Bagian 07 – Hari Pertempuran II

968 Words
Bagian 07 – Hari Pertempuran II Baru beberapa langkah keluar dari mobil ringsek itu, tim Nyx sudah disambut oleh tatapan sinis dari tim lawan. Terlebih lagi Wicellia, dia menghempaskan surai oranye miliknya dan bertolak pinggang. "Tim pecundang rupanya," sinisnya. Nyx tersinggung, ia hampir saja akan melesat dan menghajar mulut menjijikan Wicellia sebelum sebuah tangan melingkari pinggangnya. "Tenanglah atau semua ini akan berakhir dengan cepat." bisik Ethan, Nyx masih menatap Wicellia tajam. Bahkan jika tatapan bisa membunuh seseorang, Wicellia sudah buntung saat ini karena tatapan Nyx. "Hei genit, singkirkan tubuhmu dari Ethanku!" cerca Wicellia, kentara sekali ia tengah cemburu saat ini. "Kau yang genit, dasar cewek!" Sai mengacung marah, rupanya sedari tadi ia menahan emosinya. Wicellia terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah senyuman. Senyuman palsu, sepalsu dirinya. Dengan angkuh, ia mengambil langkah dan berdiri di sisi seorang pria. Pria itu berambut indigo dengan sebuah kalung yang terlingkar di lehernya. Ya, mudah sekali menebak siapa orang yang berdiri di samping gadis jadi-jadian itu. Wicellia membisikkan sesuatu kepada pria itu, dan dijawab dengan anggukan. Pria itu mengangkat pedang tanggung miliknya dan berseru, "Kalahkan mereka!" Semua anggota timnya bersorak keras, menjadi sebuah gema dengan nada berantakan di padang tandus ini. Dengan kilat mereka membentuk formasi, memang tak terlihat formasi seperti apa yang mereka lakukan. Namun bila dilihat dari segi ketahanan, itu akan sedikit sulit. "Kalau begitu apa kalian sudah siap?" tanya Ethan. "Tentu saja," gumam Nyx, ia menyeringai kecil. Dijawab anggukan juga oleh anggota timnya yang lain. * Hening. Tak ada yang ingin memulai pertempuran sama sekali, masing-masing dari mereka terlihat seperti menunggu serangan, bukannya menyerang. "Berikan kalung beserta kunci itu, lalu menyerahlah." ujar si ketua, aku berdecih mendengar ucapan bodohnya. "Simpan saja kata-katamu, dan angkat senjatamu," ucapku sinis dan segera membentuk sebuah pedang. Aura hitam berkumpul dan memusat di telapak tanganku, perlahan-lahan aura itu memadat, dan membentuk sebuah benda berujung tajam. Sial, batinku. Baru saja aku selesai membentuk pedang, sebuah pedang besar tiba-tiba datang dan hampir menghantamku, namun langsung kutangkis dengan cekatan. Gadis yang menyerangku itu salto ke belakang dan mendarat dengan sempurna, ia lalu menaruh pedangnya di bahu, seolah-olah menantangku berduel. "Kau tak apa Nyx?!" tanya Aster, ia tengah menahan beberapa serangan dengan benteng cahaya-nya. "Iya, aku tak apa. Aster, bertahanlah!" aku berlari menuju ke arah Aster yang mulai kewalahan, namun lagi-lagi aku dicegat wanita itu. "Lawan aku dulu, bocah." ucapannya benar-benar membuatku marah. Dia bilang aku bocah? Oh hei, bahkan kau tak tahu berapa umur asliku. "Baiklah, bila itu yang kau mau." aku melompat dan mengayunkan pedang dengan cepat, ia menangkis pedangku, dan mendorongku hingga jatuh dan berlutut di tanah. "Lemah," ujarnya, aku berdiri dengan pedang sebagai tumpuanku. Dengan pelan kuusap pasir kotor yang menempel di wajahku. Dua kali ... ia mengataiku dua kali. "Siapa yang kau bilang lemah, hah?!" aku menginjak kuat tempatku berdiri dan melompat ke arah gadis itu, pedangku langsung menembus badannya. Menyisakan si gadis dengan raut tak percaya. Gadis itu perlahan menghilang, berubah menjadi partikel kecil dan melayang di udara. Pedangku terjatuh saat gadis itu benar-benar menghilang, dengan satu tangan, kuambil pedangku dan menatapnya. Sebenarnya, kekuatan seperti apa yang kudapatkan ini. "ARGH!" aku menoleh refleks, dan menganga ketika melihat Aster terhuyung dan jatuh. Ada setancap belati di jantungnya, ia terjatuh, namun tak benar-benar terjatuh. Aster mulai berubah menjadi partikel kecil ketika tubuhnya mulai ambruk ke tanah. "Aster!" aku berteriak, namun tak bisa berbuat apa-apa. Sesosok gadis datang dan mengambil belati yang tergeletak di sana. Aku menggeram ke arah Wicellia, dia benar-benar tak punya hati! Pikiranku kacau, dan membuatku menyerang brutal secara tiba-tiba. Aku berkali-kali menghantam Wicellia, namun dia dapat melewatiku dengan mudah. "Dasar pecundang, permainanmu terlalu brutal." ujarnya licik, emosiku semakin tersulut karenanya. Aku memutar pedang dan memukul pergelangan kaki Wicellia dengan gagang pedang. Dia terjatuh, pedangku langsung tersiaga di samping lehernya. Wicellia terdiam kaku, tak bergeming dari tempatnya saat ini. Matanya memicing tajam ke arahku. Aku membencinya, benar-benar membencinya. Kalimat itu selalu terngiang di kepalaku sejak aku melihat Aster yang terhuyung karenanya. Tanpa sadar, tanganku menarik pedang agak jauh dari lehernya. Aku mengayun kecil pedangku sebelum mata pedang ini akan menembus kulitnya. Terlihat Wicellia sangat ketakutan, apalagi ketika tepi pedangku menyentuh kulitnya, dan menghasilkan sensasi yang cukup mengerikan. Ketika ayunan terakhir kulayangkan, aku melihat sesuatu di mata Wicellia. Aku berbalik dan menyabitkan pedangku secara refleks ke kaki si penyerang. Pria kekar itu tumbang dan terjatuh, gada miliknya jatuh tak jauh darinya. Kakinya yang telah buntung itu perlahan menghilang, dan kemballi berubah menjadi kepulan partikel. "Dasar pengganggu," decihku. Aku berbalik kembali ke arah Wicellia terduduk, namun rautku berubah kaget saat melihatnya kabur ke arah hutan yang tak jauh dari sini. "Hei!" teriakku kesal, aku belum melampiaskan dendamku padanya. Baru saja kakiku ingin melangkah dan mengejar 'nyonya sok' itu, terdengar suara minta tolong dari arah belakang. "Nyx, di sini! Bantu kami!" suara Sai, baiklah, sepertinya Wicellia harus menunggu beberapa saat lagi. "Nyx!" kali ini Ethan yang bersuara, aku menoleh dan melihat sebuah golem raksasa di sana. Aku menginjak kuat tanah dan melompat, lalu mendarat di samping Ethan dengan lutut sebagai tumpuan. "Siapa yang mengendalikan golem itu?" tanyaku, mereka bertiga menggeleng. "Kurasa orang itu, si pemimpin." ucap Dai sambil menunjuk pria berambut navy itu. Anehnya, ada seorang pria yang boncel, yang mana selalu berdiri di belakang si pemimpin. Sebenarnya dia itu tua atau muda? Tubuhnya terbilang kecil untuk ukuran dewasa, namun wajahnya tidak bisa dikatakan muda kembali. Aku melirik Ethan, "Kau tahu siapa pria boncel itu?" Ethan mengernyit, "Yang mana?" "Itu, yang selalu berdiri di belakang si pemimpin." ujarku, Ethan memicingkan matanya dan kemudian terangguk kecil. "Baiklah, sekarang kita ... " BRAGH! Untung saja kami langsung melompat sebelum tangan golem itu menghantam kami semua, kami jadi terpencar. "Sai, gunakan energi airmu!" teriakku panik, Sai terlihat lebih panik. "Dia batu, bodoh! Bukannya tanah!" aku menepuk jidatku keras, dan kembali berpikir. Sambaran kilat biru itu membuat mataku bergulir menengoknya, Ethan melompat dan menebas tubuh golem itu dengan pedangnya. Golem itu tumbang, dengan badan yang terbelah secara diagonal. "Kerja bagus, Ethan." pujiku padanya dan membuatnya sedikit membesarkan kepala. "ARGH!" aku menoleh dan melihat Dai ditusuk oleh pemimpin itu. s**l, ini hanya pengalih perhatian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD