Nenek Sum

2364 Words
Beberapa hari sudah berlalu. Setelah banyak berbincang dengan mereka yang kini menjadi temanku juga, akhirnya aku memperoleh informasi kalau Kang Maman ini memang sudah berniat untuk melakukan bunuh diri sejak beberapa bulan yang lalu. Juga, seperti yang dikatakan oleh Rendi, pada akhirnya kami tahu apa penyebab dari kematian Kang Maman. Sebenarnya bukan penyebab, tapi faktor yang paling kuat, yang akhirnya membuat lelaki itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tepatnya pada kemarin sore, aku yang baru saja pulang dari pasar, bersama Nyai membeli beberapa kebutuhan dapur melintasi rumah yang disebut-sebut kalau itu adalah tempat tinggal Kang Maman. Terlihat memang di beranda depan ada beberapa televisi usang yang mungkin sedang ia betulkan. Terjajar begitu saja. Apalagi, sekarang yang membetulkan televisi itu sudah tiada. Sepertinya, televisi itu juga kelak akan menjadi bangkai. Rumah itu tampak sepi. Nenek yang sudah berumur itu kini tinggal seorang diri tanpa Kang Maman lagi. Ditambah, letak rumahnya yang paling depan sendiri, agak jauh dari pemukiman warga. Sebelum kami berjalan agak jauh, tepatnya ke warung kopi Bi Yam, tempat di mana biasanya ada beberapa tukang ojeg yang menunggu penumpang yang memang mau masuk ke perkampungan, Nyai mengajakku untuk mampir ke rumah Kang Maman itu. Dengan kue kering satu bal yang tadi kutenteng-tenteng, yang sejak tadi aku tak habis pikir apakah Nyai sanggup menghabiskan semuanya ini, rupanya memang bukan untuk dibawa pulang ke rumah, melainkan untuk diberikan pada nenek Sum, ibu dari Kang Maman yang sudah sepuh. Katanya, untuk bantu-bantu menyuguh di malam ke tujuh hari. Memang, meskipun Kang Maman meninggal bunuh diri, tahlilan atau pengajian itu tetap dilaksanakan selama tujuh hari. Sama seperti yang biasanya. Aku berdiri di belakang Nyai yang sudah berada tepat di depan pintu. Setelah mengetuk pintu kayu itu dia kali, Nyai mengucapkan salam dan menunggu nenek Sum untuk keluar dari dalam rumah. Setelah mengucapkan salam yang kedua kalinya, barulah, nenek sepuh itu keluar dari dalam sana. Sebenarnya belum begitu sepuh. Hanya saja, uban memang sudah menghiasi rambutnya. Ia juga lah yang memang menelahkan dirinya sebagai Nenek Sum. Jadilah kami, dan para penduduk sini memanggilnya dengan sebutan demikian. Kupikir, setelah berdiri dan menyodorkan kue kering itu, kami akan segera pergi dari sana. Rupanya tidak. Nyai duduk di beranda depan. Di sebuah bale bambu yang ukurannya cukup untuk empat orang. Sementara nenek Sum masuk ke dalam sebentar, menaruh kue kering yang kami berikan, lalu kembali ke luar dengan dua gelas teh di atas nampan. Untukku dan untuk Nyai. Aku yang tadinya hanya berdiri, sedikit menyender pada tiang, diberi kode oleh Nyai untuk turut duduk di sebelahnya. Ia menepuk bale bambu itu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hebatnya, aku seakan paham apa yang ingin Nyai ungkapkan. Jadilah, kami berbincang-bincang sore itu. Tidak, bukan kami. Nyai dan Nenek Sum. Aku hanya menyimak percakapan mereka saja. Nenek Sum mulai bercerita tentang almarhum Kang Maman yang kini sudah tiada. Sebenarnya, aku memang sedikit banyak mendengar tentang Kang Maman begitu berkumpul dengan anak-anak di bawah pohon mangga besar. Kami, yakni aku, Nia, Teh Kinar, Dita, juga Rendi, memang belakangan ini sering kali mengobrol dan bertukar cerita di bawah pohon mangga, terlebih setelah mendengar kabar tentang Kang Maman yang menghabiskan nyawanya sendiri di Kebon Tembang. Naas. Lelaki itu lebih memilih mati dibanding harus menjalani hidup menjadi orang dewasa yang kejam ini. Jika aku tahu kalau dunia akan kejam kepada orang dewasa, aku tidak akan berdoa pada Tuhan agar aku cepat tumbuh. Rasanya menjadi anak kecil tanpa beban pikiran lebih baik. Aku mulai menyimak perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut wanita tua itu. Itung-itung mengkonfirmasi bahwa kabar yang kami obrolkan beberapa hari ini bukan sekedar kabar burung atau cerita hoax. Toh, ini dari sumber yang terpercaya. Setelah ditemukannya surat wasiat di dalam kantung celana yang dipakai Kang Maman untuk bunuh diri hari itu, kami tiada hentinya menebak-nebak apa yang menjadi sebab akan keputusannya yang gila ini. Kang Maman sampai hati untuk meninggalkan orang tuanya seorang diri dan sudah sepuh. Sungguh, aku ingin tahu apa alasannya. Sementara itu, Rendi yang katanya ada di tempat kejadian juga tidak dapat melihat surat yang ditemukan di saku celana Kang Maman. Katanya, sudah lebih dulu diamankan polisi sebagai barang bukti. Polisi tidak ingin barang bukti itu rusak. Aku mengambil secangkir teh yang wanita tua itu suguhkan. Sementara Nyai yang terlihat tenang, mendengarkan cerita dari wanita tua itu dengan hikmat. Setelah mengetahui kabar kebenaran atas apa yang terjadi, aku akan memberi tahu teman-teman. Pasti. Tunggu saja dulu. Aku kan penyimak yang baik. Akan kubuktikan pada mereka kalau aku pun bisa menjadi seorang lambe turah seperti Nia. “Nenek tidak kepikiran kalau Maman teh sampai hati berbuat demikian. Nyeuri hate pisan, Nyai. Teungteungeun anak teh. Kuateun tega ninggalkeun.” Terakhir kali, wanita tua itu berkata ketika aku masih duduk di sebelah Nyai. Ia bilang kalau anak nya itu alias Kang Maman benar-benar tega meninggalkan ibunya yang tua renta. Ia merasa sakit hati. Sesekali, aku melirik ke kiri kanan, melihat situasi sekitar dan mulai menjelajahi tempat ini. Lebih sederhana dibanding rumah Nyai yang memang luas meskipun ornamennya kebanyakan dari bambu dan tidak terlihat semewah rumah rumah di kota. Nyai juga tidak banyak bicara. Sejak tadi, ia lebih banyak menganggukkan kepala, mendengarkan Nenek Sum yang terus bercerita sambil berurai air mata. Paling-paling hanya sesekali berkata ‘Enya' atau ‘Sing sabar.’ Lalu, setelah wanita tua itu mulai menutup mulut dan menyeka air mata yang jatuh di pipinya, barulah tangan Nyai meraih cangkir di atas nampan yang berisi teh, minuman yang di suguhkan oleh Nenek Sum tadi. Nyai terlihat menyesapnya sedikit, setelah itu, kami berpamitan pulang. Hari sepertinya sudah mulai berlalu. Rupanya, apa yang kami terka-terka kali itu benar. Tentang faktor yang mendorong Kang Maman menjadi begitu berani mengambil keputusan dalam keputusasaan setelah menyimak cerita panjang dari wanita tau itu. Hari ini, setelah aku kembali dari rumah itu bersama Nyai, Nia mulai memasang meja. Memberi tanda kepada anak-anak untuk segera berkumpul kembali. Benar saja, beberapa waktu berlalu, terlihat Rendi berjalan dari kejauhan. Ia menggendong tas ransel dan mulai tersenyum ke arahku begitu melihat aku dan Nia sudah duduk di bawah pohon mangga dengan sebotol air sirup berwarna merah yang terlihat begitu menyegarkan. Nia juga sudah menyiapkan makanan kering yang berbumbu agak pedas. Kalau ia bilang sih, namanya Kicimpring atau apalah itu, sulit sekali menyebutkannya. Yang jelas, aku menyukainya. Makanan ringan ini lagi-lagi jarang kutemui di kota. Rendi yang baru tiba itu langsung duduk di depan kami. Terlihat keringat di sisian dahinya. Aku yang melihat mimik wajah itu, seketika menyodorkan air sirup yang sudah kutuang ke dalam gelas. Ia pasti lelah berjalan kaki, entah dari mana. Tak lama setelahnya, dari ujung jalan yang lain, terlihat anak perempuan yang sepantar denganku, mengenakan gaun selutut berwarna biru dongker, dan berlari ke arah kami yang masih duduk di bawah pohon mangga. Si anak paling cerewet dengan poni yang tak tergantikan. Rasa-rasanya kalaupun angin bertiup kencang, poni itu tidak akan bergerak sama sekali. “Teh Kinar mana?” Ia bertanya tepat begitu tiba. Aku yang kebetulan beradu tatap dengannya mengangkat pundak. Tidak tahu. Begitu juga dengan Rendi yang menggelengkan kepala. Ia masih asyik mencomot kecimpring yang ada di toples. Sementara Nia yang baru saja meneguk segelas sirup, menyodorkan gelas kosong ke arah Dita yang baru saja tiba itu. Sudah seperti Mbok Mbok penjaga stand minuman. Hehe. “Kayanya sih, Teh Kinar enggak ke sini,” celetuk Nia, setelah Dita mengambil gelas kosong yang disodorkannya dan mulai menuangkan sirup berwarna merah itu. Kemudian, Dita duduk bersama kami. “Kenapa?” Dita kembali bertanya setelah meneguk sirup di gelasnya. Aku juga melemparkan tatapan ke arah Nia. Memiliki pertanyaan yang sama dan sepertinya Rendi juga demikian. Bagaimana Nia tahu kalau Teh Kinar tidak akan datang? “Kebetulan tadi udah kelihatan di ujung jalan sana.” Nia menunjuk ke arah dari mana Dita tiba. Di ujung jalan yang berlawanan dengan arah Rendi tiba. “Terus?” Tidak hanya Dita, aku dan Rendi pun turut melempar pandang ke arah yang dimaksud oleh Nia. Tapi, kami tidak menemukan Teh Kinar di sana. Kosong. Tidak ada siapa pun. Tak lama, seorang lelaki berdiri tepat di hadapan kami. Lelaki yang sebelumnya sudah pernah kulihat. Bertubuh tambun dan kulit sawo matang. Hari ini, ia memakai kaus berwarna merah maroon. Menyisir rambutnya sampai klimis. Ah, ini dia penyebab Teh Kinar lari tunggang langgang. “Punten, ada yang lihat Neng Kinar?” Rupanya, lelaki tambun itu lagi. Pantas saja Teh Kinar seketika menghilang. Jelas, ia sudah melihat lelaki bertubuh besar ini dari ujung jalan rupanya. Kupandangi dari atas sampai bawah. Wajahnya terlihat seram memang meskipun ia melemparkan senyum ke pada kami. Aku seketika melempar pandangku pada Rendi, kemudian ke Dita, terakhir ke Nia. Dengan maksud apakah di antara kami ada yang mau menjawab pertanyaannya. Dan pada akhirnya, dengan kepala yang sepertinya dapat terkoneksi satu sama lain tanpa harus berbicara, serempak kami berempat menggelengkan kepala. Setelah mendapatkan jawaban dari kami yang mengaku tidak tahu tentang keberadaan Teh Kinar, lelaki itu pergi. Melanjutkan perjalanannya ke arah di mana tadi Teh Kinar berlari. Sepertinya ia memang gigih sekali untuk mengejar-ngejar Teh Kinar padahal jelas-jelas perempuan itu tak mau. “Jadi itu alasan Teh Kinar balik lagi tadi?” celetukku begitu lelaki tambun itu sudah tak terlihat pandangan kami. Seketika Nia mengangguk. “Atuh tahu sendiri Teh Kinar teh sesebal apa sama dia.” Kami sependapat. Teh Kinar memang sepertinya sangat tidak menyukai lelaki itu. Kalau benar ia menyukainya, toh Teh Kinar tidak akan kabur seperti itu kan? Kutuang lagi sirup merah yang dingin itu ke dalam gelas. Meminumnya dengan cepat sampai tak bersisa. Rendi menatap ke arahku yang hampir saja jadi tersedak dibuatnya. Aku menatapnya balik. Mata kami beradu dan kulemparkan tatapan dengan sebelah alis yang kenaikan. Seolah-olah bertanya padanya, kenapa? “Katanya tadi kamu bertemu dengan Nenek Sum, Gis?” Ah, rupanya ke situ arah tatapan Rendi. Ia penasaran akan pembicaraan apa yang telah aku dengar dari wanita tua itu. Disusul dengan Dita dan Nia yang juga mendengar pertanyaan dari Rendi, mereka rupanya turut penasaran. Aku mengangguk cepat. Sebelumnya aku memang sedang membicarakan itu dan berniat untuk membicarakannya. Hanya saja, kedatangan lelaki bertubuh kekar tambun itu membuat pecah fokus kami. “Jadi gimana ceunah eta teh caritana?” Dita kali ini yang menodongku dengan pertanyaan. “Apa katanya penyebabnya?” Tidak seperti biasanya, Rendi yang biasa terlihat santai itu sepertinya memang sudah benar-benar penasaran. Lelaki itu bahkan melempariku pertanyaan dua kali, yang bahkan belum sempat kujawab sama sekali. “Iya, Agis tadi dari pasar sama Nyai. Terus taunya malah mampir ke rumah yang kemarin itu. Ada nenek-nenek tuh, yang katanya namanya Nenek Sum. Sendirian aja.” Mereka mulai pasang telinga. Akhirnya, setelah sekian lama menjadi seorang pendengar informasi dari mereka, gantian aku lah yang menjadi penutur informasi kali ini. Senang rasanya melihat wajah mereka yang begitu serius menyimak ceritaku. “Nenek Sum bilang beliau sakit hati banget sama Kang Maman. Katanya, kok tega banget, sih, Kang Maman itu ninggalin beliau yang udah tua renta.” Dita yang rasa penasarannya sudah di ujung tanduk, kemudian menyanggah ceritaku. “Terus kenapa ceunah Kang Maman teh bunuh diri?” Yang kemudian disusul oleh tawa dari semuanya. “Dita kayanya teh udah gak sabar banget, Gis!” celetuk Nia. “Atuh lagian ya, penasaran pisan Dita teh!” Aku tertawa. Sengaja, biar mereka tahu kalau aku pun merasakan hal yang sama ketika mereka bercerita dengan pengantar yang panjang seperti itu. “Sengaja ah, kalian juga kalau cerita kaya gitu. Kapan lagi kan, Agis bisa bales?” cibirku yang kemudian disus oleh bibir manyun milik Dita. Sejenak, kami tertawa sebelum akhirnya aku kembali melanjutkan ceritaku. “Ada yang tahu enggak kalau Kang Maman punya pacar?” Mereka bertiga saling lirik. Seolah bertanya satu sama lain. Kemudian setelahnya mereka menggelengkan kepala. “Emang punya, ya?” Dita malah balik bertanya. “Katanya, Kang Maman itu pengen nikah!” “Terus kenapa malah bunuh diri? Atuh tinggal ngalamar weh, hayang nikah mah!” Aku tidak salah. Dita memang benar-benar yang paling cerewet di antara kami. Bahkan melebihi cerewetku ke Nia akhir-akhir ini. “Itu yang jadi masalahnya.” “Calonnya belum ada?” celetuk Nia yang kemudian membuat gelak tawa di antara kami tak tertahankan lagi. “Hahaha, Nia kali!” “Terus kenapa atuh?” Aku melambaikan tangan, sebagai isyarat agar mereka mendekatkan wajah mereka. Akan kumulai sesi yang serius dari pertemuan kami hari ini. “Kang Maman katanya udah nyoba buat ngelamar. Tapi, ditolak mentah-mentah sama pihak keluarga perempuannya. Katanya, Kang Maman enggak sebanding sama mereka.” “Emang pacarnya teh orang kaya pisan?” Aku menggelengkan kepala. Tidak tahu. Aku tidak mendengar Nenek Sum mengatakan kalau kekasih dari anaknya itu orang kaya atau bukan. Aku hanya tahu kalau mereka menolak Kang Maman mentah-mentah. “Pokoknya Kang Maman ditolak dengan kata-kata yang bikin sakit hati. Itu juga Nenek Sum taunya dari teman Kang Maman yang kebetulan nganter Kang Maman ke rumah pacarnya itu. Nenek Sum cuma tau kalau Kang Maman teh sedang ada masalah, sudah itu aja.” Mereka bertiga mengangguk-anggukkan kepala. “Terus isi suratnya apa ceunah? Boleh baca meureun Nenek Sum mah?” Aku mengangguk. Nenek Sum bilang memang betul, beliau diperbolehkan untuk membaca surat dari anaknya itu. Surat terakhir yang menjadi tanda kalau Kang Maman benar-benar melakukan bunuh diri, atas kemauannya sendiri. “Ya intinya sih, Kang Maman minta maaf. Ngerasa enggak berguna aja gitu.” “Kasihan, ya. Tapi, kalau Kang Maman benar-benar dekat dengan Tuhan, rasanya tidak akan melakukan hal seperti itu,” ujar Rendi yang terdengar seperti google translate karena kata-katanya yang baku. Aku sedikit menahan tawa. Ia terdengar begitu lucu. “Tapi, ada yang aneh.” Seketika, Kata-kata yang keluar dari mulutku membuat mereka kembali serius mendengarkan. Mereka mengedip-kedipkan mata. Siap pasang telinga. Aku ingat betul, kemarin itu Nenek Sum mengatakan sesuatu. Seusai isi surat yang menuliskan kalimat tentang keputus asaan, Nenek Sum bilang, ada aksara lain yang tertulis di sudut kertas. Sebuah aksara yang katanya Nenek Sum pun tak tahu. “Ada kalimat lain di ujung kertas. Di pojok kanan. Tapi bukan aksara latin.” Seketika Nia menjawab, “Terus aksara apa itu teh, Gis?” Aku menggelengkan kepala. Tidak tahu. Kan aku juga tidak melihatnya. Hanya saja, Nenek Sum dan Nyai tahu jenis aksaranya itu apa. Aku sempat mendengar mereka berkata sesuatu. “Kalau tidak salah dengar, Nenek Sum dan Nyai nyebut Abugida.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD