EX FIANCE | 2

1256 Words
    Kejadian di tangga darurat masih berputar-putar di dalam kepalanya. Adelia mendadak kesal. Seharusnya dia sadar perusahaan itu milik keluarga Levine. Seharusnya reaksi Adelia tidak seperti ini. Tidak ada yang tidak mungkin. Aiden adalah anak pertama dari keluarga itu. Aiden sejak awal sudah disiapkan untuk terjun menjadi pimpinan perusahaan. Adelia seharusnya memikirkan ini sebelum dia menandatangani kontrak kerja beberapa minggu yang lalu. Adelia yang malang.     “Gue udah bilang. Lo pasti ketemu dia lagi,” suara Stephani Johson benar-benar terdengar mengejek Adelia.     “Kalau sudah begini, gue harus apa?” Adelia menjatuhkan dirinya di sofa. Wajahnya benar-benar terlihat gusar.     “Udah nanggung. Tinggal nyelam aja sekalian. Toh, lo sama dia udah lama berakhir. Palingan itu laki udah punya buntut.”     Adelia memilih memejamkan matanya. Bayangan-bayangan menyakitkan bersama pria itu kembali menari-nari dalam benaknya. Mereka benar-benar berakhir dengan buruk di masa lalu. Adelia yang pergi dan Aiden yang memilih bungkam.     Pertemuan mereka kembali terjadi tadi sore. Di tangga darurat perusahaan Levine group. Aiden menatapnya dengan senyum ramah. Adelia tahu delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Mereka sama-sama telah berubah dan memiliki jalan hidup yang berbeda. Namun, Adelia tidak habis pikir jika perubahan Aiden akan sangat dratis seperti tadi sore.     “Mba Whalen ya?” Duarrr. Seolah tersambar petir di siang bolong Adelia hanya bisa melongo tidak percaya menatap kearah Aiden. Benarkah orang di hadapannya ini Aiden Narendra Levine? Mantan tunangannya? Dan apa katanya tadi? Mbak Whalen? Astaga! Adelia merasa ingin mengundurkan diri saja dari perusahaan ini. Adelia berpikir Aiden akan memanggilnya dengan embel-embel miss atau mrs  tadi karena nama itu memang lebih cocok di awali dengan kata itu namun apa yang terjadi Aiden dengan seenaknya menggunakan awalan mbak.     Adelia mengusap wajahnya kasar. Seharusnya Adelia bersikap lebih tenang. Kejadian yang dia saksikan di lobi sudah menjawab semuanya. Orang seperti Aiden tidak akan butuh waktu lama untuk melupakan orang sepertinya. Bahkan Aiden sudah bersiap lebih dulu. Selingkuh dengan sahabat Adelia sendiri dan sekarang dua orang itu jelas sudah bahagia. Adelia yang bodoh. Di sini hanya Adelia yang terluka. Tidak dengan dua orang yang kini sudah hidup bahagia.     “Kenapa lo nggak bilang?” tanya Adelia.     Stephani tersenyum sinis menatap teman satu apartemennya dan sialnya gadis keras kepala itu adalah sepupunya.     “Lo yang ngotot buat kembali ke sini ya, Del. Dari awal gue sama Daniel udah nanya sama lo berkali-kali, lo yakin mau tanda tangan kontrak itu dan lo dengan nggak ada otaknya langsung tanda tangan kontrak itu bahkan tanpa lo baca. Jadi sekarang nikmati hari lo bekerja di perusahaan sekaligus meratapi nasib mantan tunangan lo yang udah hidup bahagia sama selingkuhannya,” ucap Stephani tanpa perasaaan. “Dan sebenarnya tanpa bekerja pun hidup lo sudah terjamin sampai mati, harta warisan Lucas banyak, Del. Banyak! Peusahaannya aja masih berjaya di sana. Lo benar-benar bego!” seru Stephani. Adelia meringis lalu menatap sepupunya dengan galak.     “Percuma ngomong sama lo,” ucap Adelia lalu beranjak dari sofa menuju kamar. Dia belum sempat membersihkan diri sejak pulang dari tempat Gym.     Ngomong-ngomong tempat Gym, Adelia menyukai tempat itu. Tempatnya hanya berjarak beberapa gedung dari kantornya. Tempat itu juga nyaman. Ruth, pemilik tempat itu juga ramah. Pria blasteran Jerman itu mengajak Adelia berkeliling dan mengenalkan ruang-ruang yang ada di sana.     Dan tempat yang akan jadi favorit Adelia tentu saja kafetaria yang ada di sana. Menu di kafetaria itu benar-benar sehat. Adelia tidak akan pusing lagi mencari makanan sehat yang di butuhkan tubuhnya.     “Besok gue ke Bandung sama Daniel,” ucap Stephani. Perempuan berambut pirang itu sudah siap dengan piyama tidurnya.     “Secepat itu?” tanya Adelia.     “Kita seumuran Del kalau lo lupa. Gue udah terlalu lama meminta Daniel menunggu. Gue nggak akan menunda lagi. Besok Daniel ngajak gue ketemu keluarganya di Bandung untuk ngomongin acara lamaran,” ucap Stephani.     Adelia terdiam. Gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut terhenti. Tatapannya berubah sendu. Matanya tertuju pada figura besar yang langsung dia pajang saat sampai di Apartemen ini. Adelia benar-benar merindukan sosok yang sedang mencium bibirnya saat mereka melakukan foto preweding tiga tahun yang lalu.     “Oke,” jawab Adelia seadanya. Adelia tidak tahu harus melakukan apalagi. Mengingat moment sakral yang mengharu biru membuatnya ingin kembali ke masa itu. Semua benar-benar terasa sempurna. Melabuhkan hati di hati orang yang tepat. Mencintai orang sepenuh hati dan di balas dengan cinta yang lebih sempurna. Lucas Whalen berhasil membuat Adelia merasakan semua itu.     “Semoga lancar. Lo harus langsung pulang ke sini setelah acaranya selesai,” ucap Adelia dengan senyum tulusnya. “Gue nggak mau kesepian Step,” lajutnya.     Stephani memilih turun dari tempat tidur lalu memeluk leher Adelia dari belakang. Stephani tidak pernah tega melihat Adelia seperti ini. Dia lebih menyukai Adelia yang keras kepala dan Adelia yang dengan mudahnya memaki seseorang.     “Gue akan cepet pulang. Lo harus ingat niat lo kembali ke sini untuk apa,” ucap Stephani mengingatkan. Adelia tersenyum lembut.     “Bawel lo, Pirang!” seru Adelia memaksa Stephani melepas pelukannya. Namun sialnya pelukan itu justru mengerat. Adelia memilih menggigit tangan Stephani dan membuat si pirang itu terpekik kesakitan. Adelia hanya terkekeh pelan mendengar makian Stephani. Dia memilih beranjak menuju kasur untuk mengistirahatkan diri.     Esok Adelia membutuh banyak tenaga untuk memulai hari yang sebenarnya. ***     Aiden melangkah santai memasuki tempat yang hampir tiap malam ia kunjungi. Kebisingan langsung menyambutnya. Dentuman musik keras, orang-orang yang berlalu lalang dan orang yang asik b******u di pojok ruangan yang tampak remang-remang.     “Selamat malam, tuan Levine,” sapa seorang bartender di balik meja bar terdengar sangat mengejek. Aidan melemparkan senyum sinisnya membuat Alexander tertawa kencang.     “Kayak biasa,” ucap Aiden duduk di seberang meja yang melingkar panjang itu. Alexander langsung mengangguk dan melangkah membuat pesanan Aidan. Hanya butuh beberapa menit Alexander sudah menyajikan beberapa gelas minuman di hadapan Aiden.     “Sekarang apa lagi?” tanya Alexander. Dia menatap sahabat semasa kuliahnya itu sedang tatapan malas.     “Gue ketemu seseorang tadi,” jawab Aiden setelah meneguk gelas pertama minumannya. Pria 29 tahun itu sudah jauh dari kata rapih. Tidak ada lagi jas, tidak ada lagi dasi yang mencekik leher yang tersisa hanyalah kemeja putih lusuh yang lengannya di gulung sampai siku dan rambut acak-acakkan. Namun sialnya Aiden Narendra Levine justru terlihat semakin menggoda. Bahkan sudah banyak gadis berpakaian seksi berusaha menggodanya namun sepertinya Aiden tidak tertarik untuk main-main malam ini.     “Gita?” tanya Alex. Sejauh ini hanya Gita perempuan yang di perlakukan Aiden begitu spesial. Sejak hari itu. Sejak hari dimana Aiden harus merelakan semuanya. Hanya seorang Anggita Plasmana yang di izinkan Aiden menyentuh hatinya. Hanya wanita berdarah biru itu yang bebas memerintah Aiden tanpa adanya penolakan. Alex merasa kadang Aiden hanya di manfaatkan saja atas kondisinya yang sekarang.     “Benar, tadi Gita memang datang ke kantor sore hari. Tapi bukan dia yang gue maksud. Gue ketemu cewek aneh yang datang ke kantor gue pake pakaian fitness lengkap tanpa malu,” ucap Aiden. Tiba-tiba wajah manajer keuangan yang baru di perusahaannya memenuhi kepalanya. Aiden lagi-lagi meneguk habis minumannya.     “Terus ini yang ngebuat lo datang ke sini?” tanya Alex sambil menggeleng tidak percaya. “Bahkan lo keliatan lagi nggak mau main,” lanjut Alex. Biasanya Aiden datang ke sini untuk mencari mangsanya. Menyeret wanita keranjangnya lalu menghabiskan malam panjang di sana sampai dia benar-benar merasa puas.     Aiden memilih bungkam. Pusing mulai menyerangnya. Dengan langkah gontai Aiden keluar dari club itu. Mengabaikan teriakan Alex. Aiden hanya butuh tidur. Wajah itu benar-benar mengganggunya. Setiap berusaha mengingat, Aidan merasanya kepalanya semakin berputar.     Aiden menjatuhkan kepalanya ke setir mobil. Dia menggeram kesal dan memukul kepalanya beberapa kali.     “Adelia Whalen. Kenapa kamu ganggu pikiran  saya?”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD