Tabiat Shinta

1589 Words
Satya masih termangu. Ia menyesap teh sambil melirik Kirana yang sedang membereskan peralatan makan dalam diam. Air muka wanita itu nampak tenang membuat Satya kesulitan menerka. Belum mendapatkan respon apapun, Selva kembali bersuara, memohon dengan sedikit merengek. "Boleh, ya, Pah? Kali ini … aja." "Yakin kali ini aja?" Belva menyahuti dengan mata yang tetap fokus pada benda pipih di tangannya. "Biasanya setelah 'kali ini aja' terbitlah 'lain kali lagi'. Yang namanya kali kan tambah banyak," lanjutnya menyindir. Selva melirik sinis disertai decakan kesal. Ia tidak suka dengan sikap Belva yang selalu protes setiap kali ibu mereka berkunjung ke rumah ini. Dia tidak mengerti kenapa saudara kembarnya itu sulit menerima kehadiran sang ibu kandung. "Kenapa nggak barbeque-an di rumah ibu aja?" Ini bukan pertanyaan, tetapi penolakan secara halus. Sayangnya, Selva tidak memahami itu. "Kalo di sini kan, rame Pah. Kalau di sana cuma bertiga." "Bertiga? Sama siapa?" Belva menoleh dan mengernyit bingung. Setahunya Shinta tinggal sendiri di rumah kontrakan. "Aku, kamu sama Ibu." "Kamu ngajak aku?" Belva menunjuk dirinya sendiri dan mendapatkan anggukan dari Selva. "Sorry nggak minat! Iga bakar buatan Mama lebih menggiurkan," jawabnya dengan sedikit angkuh. "Makanya Ibu ngajak barbeque-an di sini. Supaya Mama yang siapin bumbu sama bahan lainnya." Sesantai itu Selva berkata. Tidak sadar jika wanita yang berada persis di hadapannya tersentak, lalu menatap tak percaya. Kedua alis wanita itu nyaris bertaut. Bahkan, gerakan tangannya yang sedang mengambil piring kotor terhenti sejenak. Bukankah yang ingin mengadakan acara bakar-bakar itu Shinta? Lantas, kenapa dia yang harus sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Dahi Belva berkerut saat mendengar perkataan Selva.Tidak sadarkan saudaranya itu jika secara tidak langsung menganggap Kirana sebagai pembantu. Ini bukan kali pertama. Beberapa kali wanita yang berstatus ibu kandung mereka itu memasak di rumah ini, dan berakhir dengan Kirana dan Mbok Yah yang membereskan semuanya. "Jadi, ibu tinggal nikmatin aja, gitu? Trus, selesai barbeque-an Mama juga yang beresin kayak biasanya, iya? Enak banget. Kamu pikir Mama pembantu." ujar Belva semakin kesal. Sementara, Satya masih diam dengan punggung yang sudah ia sandarkan. Menatap kedua putrinya yang saat ini terlibat perdebatan. Ia memejamkan mata dan memijat pangkal hidungnya untuk meredam rasa nyeri yang tiba-tiba saja menyerang kepala. Ia harus segera menemukan cara untuk membatalkan acara yang akan dibuat Selva dan Shinta. Ia tidak mungkin membiarkan sang istri kelelahan. Setelah kelahiran Galen, kesibukan Kirana semakin bertambah karena wanita itu benar-benar mengurus segalanya sendiri. Baby sitter yang mereka pekerjaan hanya bertugas menjaga Galen saat wanita itu sedang sibuk di dapur. Urusan makan, mandi serta mengganti popok, Kirana tetap melakukannya sendiri. "Gimana kalau kita makan malam di luar aja." Satya menawarkan opsi lain. "Kita kan udah lama nggak makan malam di luar." "Tapi lebih seru bakar-bakar di rumah, Pa. Kaya acara tahun baru tempat Oma waktu itu," tolak Selva dengan nada manja. "Boleh ya, Pa. Kali ini aja." Ketiga wanita yang ada di meja itu menatap sang kepala keluarga dengan sorot berbeda. Selva menatap penuh permohonan, Belva mentapa waspada dan siap melayangkan protes, sementara Kirana menyorot pasrah. Ia seperti sudah bisa menebak kata-kata apa yang akan keluar dari mulut si pria beranak tiga itu. Satya membuang napas berat sebelum akhirnya mengangguk. "Oke." Selva bersorak senang sedangkan, Belva menatap tak setuju. Baru saja akan membuka mulut untuk menolak keputusan itu, sang papa sudah lebih dulu bersuara. "Tapi jangan repotkan Mama! Siapkan segala sesuatunya sendiri dan selesai acara kamu juga yang harus membereskannya,” tandas Satya yang membuat sebelah sudut bibir Belva terangkat. "Tapi, Pa–" "Kamu sudah beranjak dewasa, Sel. Harus belajar mandiri. Belajar bertanggung jawab untuk hal yang kamu buat. Jangan terus-terusan bergantung sama Mama. Kamu bisa minta bantu Mbok Yah," lanjut Satya menyela kalimat Selva, lalu beranjak dari tempat duduknya. Disusul dengan Kirana yang melangkah ke dapur dengan membawa piring-piring kotor. Selva memutar badan, mengikuti arah langkah sang papa. “Pah … Papah,” serunya memanggil Satya hingga tubuh tegap pria yang menaiki tangga itu tak terlihat lagi. Kemudian, ia kembali ke posisi semula dengan bibir yang mencebik. “Kan ada Ibu. Suruh Ibu lah yang buat bumbu. Jangan Mama terus.” Belva menambahi. “Yang mau bikin acara siapa, yang repot siapa,” ujarnya sambil berlalu meninggalkan Selva yang wajahnya semakin ditekuk. Selva yang tinggal sendiri hanya bisa mengembuskan nafas kesal. Wajahnya yang semula semringah berubah cemberut setelah mendengar keputusan Satya. Lalu, seulas senyum kembali terukir di wajahnya saat melihat Kirana yang baru keluar dari dapur. “Mah,” panggilnya menghentikan langkah Kirana yang akan menghampiri Galen. “Iya.” “Nanti buatin bumbunya, ya. Yang pedas sama manis,” pintanya. Kirana tidak terlalu memperhatikan ucapan Selva karena sedang beradu pandang dengan seseorang yang sedang berdiri di tengah tangga dengan mata melotot sambil menggeleng. “Mama.” Kirana tersentak saat Selva menggoyangkan tangannya. “Eh, maaf-maaf Mama nggak denger lagi fokus ke Galen. Kamu ngomong apa tadi?” tanya Kirana sedikit gelagapan. “Buatin bumbu sama siapin bahan lainnya, ya. Plisss.” Gadis itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan d**a dengan tatapan memelas. Kirana melirik sejenak pada sosok yang masih berdiri di tempatnya, sebelum menjawab, “Maaf, Ya. Bukan Mama nggak mau. Tapi hari ini Mama harus ngecek laporan klinik, terus mau meeting sama Om Umay.” Tidak sepenuhnya bohong. Kirana memang harus mengecek laporan dari beberapa cabang klinik dan apotek milik keluarga Nugraha. Namun, itu tidak memakan waktu lama karena ia semalam ia sudah mengerjakan separuhnya. “Maaf, ya.” Kirana membelai rambut Selva sebelum berlalu mengikuti langkah seseorang yang baru saja kembali ke lantai dua. Sesampainya di kamar, Kirana langsung menghampiri pria yang berdiri di depan meja rias dan sedang memakai jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Ia ingin protes dengan keputusan Satya. Ia memang kesal karena kerap direpotkan dengan berbagai permintaan Selva dan Shinta, tetapi dia tidak tega melihat wajah sedih gadis itu. “Mas, ken—” “Nggak usah protes, Sayang. Biarkan Selva belajar mandiri. Selama ini kamu terlalu manjain dia,” ujar Satya memotong kalimat istrinya yang berdiri beberapa langkah darinya. Kirana selalu berusaha memenuhi semua permintaan si kembar, membantu dalam hal apapun meskipun dirinya sedang lelah. “Terus terang aja, Mas sebenarnya risih kalau Shinta yang ke sini. Eh, sekarang malah izin mau nginap.” Kirana mengernyit bingung. Memperhatikan Satya yang sedang merapikan tatanan rambutnya. “Kenapa? Harusnya Mas senang anak-anak bisa dekat sama ibunya,” ujar Kirana yang tak sesuai dengan hatinya. Sama seperti sang suami, ia pun mulai risih dengan kehadiran Shinta. Namun, melihat Selva yang terlihat nyaman dengan wanita tersebut, Kirana mengabaikan perasaan tak sukanya. Bukan cemburu, hanya saja wanita itu seringkali bertindak semaunya di rumah ini. “Bukan anak-anak, cuma Selva yang dekat sama dia. Tau sendiri kan gimana sikap Belva ke Shinta.” Kirana mengangguk. Gadis tomboy itu memang terlihat masih enggan berdekatan dengan ibu kandungnya. Satya mengikis jarak dan membawa tubuh sang istri ke dalam dekapannya. “Mas nggak suka sama sikap Shinta yang sering merepotkan kamu. Dia ngajakin bikin sesuatu, tapi cuma kamu yang kerja. Sedangkan dia sibuk bercerita sama main Hp,” papar satya sambil membawa tubuh Kirana bergoyang ke kiri dan kanan. “Cuma Mas yang boleh bikin kamu kecapean dan keringetan, Sayang.” Sontak saja kalimat tersebut langsung mendapat hadiah cubitan dari Kirana. “Dasar m***m. sebelas dua belas sama Ibas.” Satya terkekeh dan mengeratkan dekapannya hingga dua set kembar milik Kirana menekan bagian bawah dadanya. “Empuk, Yang,” cicitnya sambil menggesek-gesekkan pusat tubuhnya yang mulai mengeras. “Quickie, yuk.” Mata Kirana yang semula terpejam menikmati hangatnya dekapan sang suami, langsung terbuka lebar. Ia gegas mendorong kuat d**a bidang pria itu untuk melepaskan diri. “Nggak! Sudah jam tujuh lewat. Pergi kerja, sana!” “Bentar aja, Yang. Lima menit kelar. Mau, ya,” bujuk Satya kembali mendekat. “Nggak!” “Main di waktu yang terbatas itu nikmatnya berkali-kali lipat, loh. Mas jamin, kamu pasti ketagihan.” “Nggak salah, tuh! Yang ada kalau aku turuti, besok-besok Mas minta lagi.” “Ayolah! Janji nggak minta terus. Seminggu dua kali aja. Mau, ya? Kasihan nih, si Tole udah bangun.” “Nggak! Sekali nggak, tetap nggak. Mas nyolo aja sana.” Kirana gegas keluar kamar menyelamatkan diri sebelum Satya menariknya ke tempat tidur atau kamar mandi. *** “Gimana, Sel? Kita jadikan barbeque-an?” Sesuai kesepakatan, hari ini Shinta yang menjemput anak-anaknya. Ralat hanya Selva karena Belva selalu punya seribu alasan untuk menolak ajakan pulang bersamanya. “Emm … jadi. Tapi kata Papa kita harus buat bumbu dan nyiapin semuanya sendiri.” “Loh, memangnya Mama Kirana ke mana?” tanyanya, menoleh sejenak ke arah sang putri. “Mama lagi ngecek laporan klinik. Trus ada meeting online sama editornya,” jawabnya lesu. “Tapi, ada Mbok Yah yang bantuin kita.” Shinta berdecak, lalu menggerutu. Wajahnya yang semula bersemangat terlihat kesal. Padahal dia berencana akan memanfaatkan kesibukan Kirana untuk mendekati sang mantan suami yang tidak pernah mau berbicara dengannya. Jika Kirana tidak membantu mereka, sudah pasti Satya tidak akan menampakkan diri. Pria itu akan lebih memilih menemani Galen di kamar. Selva yang samar-samar mendengar gerutuan Shinta pun menoleh. Lantas bertanya, “Ibu kenapa? Kesel gara-gara Mama nggak bisa bantu.” “Oh, nggak, kok, Sayang.” Shinta gelagapan. Iya melihat ke arah Selva dan jalanan secara bergantian. “Emm … itu, emm .., Ibu lagi coba ingat-ingat bumbu oles untuk kita bakar-bakar nanti,” kilahnya membuat Selva ber-oh ria. Shinta menatap sejenak gadis yang duduk di sampingnya. “Sial! Rencanaku gagal lagi,” batinnya. Tangan kanannya bertumpu pada pinggiran kaca, ia menggigiti kuku ibu jarinya sembari memikirkan cara agar bisa mengobrol dengan sang mantan suami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD