MAUKAH KAU MENIKAH DENGANKU?

1012 Words
"b******k!" "Radith b******n!" "Sarah sialan!" "Kalian berdua benar-benar b******k!" "Siaaalll …!" Nara meremas rambutnya. Air mata terus mengalir di kedua pipinya. Perempuan itu terus berlari tanpa memperhatikan jalan di depannya. Tubuh Nara hampir saja terjungkal, saat tiba-tiba seseorang menabraknya dengan keras. Nara meringis kesakitan sambil memegangi bibirnya. Sementara seseorang yang menabraknya melingkarkan tangannya pada pinggang Nara, menahan tubuh gadis itu agar tidak terjatuh. "b******k! Sakit, Anjir!" maki Nara sambil memegangi bibirnya yang membentur keras rahang tegas pria di depannya. "Lo gila, ya?" Nara kembali memegangi bibirnya. Mulut mungilnya kembali memaki, saat dia melihat darah menempel di tangannya yang baru saja memegangi bibirnya. "Dasar sial! Kenapa hari ini aku sial sekali?" Nara masih mengumpat dengan kesal. Sementara pria di depannya masih menatap Nara yang meringis kesakitan. Wajah tampannya terlihat sangat kesal. "Lo buta, ya? Jalan nggak liat-liat!" "Heh! Apa lo bilang?" Nara berteriak marah saat mendengar teriakan pria di depannya. "Jelas-jelas lo yang nabrak gue, kenapa lo malah nyalahin gue?" "b******k! Gara-gara lo, bibir gue berdarah, bego!" Nara kembali meringis kesakitan. Melihat keadaan Nara, pria itu sedikit merasa bersalah. Memang benar, dirinya tadi terburu-buru dan tidak melihat ke arah jalan di depannya. Rasa kesal dan amarah yang menguasainya, membuat pria itu terburu-buru ingin keluar dari apartemen itu secepatnya. "Sori! Gue ngaku salah. Gue emang terburu-buru tadi. Tapi lo juga salah, karena lo juga jalan nggak pake mata!" "Anjir … apa-apaan lo? Minta maaf tapi lo maki gue?" Kedua mata Nara melotot ke arah pria di depannya. "Nggak sopan banget jadi cewek!" Pria di depan Nara itu berdecak kesal. "Nggak sopan?" Nara menunjuk ke arah dirinya sendiri. "Bagian mananya dari gue yang nggak sopan?" Nara tersulut emosi. Saat ini, dirinya tidak sedang ingin menerima kata-kata yang membuatnya kesal. Hatinya sedang panas. Rasa amarah dan emosi sudah naik ke ubun-ubun dan bisa meledak kapan saja. Rasanya, dia ingin sekali memaki semua orang yang kini berada dilihatnya. Termasuk makhluk tampan yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. "Lagian kenapa lo lari terburu-buru?" Masih dengan nada kesal, pria itu menatap Nara. "Bukan urusan lo!" bentak Nara. Gadis itu kembali meringis memegangi bibirnya yang pecah. Nara menatap lelaki itu dengan kesal. Kemudian, dengan langkah tergesa ia meninggalkan pria itu. Nara masuk ke dalam lift, belum sempat pintu lift tertutup, pria itu ternyata juga ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya. Di dalam lift, mereka sama-sama terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Nara kembali meneteskan air mata saat ingatannya kembali tertuju pada Radith dan Sarah. Dua orang yang dengan terang-terangan telah mengkhianatinya. Tak jauh berbeda dengan Nara, pria di sampingnya pun saat ini sedang tenggelam dalam api kemarahan yang saat ini sedang dia tahan sekuat tenaga. Rasanya, saat ini dia ingin berteriak sekeras mungkin untuk melampiaskan amarahnya. "Lo, nangis?" Nara melirik ke arah pria itu. "Bukan urusan lo!" sentak Nara. "Lo juga terlihat kesal," balas Nara. "Nggak usah sok tahu!" Pria itu berdecak kesal. "Dasar perempuan sialan!" Pria itu bergumam. Namun masih terdengar jelas di telinga Nara. "Lo, ngatain gue sialan?" Nara kembali tersulut emosi. "Siapa yang ngatain, lo?" Pria itu berdecak kesal. "Lo, maki gue barusan. Gue denger bege!" Nara berteriak sewot. Beruntung, hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Seandainya banyak orang, entah apa yang akan dikatakan orang-orang melihat perdebatan mereka. Mendengar teriakan Nara, Gavin akhirnya meradang. Amarah yang sedari tadi ditahannya sebentar lagi meledak mendengar setiap ucapan gadis cantik di depannya itu. Namun, belum sempat dia memaki, pintu lift terbuka. Gavin menahan semua makian yang hampir saja terlontar dari mulutnya. Nara menatap tajam ke arah Gavin dengan aura permusuhan. Begitupun Gavin, yang rahangnya masih mengeras karena amarah. Kedua tangannya masih terkepal. Mereka berdua kemudian keluar dari lift bersamaan. Nara bergegas keluar dari area apartemen tanpa mempedulikan Gavin. Gavin yang awalnya ingin memaki Nara, mengurungkan niat saat melihat banyak orang lalu lalang di area lobi apartemen. Pria itu mencoba meredam amarahnya. Netranya tak lepas memandangi punggung Nara yang berjalan menjauh meninggalkannya. Nara berhenti di taman yang terletak tidak jauh dari apartemen. Perempuan itu duduk di bawah pohon, kemudian menangis di sana. Sementara itu, tanpa Nara sadari, laki-laki yang tadi sempat berdebat dengannya pun kini sedang menangis di balik pohon, di sebelah Nara. Nara mengenalkan Aline pada Radith, saat mereka tidak sengaja bertemu di kampus. Gadis itu tidak menyangka kalau setelah pertemuan Aline dan Radith saat itu, ternyata sahabat dan kekasihnya itu sering bertemu tanpa sepengetahuannya. Nara benar-benar tidak pernah membayangkan kalau sahabat dan kekasihnya itu tega mengkhianatinya. Nara menghentikan tangisnya saat samar-samar terdengar suara tangis dari balik pohon di sebelahnya. Gadis itu kemudian bangkit mendekat ke arah suara. Kedua netranya membulat saat melihat seseorang yang saat ini sedang menangis sambil menyandarkan kepalanya di batang pohon. Laki-laki itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar, isak tangisnya terdengar lirih. "Kamu ...." Pria itu mendongak saat mendengar suara Nara. Sepertinya dia baru menyadari kalau ada seseorang di sana selain dirinya. Netranya yang berkaca-kaca menatap gadis cantik bermata sembab itu dengan serius. “Apa kau mau menikah denganku?” “Apa?” Kedua mata Nara membulat mendengar ucapan pria di depannya. “Menikahlah denganku. Aku janji, aku pasti akan membahagiakanmu dan tidak akan pernah mengkhianatimu.” “Apa kau gila?” “Iya. Patah hati membuatku gila dan membuatku ingin menikah dengan segera.” Suara pria itu terdengar putus asa. “Pacarku mengkhianatiku karena dia bilang, aku tidak bisa memuaskannya di atas ranjang.” “Hah?” Mulut Nara terbuka sempurna. “Aku bukannya tidak mau memuaskannya di atas ranjang, aku sangat ingin, tetapi nanti. Saat aku sudah menikah dengannya. Bukankah seks bebas itu adalah zina dan termasuk dosa besar?" Kini, bukan hanya mulut Nara yang terbuka. Kedua matanya bahkan membola, menatap kaget pada pria berwajah tampan di depannya itu. Hari gini, masih ada orang yang menganggap seks bebas itu dosa besar? Benar-benar ajaib! Di saat semua anak muda seusianya merasa bangga melepas keperawanan dan keperjakaan mereka tanpa menikah, pria di depannya ini justru menyebut kalau itu adalah perbuatan dosa. Kenapa pemikiran pria di depannya ini sama persis dengan prinsip hidupnya? "Menikahlah denganku. Aku janji, aku tidak akan pernah mengkhianatimu," ulang pria itu sambil terus menatap Nara tak berkedip.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD