BAB08

1385 Words
"Pak Jaxton." seru Mark. Jaxton hanya menatap ke Mark, seraya membawa kaki jenjangnya berjalan meninggalkan kantin. Dengan di ikuti asisten pribadinya, manik mata ketiga staff itu masih tidak berkedip hingga tubuh tegap sang atasan hilang di balik pintu masuk. "Mati gue! Dia dengar gak sih omongan kita tadi?" tanya Denada. "Dengar juga gak apa-apa. Kita kan gak jeleki dia juga. Sudah di makan itu, entar dingin loh." balas Mark dengan menyendokkan makanannya. "Lagian tuh, seorang atasan deman juga sama yang gratisan?" Denada sedikit bingung. "Bukan begitu! Pak Jaxton itu menyukai masakan rumahan. Meskipun, dia suka makan di restoran. Tidak pilih-pilih tempat, meskipun dia penjijik" balas Mar sambil ngunyah. "Oooo... sungguh tipe gue banget." balas Denada. Anastasia hanya membisu, dia lebih memilih untuk menikmati santapan makan siangnya. *** Jam kantor kembali sibuk, suara ketikan keyboard, printer, mesin foto copy, masih mengiringi area kubikel Anastasia dan yang lainnya. Sebelum jam pulang kantor tiba, Anastasia berusaha memenuhi permintaan Bu Rika agar dia tidak lembur. Anastasia bertugas sebagai Stockholder Relations (Hubungan dengan para pemegang saham). Karena Bu Rika meminta data laporan perkembangan dari para pemegang saham, dan juga perusahaan secara mendadak, Anastasia menyanggupi karana memang tugasnya. Anastasia tampak amat serius di depan komputer dan keyboardnya. "Nas, lo bakalan lembur gak?" tanya Mark. "Kayaknya sih Iya Mark, ini masih banyak juga yang terbengkalai. Belum pas aja kayaknya, masih banyak yang gue masukan ke data baru." balas Anastasia tanpa menoleh ke Mark. "Gue bakalan duluan ini. Gimana sama lo Nad?" tanya Mark ke Denada yang duduk di depannya. Mark bertugas sebagai pengelola kepegawaian atau karyawan. "Gue juga Mark, kayaknya sebentar lagi selesai. Jam pulang satu jam lagi kan? Terus Nanas gimana? Gak bawa mobil kan?" Denada mengubah pandangannya ke Mark dan juga Anastasia. "Gak apa-apa! Kalian berdua duluan aja. Gue masih banyak yang belum siap juga. Ini juga butuh cepat kan ya? Jadi gue gak bisa tinggali. Bu Rika besok pagi butuhnya." "Yakin lo gak apa-apa sendiri? Gue tunggui Nas." bujuk Denada. Anastasia membalas dengan senyuman. "Gak apa-apa Denada Sayang. Gue gak mau nyusahi kalian melulu. Gua tau kalian juga lelah. Sudah, cukup pulang aja. Gak usah tunggui gue, gue uda gedek loh." balas Anastasia becanda. "Baiklah Nanas ku Sayang." balas Denada. "Kalau uda sampai rumah kabari gue ya Nas?" Mark menimpali. "Iya Kak Mark." balas Anastasia dengan semburat senyum dari sudut bibirnya. Mark juga tersenyum memandang Anastasia. Meskipun umur mereka berbeda, kenyataannya lucu, kalau mereka bertiga bisa satu sekolah. Sedikit bercerita tentang mereka bertiga. Anastasia kecepatan sekolah di buat Mama tirinya, hanya saja karena kepintaran Anastasia dia mampu mengimbangi pelajaran yang harusnya belum di terimanya di usianya. Mempertemukannya dengan Mark saat Anas di pindahkan ke sekolah baru. Berbeda dengan Denada, karena sang Papa kembali di pindah tugaskan ke Jakarta. Dari Singapura ke Jakarta, membuatnya harus mengulang lagi. Mempertemukan dirinya dengan Mark dan Denada. * Pada kenyataannya, yang di harapkan Anastasia tidak sesuai. Dia benar-benar akan lembur. "Yakinkan Nas kami pulang?" tanya Denada memastikan lagi. "Iya gak apa-apa, palingan satu jam lagi gue balik juga." katanya dengan melambaikan tangannya. "Sok sibuk kali lo ya? Yang lain uda pada pulang, lo di sini mau goda-goda CEO baru kan? Karena tau beliau juga bakalan lembur!" sarkas Selly ke Anastasia. "Kenapa jadi lo yang sewot sih! Suka-suka dia, kerjaan-kerjaan dia juga. Kenapa lo yang kepo!" Denada membulatkan matanya sinis. "Dah agh Nad, lo buang-buang tenaga doang. Pulang aja sono, gak usah di tanggapi juga." Anastasia mencoba menenangkan Denada. "Habisnya sih! Pengen gue jambak itu giginya!" Denada mengangkat tangannya ke arah Selly. "Gue juga gak ngomong sama Lo nada cempreng! Lo pada jangan kecentilan dekat-dekat CEO. Dia itu milik gue seorang, yang lainnya lewat!" Selly berucap dengan angkuhnya. "Lo kelewat percaya diri dech Sel. Sudah gue bilang, gue yang cowok aja gak nafsu sama lo, apa lagi Pak Jaxton." saut Mark dengan segelas kopi di tangannya mendekati kubikel Anastasia. Selly mencebikkan bibirnya. Dia paling malas kalau berdebat dengan Mark. Ngeri-ngeri sedap. "Terserah lo! Gue cuma mau ingati teman lo aja. Agar jangan sok kecantikan!" ketus si Selly. "Lihat itu! Pak Jaxton menatap ke sini! Lo jangan buat keributan di bagian Humas ya Selai asam! Pergi lo sana, buat semak aja ya!" Denada semakin kesal sendiri. Benar saja, di sana Jaxton memandang ke arah mereka yang sedang berkumpul di kubikel Anastasia. Membuat rasa penasaran terbesit di pikirannya. Selly mau tidak mau meninggalkan Anastasia dan para sahabatnya dengan emosi yang masih tersulut, bersama orang-orang segeng si Selly, membuat Mark kelewat jijik sama wanita satu itu. "Uda gak usah di lihati lagi. Ini kopi buat lo, jangan sampai ketiduran di kantor. Lo jangan kemalaman pulang, karena lo anak cewek Nas. Kalau lo ada apa-apa, gue juga yang repot." Mark tersenyum dan mengusap puncak kepala Anastasia. "Bukan lo aja yang repot, gue juga kali Mark." Timpal Denada. "Iya... gue kan mewakili. Kalau ada apa-apa sama kalian berdua, gue gagal lindungi adik-adik gue. Ya sudahlah, kita duluan ya Nas. Lo yang semangatttt," Mark mengangkat keduanya dengan memberikan semangat untuk Anastasia. Anastasia melambaikan tangan kanannya ke arah Denada dan Mark yang tidak tegaan meninggalkannya sendiri. Setidaknya, Mark dan Denada merasa sedikit tenang, Jaxton sebagai atasan mereka masih berada di ruangannya. Lampu ruangannya masih terlihat menyala. Pertanda sang atasan juga lembur. Pukul 19:15, Anastasia masih berusaha terus menyelesaikan data laporan yang benar-benar penuh. Sesekali dia menyesap kopi yang di buatkan Mark untuknya. Sesekali juga dia meregangkan tangan dan kakinya. Benar-benar sangat melelahkan. Hingga beberapa menit kemudian dia mengakhiri kerjaannya. "Akhirnya selesai." ucap Anastasia senang. Dengan cepat Anastasia membereskan barang-barang yang ada di atas meja, mengembalikan ke tempatnya masing-masing. Cahaya dari komputer pun tak lama memudar. Anastaska mengambil tasnya yang ada di atas mejanya. Melilitkan tasnya ke atas pundak seraya mematikan lampu di meja kubikelnya dan bersiap untuk berjalan pulang menuju pintu lift. Sesampainya di depan lift, Anas mendengar samar-samar, suara sepatu mendekat ke arahnya. Dengan gerakan cepat, Anas memutar kepalanya ke arah belakang. "Pak Jaxton." serunya dengan pelan. Mata Jaxton menatap penuh selidik. Hingga posisinya menyamakan posisi Anas dan sejajar dengan tubuh Anas. "Kamu pikir saya hantu?" tanya Jaxton menekan tombol turun, tanpa menoleh ke arah Anas yang masih membulat menatapnya. "Bu-bukan seperti itu Pak. Saya pikir, saya sendirian di sini." balas Anas membuang pandangannya ke depan. Tingggggg... Jaxton tidak menjawab, lift khusus atasan itu duluan membuka. Kakinya pun melangkah tanpa sepata kata ke Anas. Anas melihat ke arah Jaxton yang menyentuh tombol penutup pintu. Sekilas Jaxton membalas pandangan Anas, hingga akhirnya pintu itu menutup. "Dingin sekali tatapannya." gumam Anas. Tingggg.... Pintu khsusus karyawan akhirnya sampai ke lantai 10. Tidak ada rasa ketakutan dalam diri Anas. Dia pun melangkah masuk dan menekan tombol 1 di mana Lobby berada. * Beberapa saat pintu lift terbuka, Jaxton kembali melangkah membawa tubuh kekarnya keluar dari dalam lift. Hampir saja kakinya sampai di depan pintu otomatis, tiba-tiba lampu perusahaan seketika itu pun padam. "Tuan Jaxton." suara Sekretaris pribadinya beranama Andrew, terdengar dari depan saat kedua manik mata Jaxton menatap lift di belakangnya. "Drew! Kenapa listrik sudah di padamkan?!" suara itu terdengar membentak. Dengan emosinya, Jaxton menarik kerah kemeja Andrew. "Karena pihak petugas keamanan mendapatkan info ,kalau anda sendiri yang lembur, Tuan Jax." balas Andrew bingung. "Cepat perintahkan kembali, nyalakan listrik perusahaan! Karyawan saya masih ada di dalam lift!" Teriak Jaxton melepas kerah baju Andrew dengan kasar, lalu dia berlari menuju lift. Sesaat Jaxton tiba di depan lift, seluruh penerang pun menyala. Tampak lift kembali menyala, dan di lihatnya lift itu berada di lantai 3. Jaxton dengan kasarnya menekan tombol turun hingga berkali-kali. Tinggggg.... Kedua pintu itu terbuka secara perlahan. Kedua manik mata di genangi air mata serta wajah yang memucat dengan peluh di dahi, tampak di depan Jaxton yang sempat berekspresi tidak sabaran menunggu mesin pengangkut itu terbuka. Anas yang berdiri dengan memegang erat pegangan lift, pun menatap Jaxton. Dengan kaki yang masih lemas, melepas genggaman tangannya dan mencoba untuk berjalan keluar. Secepat kilat Jaxton menarik tangan Anas dan membantunya untuk keluar dari sana. "Kau tidak apa-apa?" tanya Jaxton. Anas masih menangis, hingga dia berjongkok di hadapan Jaxton. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kembali lagi, Anastasia menangis sesunggukan. Tubuhnya gemetar, karena Anastasia memiliki trauma di masa kecilnya. Tidak bisa berada di tempat kegelapan tanpa penerang sedikitpun. Di ujung sana, tampak Andrew dan pihak keamanan menatap pada keduanya. Merasa takut akan kesalahan mereka. Tetapi bagi sekretaris pribadi Jaxton yang sudah bekerja dengannya selama 4 tahun belakangan itu, merasa kebingungan dengan atasannya. 'Sejak kapan Tuan Jaxton peduli sama wanita?' "Jangan menangis. Menangis juga gak ada gunanya! Itu sudah terjadi," kata Jaxton dengan datar. Buru-buru Anas mengusap air matanya. Di rasa kakinya sudah tidak lemas lagi, dia pun beranjak berdiri dan memberikan hormat ke Jaxton. "Saya permisi Pak. Terima kasih." balas Anas dan berjalan meninggalkan Jaxton yang masih berdiam. Anas melewati Andrew dan petugas keamanan lainnya. Memberikan penghormatan hingga berlalu keluar. "Kenapa dia tidak berubah?" Bersambung. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD