Bagian 08 – Malam Bertabur Bintang

999 Words
Bagian 08 – Malam Bertabur Bintang "DAI!" teriakku, Sai refleks menoleh. Dia berlari tergopoh ke arah saudaranya yang mulai menghilang. Sesaat sebelum Dai benar-benar berubah menjadi kepulan partikel, Sai sempat menggapai tangannya. Aku tak tahu harus terharu atau sedih, yang pasti, pemimpin itu benar-benar tak punya hati. Ia berdiri dengan congkaknya saat Sai berlutut di tempat Dai menghilang. "Tersisa tiga," ucapnya datar. "Hei, pemimpin bodoh!" teriakku, namun entah kenapa aku justru terlihat bodoh karena meneriakkan kata-kata itu. Pria itu mendelik marah padaku, aku langsung memasang tampangku yang paling mematikan. "Namaku Kynn, bukan pemimpin bodoh, dasar gadis tak berguna." pria itu berdecih. s****n, batinku. "Kau ... kau keterlaluan!" satu sentakan dari Sai, mampu membuat langit yang awalnya cerah dan terik, menjadi mendung. Kilat mulai bermunculan, disertai suara petir yang menggelegar. Sai bangkit dengan menggenggam tanah kering, dia terlalu emosi. Aku melirik Ethan, dia juga nampak tercengang dengan energi menakjubkan Sai. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, Ethan menoleh. "Lari, kita harus lari!" Ethan menggenggam tanganku dan mengajakku berlari dari tempat itu. Aku menoleh ke belakang, melihat pusaran badai yang mengelilingi Sai. Kynn mulai berjalan mundur, sementara pria boncel itu selalu bersembunyi di balik jubah panjang Kynn, pria itu hanya menyembulkan wajahnya. "Tapi, bagaimana dengan Sai?!" teriakku sambil terus berlari. "Percaya padaku, dia telah lepas kendali!" ujar Ethan, aku kembali menengok ke belakang, Sai tengah meluncurkan beberapa tombak badai ke arah golem yang dibuat untuk melindungi kedua orang itu. Maafkan aku Sai, maaf. Aku kembali menghadap ke depan dan berlari mengimbangi Ethan, ya, peluang untuk bertahan hidup saja sangat kecil, apalagi peluang untuk menang? * Akhirnya, setelah berlari sekitar 15 menit, Ethan memutuskan untuk berhenti dan istirahat. Dia mungkin tak tahu kakiku hampir lepas saat beberapa kali menyandung batu yang setengah tertanam di tanah. "Kau lelah?" tanya Ethan, aku sangat ingin berkata 'menurutmu?' "Sedikit," cengirku setengah berbohong. Ethan mengangguk kecil, lalu ia berdiri dari batu besar tempat ia duduk. "Kau mau kemana?" tanyaku saat melihatnya hendak pergi. "Mencari mata air," dia hanya berkata seperti itu, lalu pergi ke arah semak-semak rimbun. Aku memandang langit hutan, ternyata dunia virtual bagus juga pemandangannya. Suara jangkrik dan serangga lainnya pun terdengar jelas memecah keheningan ini. Krek! "Ethan?" aku menggeser sedikit kepalaku ke samping, menoleh ke sumber suara. Ada 2 orang yang keluar dari sana, aku mengernyit melihat pakaian lusuh mereka. Apa mereka juga berasal dari Akademi? "Siapa kalian?" tanyaku, kedua orang itu, yang nampaknya sepasang kakak-adik lalu saling berpandangan. Mereka tak mengucapkan apapun, namun menyodorkan tangan mereka. Aku mengernyit sebentar, lalu menaikkan alisku. Ah, mereka meminta makanan rupanya. Eh, kenapa ada pengemis di hutan? "Kalian siapa?" tanyaku, untuk yang kedua kalinya. Lagi-lagi mereka terdiam, lalu si gadis yang terlihat lebih pendek dari si pria, menggeleng. Entah apa artinya, namun ia menggeleng tiga kali. Aku memilih untuk menyerah menanyai mereka, dan segera merogoh kantung di bajuku. Kalau tidak salah, aku membawa beberapa potong roti dari asrama, yah, jaga-jaga bila hal seperti ini terjadi. Aku mengambil sepotong roti, dan memberikannya kepada mereka. Si pria maju dan mengambil rotiku cepat, dia lalu kembali kepada si gadis. Pria itu membagi roti sama besar dan memberikannya pada si gadis, mereka memakannya bersama, dan terkadang terulas senyuman di wajah mereka. Ada kebahagiaan tersendiri saat kau membantu orang lain, benar bukan? "Nyx?" aku menoleh, dan melihat Ethan bersama sekantung penuh air. Dia juga membawa beberapa ranting kayu di tangannya yang lain. Aku kembali menoleh ke depan, untuk melihat kedua orang tadi. Lho?! Kemana mereka? Tadi mereka ada di sini, tapi kenapa sekarang menghilang? "Nyx?" aku kembali menoleh ke arah Ethan, dan memutuskan untuk melupakan kedua orang itu. Mungkin mereka hanya orang nyasar yang kelaparan. "Ethan? Banyak sekali bawaanmu." aku menahan ledakan tawaku saat melihat wajah putih Ethan belepotan tanah, dia mengernyit bingung. "Ada apa? Kenapa kau seperti menahan tawa?" tanyanya. "Tak apa, hanya saja ..." "Hanya saja apa Nyx? Astaga, lagi-lagi kau membuatku penasaran." aku tersenyum geli dan menggelengkan kepalaku beberapa kali sambil menunduk. Sedetik kemudian aku berdiri, dengan sapu tangan putih yang sengaja kubawa. Mata Ethan terpaku saat tanganku bergerak membersihkan wajahnya, mulai dari dahi, hidung, hingga pipinya yang nampak sangat kotor. "Nah, selesai." ujarku senang, lalu melipat saputangan itu kembali. "Apa yang baru saja kau lakukan?" Ethan masih syok, aku mengernyit bingung, memang apa yang baru saja aku lakukan? "Maksudmu?" Ethan berkedip, lalu membuang wajahnya yang terlihat seperti tomat memerah. "Ah, tidak. Lupakan saja." ujarnya sambil berdeham sekenanya. "Ini," dia menyerahkan kantung air itu, aku tersenyum sebagai bentuk terimakasihku. Aku membuka penutup kantung dan menuangkan air itu ke tenggorokanku, ah, rasanya segar sekali. Aku menutupnya kembali, dan meletakkan kantung itu di atas sebuah batu. Aku melihat Ethan membuat api unggun. "Apa kita akan bermalam di sini?" tanyaku. "Kau mau berjalan sendirian di hutan malam-malam? Silahkan," ucapnya sinis, kadang-kadang aku membenci sifatnya yang satu itu. "Tidurlah, ini sudah larut." Ethan duduk di sampingku, yang mana aku tengah duduk di sebuah batu yang menjorok ke jurang. "Kau lihat bintang itu?" tanyaku, Ethan melirikku sekilas dan mengikuti edar pandangku. "Oh, maksudmu bintang kecil itu? Yang sendirian dan terpisah dari kelompoknya?" aku mengangguk sebagai jawaban, lalu menolehkan kepalaku. "Bintang itu memang sendirian, dan terlihat kecil," ujarku, Ethan menatap mataku. "-namun, terkadang menjadi berbeda itu penting, kita tak bisa hidup dengan hanya terus meniru orang lain. Dan bintang itu terlihat kecil karena kau memandangnya dari jauh, namun pendapatmu akan berbeda bila kau menghampiri bintang itu dan sadar betapa cantiknya bintang itu. Hal itu juga sama ketika kau memandang orang lain, jangan pandang orang lain hanya sebatas penampilan” “yang mana penampilan adalah tolak ukur yang sangat primitif, nilai seseorang dari bagaimana ia bersikap, dan apa yang mampu ia lakukan untuk orang lain dengan tulus. Dan kau tahu? Aku ingin menjadi seperti bintang itu, kecil dan sendirian. Aku ingin menjadi seseorang yang berbeda, dan memiliki nilai tinggi dalam hal berkepribadian." aku mengakhiri pidato panjangku dengan menunduk, sudah lama sekali sejak terakhir kalinya aku menceritakan sesuatu kepada orang lain. Sejak saat itu, saat di mana aku merasa kehilangan semangat hidup, dan ingin mengakhiri kehidupanku. Aku tercekat ketika sebuah tangan melingkari bahuku, dan menariknya untuk lebih dekat. Refleks, aku menyenderkan kepalaku di bahu Ethan, dan merasakan kantuk yang mulai menyergap kesadaranku. "Kau bisa Nyx, pasti bisa." ujarnya, ya, itu kata-kata terakhirnya sebelum pikiranku tersita dan terbawa arus ke alam mimpi. Sepertinya, aku melupakan sesuatu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD