BAB 3: KAPAN RENCANA KALIAN PUTUS

1684 Words
SELAMAT MEMBACA *** Arjuna menghentikan langkahnya saat tiba disebuah minimarket di dekat kompleks perumahannya. Tadi dia keluar dengan alasan mencari angin. Padahal dia ingin pergi ke supermarket untuk membeli es krim. Arjuna merasa sedikit bersalah pada Aruna, sejak kejadian sore tadi Aruna terlihat sedikit murung dan tidak banyak bicara. Mungkin saja karena aduannya, gadis itu kena marah oleh kedua orang tuanya. Meski Arjuna tidak senang dengan apa yang Aruna lakukan, tapi melihat gadis itu murung hatinya juga tidak tega. Arjuna langsung masuk kedalam supermarket dan menuju tempat es krim. Dia asik memilih banyak es krim, dari yang rasa coklat, vanila sampai strawberry. Dia membeli semua rasa, karena tau Aruna sangat menyukai es krim. Tak lupa dia juga membelikan beberapa batang coklat, untuk Armaya yang maniak coklat. Setelah merasa cukup, Arjuna langsung membayar belanjaannya dan pulang. Bahkan dia tidak membeli apapun untuk dirinya selain coklat untuk Armaya dan Es krim untuk Aruna. Sampai di rumah, dia melihat Aruna dan Armaya yang sedang duduk di teras depan rumah sambil masing-masing menatap ponsel di tangan mereka. Entah apa yang mereka lakukan dengan benda itu, karena terlihat sangat serius. Sampai-sampai tidak sadar kalau dirinya datang. "He emmm," Arjuna berdehem pelan mengalihkan fokus keduanya. Melihat Arjuna datang, Armaya langsung tersenyum sumringah apalagi melihat kantong belanjaan yang di bawa Arjuna. "Bang Juna dari mana?" tanya Armaya pada Arjuna. Matanya langsung melirik beberapa batang coklat di dalam kantong belanjaan yang transparan itu. "Dari supermarket depan." Jawab Arjuna sambil menunjukkan kantong belanjaannya. "Beli coklat tidak?" "Ada ini, ambil saja." Tanpa di perintah dua kali, Armaya langsung mengambil semua coklat yang di beli oleh Arjuna dan membawanya masuk kedalam rumah. Tidak peduli, jika coklat itu bukan punyanya semua. Arjuna tidak menegurnya, menurut Armaya apa yang dia lakukan sah-sah saja. Setelah kepergian Armaya, tersisalah Arjuna dan Aruna berdua di teras. "Kamu marah sama Abang?" tanya Arjuna pada Aruna. Aruna hanya menggeleng pelan. Mana berani dia marah pada Arjuna. Jika kesal, mungkin saja. "Ini Abang belikan es krim sebagai permintaan maaf." Arjuna mengeluarkan beberapa bungkus es krim dari kantong belanjaannya. Aruna hanya menatapnya sekilas, kemudian mengabaikannya. Bersikap pura-pura tidak peduli dengan apa yang Arjuna tawarkan. Arjuna semakin yakin, gadis di depannya itu tengah merajuk. "Kalau tidak mau, biar Abang kasih sama Arma." Arjuna ingin memasukkan kembali es krim di atas meja kedalam kantong belanjaan. Namun tangannya langsung di cegah oleh Aruna. "Kalau sudah di kasih ke orang, mana boleh di ambil lagi." Setelah mengatakan itu, Aruna membuka satu cup es krim yang di belikan Arjuna. Memakannya dengan lahap. Tidak peduli dengan Arjuna yang menatapnya dengan geli sejak tadi. "Sejak kapan kamu punya pacar?" tanya Arjuna setelah sekian lama diam. Aruna kemudian menghentikan makannya, terdiam menatap Arjuna dengan cemas. "Abang cuma tanya, bukan marah." Ucap Arjuna saat tau ekspresi takut Aruna. "Siapa tadi namanya?" "Arif." "Anak mana?" "Teman sekelas." "Sudah lama pacaran?" "Baru satu minggu." Arjuna mengangguk pelan. Kemudian matanya kembali menyipit menatap Aruna dengan intens. Aruna yang sedang asik dengan es krimnya tidak menyadari tatapan Arjuna. "Kapan rencana kalian putus?" tanya Arjuna lagi. Pertanyaan yang langsung di hadiahi tatapan kesal dari Aruna. Baru kali ini ada orang bertanya, kapan rencana putus pada orang yang baru jadian. Aruna menggerutu dalam hati, kenapa tuhan harus menciptakan manusia dengan ucapan kejam seperti Arjuna. Padahal ada kata-kata, semoga langgeng terus hubungan kalian Itu lebih baik, ketimbang kalimat kapan rencana kalian putus. Benar-benar manusia tanpa perasaan. "Kenapa begitu lihat Abang? Ada yang salah sama pertanyaan Abang?" tanya Arjuna lagi. Meski kesal dan ingin memaki Arjuna, namun Aruna tidak bisa mengatakannya secara langsung. Dia tidak memiliki nyali sebesar itu untuk melawan Arjuna. "Pertanyaan Abang jahat." Jawab Aruna dengan sedikit meggerutu. "Apanya yang jahat?" tanya Arjuna dengan santai. "Abang doakan kami cepat putus kan?" "Memang." "Kenapa? Abang iri? Abang dengki?" Arjuna kembali menatap Aruna dengan serius. Dia benar-benar ingin mengatakan jika dia tidak suka Aruna menjalain hubungan dengan laki-laki lain. Tapi bagaimana mengatakannya. Apa haknya melarang seperti itu. "Sekarang Abang tanya, umur sekamu ini pacaran tujuannya apa?" Arjuna bersedekap, menatap remeh pada Aruna. "Ya tidak ada, cuma mau pacaran saja memang tidak boleh." "Untuk apa memulai hubungan kalau tidak ada akhirnya. Buang-buang waktu, percuma. Nanti ujung-ujungnya kalau sudah sayang terus putus menangis. Berhari-hari tidak makan, tidak semangat apa-apa. Belajar berantakan, sakit. Merugikam disi sendiri." "Itukan menurut Abang, karena Abang tidak punya pacar saja makanya bisa bilang begitu." Ucap Aruna dengan spontan. Aruna yang menyadari ucapannya yang mungkin keterlaluan langsung menunduk. Dia tau, mungkin saja ucapan spontannya berhasil menyinggung perasaan Arjuna. "Maaf," ucap Aruna lirih. Arjuna hanya tersenyum miris mendengar ucapan Aruna. Apa menurut gadis itu nasibnya sangat menyedihkan. Memangnya karena siapa, dia bernasib seperti ini sekarang. "Orang pacaran itu cuma punya dua tujuan Runa, kalau tidak putus ya menikah. Memangnya kamu mau menikah sekarang? Tidak kan, jadi apa salahnya kalau Abang tanya kapan putus?" Ucap Arjuna lagi dengan lebih sinisnya. Aruna yang semula merasa bersalah dengan ucapanya, sekarang justru semakin kesal dengan Arjuna. Apalagi ucapan laki-laki itu benar-benar menjengkelkan, seperti manusia tanpa perasaan. "Ya siapa tau kan kita menikah. Takdir mana ada yang tau, Abang jangan mendahului takdir begitu. Memangnya Abang itu Tuhan." Ucap Aruna dengan kesal. Arjuna tertawa sinis mendengar pembelaan Aruna. Anak bau kencur berbicara tentang takdir dan pernikahan. "Menikah sekarang? Memangnya pacarmu yang itu apanya yang bisa di harapkan. Uang jajan saja pasti masih minta sama orang tua. Mau menikah, mau di kasih makan apa kamu? Hei, Nona sadar hidup itu tidak cukup makan cinta." Aruna tidak bisa lagi mejawab ucapan Arjuna. Dia selalu kalah jika berdebat melawan laki-laki itu. Dia hanya bisa menelan bulat-bulat kekesalan hatinya pada Arjuna. "Jadi sebelum semakin membuang-buang waktu. Cepat putuskan pacarmu itu. Lagi pula siapa yang kasih izin kamu pacaran. Belajar dulu yang rajin, bukan malah pacaran tidak jelas." Setelah mengatakan itu Arjuna langsung berdiri dari duduknya. Dia ingin masuk kedalam rumah. Namun, tiba-tiba suara Aruna menghentikan langkahnya. "Abang tidak berhak ya ngatur-ngatur. Urus saja diri Abang sendiri." Arjuna kembali tersenyum sinis mendengar ucapan kasar Aruna. "Berhak atau tidak, itu bukan urusanmu. Awas saja kalau Abang ketemu kamu lagi, sedang pacaran. Tidak peduli dimana, Abang langsung seret pulang." Setelah mengatakan itu, Arjuna langsung masuk kedalam rumah. Tidak memperdulikan lagi apa yang di ucapkan Aruna. *** Aruna pulang kerumahnya sendiri, saking kesalnya dengan Arjuna. Aruna memutuskan tidak menginap di rumah Arjuna malam ini. Sampai di rumah, Aruna masuk dan melihat kedua orang tuanya sedang duduk santai di depan televisi sambil menyaksikan acara komedi. "Kok pulang, tidak menginap di tempat Mas Juna?" tanya Asep saat melihat putrinya datang dan ikut bergabung bersamanya disana. "Malas." Jawab Aruna dengan lesu. "Kenapa? Itu apa?" tanya Asep saat melihat bungkusan yang di geletakkan Aruna begitu sana. "Es krim." Jawab Aruna lagi dengan singkat, padat dan jelas. Asep langsung membukanya, melihat banyaknya es krim yang di bawa Aruna, Asep langsung bertanya. "Siapa yang belikan?" "Bang Juna." "Kalian marahan?" kali ini Sarni yang bertanya. Dia terlalu faham dengan kebiasaan Arjuna yang sering membelikan jajan Aruna ataupun Armaya jika mereka habis marahan. "Tidak." Aruna menggeleng pelan. "Palingan juga kamu yang bikin Mas Juna kesal. Makanya marah, iya kan?" tebak Sarni lagi. "Ibu ini sebenarnya Ibu nya siapa sih. Kok bela Abang Juna terus." Ucap Aruna dengan kesal. Karena merasa Ibunya lebih membela Arjuna ketimbang dirinya yang jelas-jelas anak kandungnya. Setelah itu, Aruna langsung pergi kekamarnya sendiri. Meninggalkan es krimnya begitu saja dan kedua orang tuanya yang tengah kebingungan dengan sikap putrinya itu. "Biar Bapak yang bicara Bu," Ucap Asep saat melihat Sarni yang ingin berdiri menyusul Aruna kekamar. Sarni pun mengangguk, dia membiarkan suaminya yang turun tangan sekarang. "Anak Bapak kenapa kok kesal begini?" tanya Asep dengan sabar saat memasuki kamar putrinya. Aruna yang semula duduk di meja belajarnya langsung naik keranjang, saat melihat bapaknya datang. "Jengkel sama Ibu, bela-bela Bang Juna terus." Adu Aruna pada Asep. "Kalian marahan?" "Bang Juna yang bikin jengkel Pak. Masa marah-marah terus." "Pasti Mas Juna juga marah ada sebabnya. Coba fikir apa yang buat dia marah." Ucap Asep lagi memberi pengertian. Karena dia tau, anak majikannya itu adalah anak yang baik. Tidak akan marah, jika tidak ada sebab. Bahkan saking Asep terlalu memahami wataknya, Asep sudah mengangganya putranya sendiri. "Bapak itu juga sama kaya Ibu. Bela-bela Bang Juna terus. Mana pernah bela Runa." Aruna yang merasa bapaknya juga membela Arjuna semkain membuatnya kesal. Merasa semua orang berada di pihak Arjuna. Sampai-sampai kedua orang tuanya pun membela Arjuna bukan dirinya. "Sebelum Aruna lahir, Mas Juna dan Mbak Jani itu lebih dulu jadi anaknya bapak. Jadi bapak Faham sama sifat mereka. Mas Juna tidak mungkin marah kalau tidak ada sebab. Lagi pula, dia juga sudah minta maaf kan. Itu es krim satu plastik buktinya." Aruna hanya diam saja, tidak menanggapi ucapan bapaknya. "Paling ini, masalah Runa yang punya pacar kan?" Aruna langsung menoleh. Kenapa tebakan bapaknya itu tepat sekali. "Betul kan, tebakan bapak?" tanya Asep lagi. "Bapak juga mau marah sama Runa?" tanya Aruna dengan cemas pada Asep. Namun, Asep langsung menggeleng pelan. Membuat Aruna bisa bernafas sedikit lega. "Sebenarnya Bapak tidak setuju Runa punya pacar. Tapi Bapak larang, juga Runa pasti tidak dengarkan. Asalkan masih batas wajar, tidak mengganggu belajar dan tidak melakukan hal aneh-aneh. Bapak akan izinkan. Jadikan notivasi saja, teman belajar dan penyemangat." Ucap Asep lembut. Sambil mengusap kepala putrinya dengan sayang. Aruna kangsung mengangguk dengan senang. "Iya. Runa janji, tidak aneh-aneh. Tidak mengganggu waktu belajar juga." Jawab Aruna menyakinkan bapaknya. "Mas Juna juga marah itu bukan karena apa-apa. Bukan juga karena benci. Dia terlalu sayang sama Runa. Tidak mau Runa sanpai aneh-aneh. Mas Juna itu sudah menganggap Runa sama Arma itu adiknya sendiri. Dia cuma mau menjaga adik-adiknya. Jadi tolong faham kalau Mas Juna marah, itu demi kebaikan Runa." Aruna mengangguk faham. Dia jadi kembali kepikiran dengan ucapannya tadi. Dia terlalu terbawa emosi, tidak sadar entah apa saja yang dia ucapkan tadi. Sebaiknya besok dia minta maaf pada Arjuna. "Iya, Runa faham. Runa salah, besok Runa minta maaf sama Bang Juna." Ucap Aruna pada Akhirnya. "Anak pintar. Sudah sekarang tidur. Istirahat. Besok sekolah." "Iya Pak." Setelah mengatakan itu, Asep langsung pergi dari kamar Aruna. Menyisakan Aruna yang tengah merenungkan perseteruannya dengan Arjuna tadi. Semakin di fikirkan, semakin Aruna menyesal dan merasa bersalah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD