JILATAN 17

824 Words
Suatu sore Waluyo harus menghadapi seorang jawara kampung dengan ilmu kebal pukul. Waluyo yang tak pernah sedikit pun mempelajari ilmu-ilmu demikian kewalahan ingin menjatuhkan si lawan. Ia bisa kalah dan tamat riwayat kalau saja seekor ular sanca tidak muncul secara gaib di sesemakan taman. Adalah sekitar tiga puluh menit sebelumnya ketika bapak Sekaryani datang dan meminta bertemu Moko. Waluyo sudah mencegah orang tua itu tapi Moko yang sedang berada di teras mempersilakan bapak Sekaryani masuk dan duduk di ruang tamu. Pada waktu itu Waluyo belum melihat ada seorang jawara kampung. Sekaryani tahu dari Manjani yang diminta Moko untuk membuatkan teh manis. Manjani memberitahu Sekaryani dengan raut cemas. "Bapak kamu kemari." "Hah? Berani-beraninya orang tua itu." Sekaryani tidak membuatkan teh manis. Melainkan mengkonfrontir bapaknya sendiri. Moko sampai kaget dengan suara tinggi Sekaryani menyuruh bapaknya pergi. Sekitar lima menit sebelum itu, Sekaryani sengaja mencuri dengar, Manjani di belakangnya ikut mencuri dengar pula. "Maksud kedatangan saya ini nak Moko, adalah untuk meminta nak Moko mengawini anak saya Sekaryani." Permintaan tanpa tahu malu itu diungkapkan setelah dua puluh menit berbasa-basi mengenai pekerjaan dan situasi keamanan desa. Baik Sekaryani, Manjani dan Moko sendiri kaget mendengar permintaan itu. Moko tak bisa menjawab. Ia tak menyiapkan diri untuk pertanyaan macam itu. Demi Tuhan, dalam hati Moko, ia hanya mencintai Manjani. Tak sedikit pun ia memikirkan akan mencintai Sekaryani pula, bahkan mengawininya. Tidak menunggu Moko menjawab, Sekaryani muncul dengan muka garang. "Bapak sebaiknya pergi dari sini. Apa-apaan sih pak! Tidak capek apa berusaha menjodohkan aku ke siapa pun? Sekaryani jadi merasa seperti barang dagangan murahan pak, kalau cara bapak seperti itu. Bapak pergi! Sekaryani malu punya bapak seperti bapak." Bapak Sekaryani pun mukanya jadi tak enak, tadinya ia ingin menyampaikan itu berdua saja dengan Moko. Supaya nantinya niat mengawini Sekaryani datang sendiri dari Moko. Ia belum sempat mengungkapkan bahwa Moko dipersilakan mengambil waktu, siapa tahu ada bibit cinta yang muncul dengan kehadiran Sekaryani di kehidupan Moko. Waluyo mendengar namanya dipanggil oleh Sekaryani. Ia diminta menyeret pak Karyan dari ruang tamu. Kalau perlu gendong dan banting di jalan depan gerbang. Sekaryani bisa setega itu kalau diusik seperti ini terus. Waluyo menyeret paksa orang tua yang punggungnya sudah mulai mengalami masalah. Ia tak peduli itu. Pak Karyan meronta-ronta. Ia berteriak minta ampun mohon jangan dipukul. Tapi lalu ia bersiul suatu kode. Ada yang menendang Waluyo dari belakang. Tepat mengenai tengkuk. Waluyo tersungkur mencium tanah. Sekaryani, Manjani dan Moko terkejut melihat itu. Si jawara kampung tahu-tahu muncul dari balik pagar, melompat tinggi dan mendarat dengan mulus. Jawara itu tidak memakai baju atasan. d**a bidang dan otot seperti roti sobeknya berkilatan seperti habis dilumuri minyak atau karamel. Waluyo untunglah kuat, tendangan cukup keras di tengkuk tidak serta merta membuatnya pingsan lama. Pada waktu ia bangun, Pak Karyan sudah bersembunyi di belakang sang jawara. Waluyo adalah petarung gaya bebas. Ia banyak mengamati gerakan bela diri dari film-film laga. Ia tiru dan terapkan dulu sewaktu di pasar terhadap pedagang-pedagang yang ngeyel tidak mau bayar upeti. Menghadapi seorang jawara yang membiarkan lehernya diserang Waluyo namun tidak menunjukkan reaksi apa pun, membuat Waluyo keder juga. Ia kewalahan mengirim serangan-serangan. Si jawara dengan mulus menghindari, kalau pun kena, ia tak bereaksi bagaimana-bagaimana. Kalau Waluyo sudah mengirim pukulan atau tendangan sebanyak dua puluh kali, si jawara barulah menyentil jidat Waluyo. Itu cukup membuat Waluyo terpukul mundur sampai jatuh menimpa pot lidah buaya. Moko di teras berteriak meminta mereka berhenti. Tapi tentu tak dihiraukan. Sekaryani melempari batu sebesar telapak tangan kepada si jawara, namun dengan mudah dihancurkan sampai menyerpih pasir dengan empasan telapak tangan. Manjani tak kuat melihat, ia pergi ke belakang ketika Waluyo sudah memuncratkan darah dari mulutnya. Ia terkena pukulan dengan dua jari ditonjolkan dari bogem. Dari kamarnya, Lathi penasaran ada ribut apa di teras. Ia bangun dari tidur dan membawa Iguana ikut serta ke depan. Terkejut dan geram ia melihat Waluyo dihajar habis-habisan oleh si jawara. Lathi berteriak, "Hentikan! Jangan sakiti abang Waluyo-ku!" Si jawara sempat terperanjat, wajahnya seperti membeku, raut pucat dan was-was muncul sekilas. Di situlah, muncul ular sanca gaib dari sesemakan taman. Melata cepat membelit tubuh si jawara. Pak Karyan terperanjat melihat jawara sewaannya kalah dan berteriak kesakitan sementara tulang-tulang dalam tubuhnya patah dan remuk satu per satu. Si jawara meledak tubuhnya dengan cipratan darah dan organ tubuh yang terpisah ke segala penjuru. Ular sanca gaib tahu-tahu menghilang. Lathi pun pingsan. Apa yang membuat si jawara tadi sempat memucat wajahnya? Padahal ia punya ilmu kebal pukulan? Yaitu apa yang dilihatnya ketika Lathi muncul. Ada bayangan mengerikan berlidah panjang dan runcing di sekeliling bocah itu. Semua yang menyaksikan peristiwa belitan ular sanca gaib hingga membuat lenyap si jawara, melongo, terpana, terkejut dan syok. Untunglah Manjani tidak menyaksikannya, bisa-bisa ia muntah di tempat. Manjani berada di kamar. Ia memikirkan ide yang diungkapkan oleh Pak Karyan. Panas dingin ia memikirkan itu. Hatinya berdebar. "Barangkali enak kalau mainnya bertiga," katanya selagimenghadap cermin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD