Kue Teng-Teng

1861 Words
“Masa dia gak kerasa sih, Nia, pas temennya jatoh? Ngebonceng orang itu kan berat. Belum lagi, masa iya dia nggak engeh kalau temen di belakangnya enggak ngejawab pertanyaan dia? Harusnya kan dia sadar.” Kami berdua kini duduk di meja makan. Meskipun biasanya jarang ada percakapan saat kami berdua menyendok nasi, rasa penasaran benar-benar menggelayuti kepala. Bagaimana mungkin seorang pemotor yang membonceng kawannya tidak tahu kalau orang yang diboncenginya itu terjatuh? Apakah itu masuk akal? Nia menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Kemudian, mengambil kerupuk di toples dan kembali asyik dengan piring yang diisi lauk pauk sederhana tapi entah mengapa terasa nikmat, menurutku. Jarang-jarang aku menemukan lauk begini di kota. Paling-paling, aku makan fast food dan sejenisnya. Di meja makan ini, ada tempe dan tahu goreng, ikan asin yang dibelah dan dibumbui balado yang kata Nia sih, disebut dengan ikan asin kaca, juga sayur asem dan sambal terasi. “Namanya juga dimainin sandekala, Gis.” Dipermainkan sandekala? Siapa sih si Sandekala itu? Sebegitu kurang kerjaan kah sampai ia mempermainkan orang lain? Apakah Sandekala itu seorang laki-laki? Sejenis playboy mungkin? Yang juga suka mempermainkan perempuan? Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya kepalaku sudah mulai tak beres. Suara-suara aneh berebut memenuhi benakku. Nia kembali mengunyah makanannya yang tinggal separuh. Setelah mengganti pakaian sepulang sekolah tadi, ia bertanya tentang anak perempuan yang dini hari di kelilingi banyak orang di rumahnya. Aku menjadi begitu penasaran. Dari yang aku dengar kemarin, gadis itu tidak sadarkan diri setelah kecelakaan motor. Bukan, lebih tepatnya jatuh sendiri, dari motor. Tidak dengan motornya. Yang lebih aneh lagi, jatuhnya pun tidak diketahui. Cukup unik bukan? Dari beberapa orang yang kudengar dari teras rumah Nyai, ketika mereka sedang berkumpul, katanya anak yang bernama Muti itu tidak berani berbicara pada orang tuanya bahwa ia baru saja jatuh. Aku cukup paham kenapa ia melakukan hal tersebut. Kenapa anak itu tidak bilang pada orang tuanya. Kesatu, ia pasti takut dimarahi begitu orang tuanya tahu apa yang terjadi. Yang kedua, anak perempuan itu berpikir kalau ia benar-benar baik-baik saja karena tidak ada sedikit pun luka yang terlihat serius. Tidak ada luka sobek yang parah. Tidak ada darah yang bersimbah. Namun, sesampainya di rumah, terlebih saat malam mulai larut, ia baru merasakan sakit di kepalanya. Tak lama, ia muntah-muntah. Akhirnya, aku tahu apa yang aku dengar semalam itu adalah tangisan dari Muti di sebelah rumah. Sebelumnya, aku sudah berpikiran yang tidak-tidak. Kukira ada mahluk halus yang menangis di atas pohon di sebelah jendela kamarku. “Katanya jok belakang tetap terasa berat meskipun si Muti udah gak duduk di sana, Gis. Orang si Tika aja baru ‘ngeuh' waktu Bi Iis yang nanyain ponakannya. Di warung pengkolan itu, tuh. Si Tika baru sadar kalau dari tadi Muti udah gak sama dia lagi. Ngaleungit, tring! Siga sulap.” Percaya tak percaya, memang itulah yang terjadi. Secara logika yang memang masuk akal, aku berpikir bahwa mungkin saja Tika terlalu kencang menarik gas dan menabrak polisi tidur. Sehingga, saat motornya berlaju kencang dan terjadi guncangan, ia tak sadar kalau temannya jatuh. Untungnya, tidak dengan motor yang ia kendarai. Memang ya, jiwa muda itu sedang menggebu-gebu. Jadi ingat dulu, waktu pertama kali diajak Dila naik motor barunya. “Terus gimana katanya sekarang, Gis? Kamu udah liat mereka pulang belum?” Tiba-tiba, Nia bertanya padaku. Sebelumnya, aku memang mengatakan pada Nia kalau anak perempuan itu akhirnya mendapat tumpangan ke Kota, setelah ditolak dari sebuah klinik kecil di ujung kampung. Dokter di klinik itu tidak menyanggupi dan menyarankan agar Muti dibawa ke rumah sakit besar karena alat-alat di sana lebih memadai. Maklum saja, perkampungan ini hanya memiliki satu klinik, belum lagi jauh dari jalan raya dan kota. Setidaknya butuh sekitar satu sampai dua jam untuk pergi ke kota. Hal kedua yang awalnya sempat terlihat janggal bagi orang-orang kampung yang masih percaya hal gaib, katanya sakit kepala dan muntah-muntah yang dialami oleh Muti adalah gangguan dari makhluk halus. Kalau kata Nia, sih, ya karena si Sandekala tadi. Ditambah, ketika pagi harinya, anak perempuan itu tak sadarkan diri. Ia baru sadar begitu Nyai menghampirinya dan entah membacakan apa, serta membuat ramuan dari bangle yang ia semburkan pada anak perempuan itu. Kukira adegan seperti ini hanya ada di televisi saja. Mereka masih meyakini bahwa sakit, apalagi yang sedikit janggal, adalah campur tangan makhluk gaib. Entah itu karena kita yang mengusik mereka, atau tak sengaja melakukan hal yang membuat mereka tak senang. Aku juga sempat terheran-heran. Mengapa bisa gadis yang tak sadarkan diri itu terbangun karena apa yang Nyai lakukan. Masalah ia ditolak dari klinik di ujung kampung, aku masih bisa berpikir secara logis. Faktanya memang karena di kampung, dan juga hanya sebuah klinik kecil kata Nia, kekurangan alat medis memang bisa menjadi salah satu faktor kalau anak perempuan itu ditolak oleh pihak klinik karena mungkin saja memang luka di dalam kepala anak perempuan itu cukup serius. Tapi, yang masih mengganggu pikiranku adalah, ketika Nyai membacakan sesuatu dan anak perempuan itu tersadar. Aku tidak tahu pasti apa yan Nyai bacakan. Aku bertanya pada Nia dan gadis itu menjawab bahwa apa yang dibacakan Nyai adalah sebuah Jampe. Mantra yang dipercaya oleh warga kampung sini. Rupanya di sini masih terikat dengan hal-hal yang seperti itu. Kukira di hari yang modern seperti sekarang ini sudah tidak ada lagi mantra-mantra seperti itu. Rupanya, kampung ini masih sangat kental dengan kepercayaan leluhur yang demikian. Dan nampaknya, mau tidak mau, percaya tidak percaya, meski tidak begitu meyakininya, di mana aku berpijak, aku harus menghargai kebiasaan dan adat yang berlaku. *** Selepas adzan ashar, aku segera mandi. Tidak ingin bermepet-mepetan dengan waktu magrib yang katanya pamali untuk dipakai beraktivitas. Sementara itu, Muti, anak perempuan yang kemarin hari jatuh sudah kembali dari rumah sakit besar di kota. Aku mendengar kabar dari Nia, katanya anak perempuan itu harus menjalani operasi di kepalanya. “Separah itu?” Nia lagi-lagi mencomot kue teng-teng dari dalam toples plastik sambil mengangguk, mengiyakan pertanyaanku. Sekarang aku mengerti, mengapa anak perempuan itu menangis semalaman dan muntah-muntah. Aku juga paham, kenapa klinik di ujung kampung itu menolak menanganinya. Benar-benar serius. Sesuatu yang tak nampak dari luar rupanya lebih menakutkan. Seperti bom waktu yang siap meledak kapan pun. “Ceunah mah ada gumpalan darah di otak, atau apa ya tadi teh. Pokoknya begitu lah. Kudu di operasi,” ujar Nia lagi, memberi penjelasan padaku sementara tangannya masih sibuk mengambil Teng-Teng yang cepat sekali ia habiskan. Lihat kan, Nia benar-benar lambe turahnya kampung ini. Siang tadi ia masih bertanya padaku tentang kondisi anak perempuan itu, dan sekarang malah ganti aku yang seakan tidak tahu apa-apa. Nia lebih tau segalanya. Hanya dalam waktu yang singkat, ia bisa mengorek-ngorek informasi. Wajar saja, Nia kan memang orang asli sini, asli kampung ini, sudah jelas pasti banyak yang ia kenal yang bisa ia jadikan sebagai sumber informasi. “Terus kenapa mereka pulang? Katanya harus segera operasi?” Nia mengambilkan satu potong kue teng-teng dan mengacungkannya padaku. Mungkin, agar mulut ini sibuk mengunyah daripada sibuk bertanya segala macam hal. Tapi, mau bagaimana lagi? Suka atau tidak suka, hanya Nia yang bisa kuberondong dengan pertanyaan. Tidak mungkin, kan, aku bertanya pada Nyai? Iya kalau pertanyaannya dijawab. Sudah mengumpulkan nyali untuk bertanya, eh tahunya tidak dijawab. Malu iya, dongkol ya banget! “Makan ini dulu,” katanya lagi. Benar kan, dugaanku? Nia mencoba menyumpal mulutku dengan kue teng-teng itu agar aku berhenti bertanya ini dan itu. Untuk beberapa saat aku terdiam. Sampai akhirnya Nia kembali berbicara. “Kue teng-teng, tahu teu? Enak teh. Cobain dulu geura.” Sebenarnya aku sudah tahu kue ini. Ketika kecil, kami seringkali berkumpul di rumah nenek saat lebaran. Hanya saja, aku memang tidak begitu tertarik. Kue teng-teng selalu menghiasi meja tamu rumah nenek ketika kami datang. Biasanya, nenek membuat kue teng-teng sendiri. Tapi, semenjak nenek meninggal, tidak pernah terlihat lagi kue teng-teng menghiasi meja tamu saat lebaran tiba. Akhirnya, aku mengigit sedikit ujungnya. Kue yang terbuat dari beras, yang rasanya manis sedikit asam. Tidak buruk. “Enak, kan?” Aku mengangguk. Menggigit potongan yang kupegang lebih besar. Semakin ke sini, rasanya memang enak. Kenapa aku tidak mencobanya sejak dulu, ya? Aku tidak berpikir kalau aku akan menyukainya. Akhirnya, aku mengambil potongan yang kedua. Nia yang melihatku demikian, terkekeh geli. Kebiasaanku yang buruk, melihat enak atau tidaknya makanan hanya dari tampilan. Sama seperti peribahasa yang berbunyi, “Jangan melihat sesuatu hanya dari luarnya saja.” “Santai, Nyai masih punya banyak di gerobog,” katanya lagi begitu melihat aku yang makan kue teng-teng dengan lahap. Saat aku masih asyik dengan mulut yang dipenuhi kue teng-teng, Nia kembali bercerita. “Mereka pulang karena gak punya biaya, Gis. Kalau memang mereka menyanggupi, sudah pasti Muti tetap dirawat di sana, kan?” Aku melirik ke arah Nia, kemudian menjawab perkataannya setelah menelan kue teng-teng, “Emang gak punya kartu kesehatan ya, Nia? Yang dari pemerintah itu. Nia punya kan? Bukannya itu buat semua penduduk ya? Sekarang kan memang pemerintah menanggung warga dari program BPJS. Jaman sekarang, memangnya masih ada ya orang yang tak punya jaminan kesehatan? Nia menggelengkan kepala. “Gak punya. Tapi, katanya mah pak RT lagi ngusahain. Semoga aja bisa, biar bisa cepet-cepet dioperasi. Tau lah, pasti makan biaya yang besar buat operasi begini.” Aku mengangguk. Selain hanya mengaminkan doa Nia, aku tak tahu lagi bisa berbuat apa. Cukup prihatin hanya dengan melihat kondisi mereka dari sini. Muti, anak perempuan yang masih bersekolah di bangku SMP, sementara sang ibu hanya tukang gorengan keliling yang suka menjajakan dagangannya setiap pagi. Ayahnya telah lama meninggal dunia, bahkan saat Muti masih terbilang kecil usianya. Lelaki itu meninggalkan dua orang anak perempuan, yang satunya adalah Muti sementara satu yang lain adalah Ros yang kini ikut dengan kakak dari ibu mereka untuk dibiayai. Aku mendengar kisah hidup mereka dari Nia. Lambe turah itu memang seperti google nya kampung ini. Jadi, apapun yang ingin kuketahui, tinggal tanyakan saja padanya, maka ia akan bercerita sepanjang yang ia tahu. “Terus kenapa gak minta tolong sama saudara-saudaranya, Nia?” Lagi-lagi, pertanyaan keluar dari bibirku. Aku kembali bertanya. Mereka, Orang-orang yang mengenalku selewat selalu berkata bahwa aku adalah anak yang pendiam. Tapi, mereka tidak sepenuhnya benar. Aku cerewet dan selalu ingin banyak tahu. Meskipun hanya kepada orang-orang tertentu. “Mereka aja udah susah hidupnya, Gis. Gak bakal bisa bantu. Jadi ya pasrah weh ayeuna mah.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Memang apa lagi yang bisa mereka lakukan selain pasrah? “Oh, iya.” Aku ingat sesuatu. Hal yang ingin aku tanyakan pada Nia sejak tadi. Karena keasyikan makan kue teng-teng dan berbicara tentang biaya rumah sakit Muti, aku hampir lupa. “Kenapa?” Nia mengambil potongan kue teng-teng yang terakhir. “Kemaren kan Nia bilang kalau Nyai bacain sesuatu....” Ragu-ragu, akhirnya kuyakinkan diri untuk menanyakan hal ini padanya. Meskipun tak tahu nanti bagaimana reaksi Nia setelah mendengar hal ini. “Emang di sini masih ada yang begitu-begitu ya, Nia?” Mendengar pertanyaanku, Nia mengangkat sebelah alisnya, menatap dengan tatapan heran. “Begitu-begitu? Jampe maksudnya?” Dengan cepat aku mengangguk. Memang itu yang aku maksud. “Emang, bacaan apaan si yang disebutin sama Nyai? Nia bisa Jampe juga? Ajarin Agis, sih!” celetukku asal ceplos. Tepat setelah selesai aku berbicara, terdengar suara dari belakang kami. Suara yang datar, tapi selalu memiliki auranya sendiri. “Geura ampihkeun anak hayam, Nia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD