok Sih masuk, Satrio keluar membawa koper. “Ini penawaran saya,” kata Satrio sambil membuka koper. Isinya bertumpuk uang ratusan ribu. Sastro menghitung cepat, totalnya ada dua ratus juta. Dia menganga. Uang jadul yang dipegang Satrio tadi ada empat lembar. Itu artinya, Sastro memegang selembar dengan nilai lima puluh juta. Menarik. “Oke, saya terima,” kata Bik Muyah. Melihat tampang Sastro yang melongo, Bik Muyah yakin itu uang yang sangat banyak. “Nah kalau begitu beres transaksinya.” Satrio mengagumi uang jadul itu dan memasukkannya ke plastik khusus. Dia tadi keluar membawa album besar tempatnya menaruh koleksi uang jadul. Sastro kalau lagi main ke rumah pamannya pasti akan minta ijin mengintip isi album, tentu setelah melakukan pekerjaan rumah seperti membersihkan kandang macan. “Bibik, mau istirahat dulu atau mau langsung jalan lagi?” tanya Sastro ketika Satrio sibuk dengan koleksi uang jadulnya. Bik Muyah memeluk koper isi dua ratus juta itu erat-erat. “Oke, lebih cepat menemukan Lathi lebih baik.” “Mau mampir ke bank untuk menyimpan semua uang itu?” “Baiklah,” akhirnya Bik Muyah terbuka pada modernitas. Dia akan lihat, apakah keterpaparannya terhadap modernitas akan mengurangi kesaktiannya? “Kalian mau pergi?” tanya Satrio. “Tidak makan siang dulu?” Mendengar kata makan siang, Bik Muyah tergiur. “Boleh boleh, pesan sayur asam kalau boleh,” pinta Bik Muyah. Sastro menggeleng geli. Satrio memanggil Mbok Sih dan memberitahunya untuk menyiapkan makan siang. Selama satu jam mereka bertiga menyantap makan siang sayur asam dan tempe goreng. Melihat tempe jadi ingat supir yang tadi dikutuk Bik Muyah jadi tempe, Sastro menghindari mengambil tempe selama makan. Setelah kenyang, Sastro berpamitan serta mengucapkan terima kasih banyak. “Kalau ketemu orang yang punya uang jadul lagi, bilang-bilang ya,” pesan pamannya. Koper Bik Muyah dimasukkan ke tas Sastro supaya tidak kentara kelihatan dari luar. Takutnya ada yang melihat dan merampok di tengah jalan. Bik Muyah mendadak kaya, Sastro senang bisa membantu di awal ini. Sastro memesan lagi taksi online untuk mengantar mereka ke bank. Bik Muyah dari tadi mendendangkan lagu Lathi. Di dalam mobil menuju bank, Bik Muyah tidur siang singkat. Sampai di tujuan, mereka turun dan berjalan kaki sedikit untuk mencapai bank kepercayaan Sastro. Dia membuka rekening di sini dulu. “Nah, nanti Bik Muyah bisa ambil uang di tempat-tempat seperti itu,” kata Sastro, menunjuk mesin ATM. “Oh.” Mereka tidak mengetahui, dari belakang ada dua orang berjaket hitam di atas motor GL Pro, telah mengintai mereka semenjak lepas dari kediaman om Satrio. Ketika Sastro mengeluarkan koper dari tasnya, dua orang itu beraksi. Mengebut dan merampas koper Bik Muyah. “Dancok!” kutuk Bik Muyah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD