1. Satu

1104 Words
Tatapan mengintimidasi itu menganggu, juga irama yang Bu Yana ciptakan oleh jarinya di atas permukaan meja lebih-lebih dari mengganggu. Aran tidak biasa dengan situasi macam ini, merasa dihakimi meski belum ada kata yang keluar dari guru Bahasa Indonesia itu. Tapi bagaimana pun dia paham situasi, setelah menjadi bahan tertawaan teman sekelasnya saat Bu Yana keluar kelas tadi, tidak ada yang bisa membuat Aran lebih mengerti bahwa jawabannya di detik-detik terakhir bel pulang sekolah adalah kesalahan fatal yang semakin menegaskan bahwa dirinya tidak memperhatikan kelas sama sekali. Aran meringis ketika dia meninggalkan kursinya untuk memenuhi panggilan Bu Yana ke ruangannya, suara tawa yang diselingi ejekan itu mengiri langkahnya yang terlampau berat. Sebagai murid teladan dengan segudang hal yang bisa dia banggakan, baru kali ini dia merasa menjadi sosok yang memalukan, terlebih penyebabnya adalah dirinya sendiri. Dan tidak cukup dengan itu, hukuman yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya selama masa sekolahnya yang damai sudah menunggu tepat di depan mata. "Ada masalah di rumah? Atau dengan teman-temanmu?" kalimat tanya itu yang akhirnya keluar dari Bu Yana, alih-alih omelan yang Aran kira akan dia dengar untuk pertama kali. "Eh?" "Tidak biasanya kamu melamun selama itu, Aran. Saya sering memergoki kamu melamun, tapi itu hanya berlangsung sebentar karena kamu akan segera kembali memperhatikan kelas. Tapi hari ini kamu sudah melampaui batas, materi yang saya bicarakan agaknya sama sekali tidak masuk. Bahkan mungkin kamu lupa bahwa mata pelajaran yang saya pegang adalah Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Inggris." Suara Bu Yana terdengar tegas, tidak ada cela untuk Aran membela diri. "Maaf, Bu." Bu Yana menunggu, menunggu Aran untuk menjelaskan situasinya agar dia bisa mengerti tindakan muridnya itu. Alasan entah apa yang biasa dikarang anak seumuran mereka untuk keluar dari masalah atau hukuman yang menunggu. Tapi kalimat selanjutnya yang Bu Yana tunggu itu tidak juga terucap. Tidak ada pembelaan, tidak ada penjelasan atau alasan tidak masuk akal seperti yang biasa dia dengar dari murid-muridnya yang lain. "Hanya itu?" "Eh?" Helaan napas terdengar, dan itu milik Bu Yana yang paham benar dengan ekspresi wajah murid kesayangannya. Aran benar-benar terlihat tidak tahu harus mengatakan apa lagi, karena mungkin yang gadis itu tahu dia salah, dan tidak ada alasan yang bisa dibenarkan ketika kesalahan itu sudah terjadi. Lantas? "Kumpulkan lima puluh puisi dan kategorikan jenisnya. Serahkan pada saya besok sebelum jam pelajaran di mulai." Tanpa perlu dipertanyakan Aran tahu itu adalah hukumannya, setelah paham dan mengucapkan maaf sekali lagi gadis itu menunduk sedikit, mohon diri dari hadapan Bu Yana yang memandang punggung Aran hingga hilang di balik pintu. Begitu keluar dari ruang guru Aran menghela napas, mulai bergumam betapa bodoh dirinya hingga melakukan kesalahan yang memalukan macam itu. Pelajaran yang hari ini dia dapat, sepandai-pandai dirinya dalam memecahkan semua pertanyaan, kalau dasarnya otaknya belum menangkap pertanyaan yang dimaksud, maka jawaban bodoh lah yang akan keluar. Masih dengan mode menyalahkan diri, Aran meninggalkan ruang guru dan menyusuri lorong kembali ke kelasnya untuk membereskan peralatan sekolahnya yang masih berantakan di meja. Tanpa dia sadari ada seseorang yang menatapnya dengan tatapan bingung begitu melihatnya keluar dari ruang guru dengan wajah kusut. *** Langkahnya lesu, kepalanya tertunduk, kedua tangannya erat mencengkram tali ransel yang menggantung di pundak. Matanya hanya fokus pada ujung sepatu yang sibuk menemukan krikil di jalanan yang dia lewati, lantas ketika menemukan yang tepat berada di ujung sepatunya tanpa ragu dia menyepak krikil itu sekuat tenaga. "Heh, anak kecil!" Panggilan itu ditujukan untuk Aran yang langsung mendengus kala mendengarnya, apalagi dia tahu jelas siapa pelakunya, karena hanya orang itu yang memanggilnya dengan cara kuno seperti itu di saat usia mereka jelas-jelas hanya terpaut setahun. Aran menghentakkan kaki, terpaksa berhenti dan menoleh, karena dia tahu orang itu akan terus memanggilnya sebelum diladeni. Dengan sepeda yang sedang dituntun, orang itu—tetangga sekaligus kakak kelasnya yang super kurang kerjaan menghampirinya, memperlihatkan deretan giginya yang rapih dan putih, membentuk sebuah senyum kotak yang konyol. Siapa lagi yang bisa tersenyum dengan cara konyol seperti itu selain Alvaro Nadhitama. "Tendang-tendang kerikil gitu, kalau kena kepala orang mau di panggil ke ruang guru lagi?" "Kok—" "Gue tadi lihat lo keluar dari ruang guru sambil masang muka kusut. Pasti abis diomelin ya? Atau dapet hukuman? Akhirnya murid teladan kita kena hukuman juga!" Varo bersorak senang. "Sial." "Heh, nggak boleh ngumpat! Anak kecil itu bahasanya harus baik, gue laporin Tante Anna baru tahu rasa." "Sadar diri please, umur gue sama lo itu cuma beda setahun." Lagi-lagi senyuman kotak itu, pemandangan yang paling tidak ingin Aran lihat untuk saat ini, membuat suasana hati semakin buruk saja. "Naik, gue tahu lo lagi nggak enak hati. Ditambah kalau desek-desekkan di angkot sama orang-orang bau ketek pasti bikin lo makin emosi nanti." Yang Aran tahu Varo memang tetangganya yang menyebalkan, usil, tidak pandang bulu kalau menggoda orang, tidak peduli orang itu akan menangis atau tidak, akan sakit hati atau tidak. Pemuda itu hanya tahu bagaimana menyenangkan dirinya, bagaimana dia bahagia dengan apa yang dia lakukan. Mungkin dengan kata lain dia cuek, persis seperti Aran, tapi tentu dalam kategori yang berbeda. Tapi ada satu hal yang membuat Aran tidak bisa menghindar atau menjauh dari tetangganya ini, terlepas dari hubungan keluarga mereka yang memang baik dan akan sangat aneh jika keduanya tidak dekat, secara personal Varo adalah orang yang peduli, salah satu orang yang mengerti dirinya di balik ketidakpeduliannya terhadap orang lain. Hubungan mereka itu bukan hanya sekedar bertetangga, atau hubungan formal macam kakak dan adik kelas, tapi sudah merambat seperti sebuah keluarga. Yah, setidaknya Aran menganggapnya begitu. "Kebanyakan mikir, awas aja kalau lo dateng ke rumah sambil ngegerutu." Varo sudah bersiap mengayuh sepedanya, saat Aran buru-buru menghentikan Varo dengan mencengkram pundak pemuda itu kencang. "Jangan pakai jurus jujitsu!" "Hem, gimana kalau kita pemanasan dulu?" Untuk yang pertama di hari itu Aran mengeluarkan seringai jahil, ekspresi yang hanya akan dia tunjukan pada orang-orang terdekatnya. "Nggak! Leher gue hampir patah gara-gara latihan sama lo kemaren!" Aran tertawa, tetap melingkarkan sebelah lengannya di leher Varo yang berusaha lepas dari jurus kuncian itu. "Aran lepas! Nanti gue mati! Gue belum pernah pacaran, please!" jerit Varo sambil menepuk-nepuk lengan gadis itu yang melingkar di lehernya. Sementara Aran masih asik tertawa, sebelum melepaskan kuncian itu agar sepeda yang dikendarai Varo segera melaju. "Penampilan sih boleh cewek, tapi kalau sifat bar-bar lo ini lo tunjukkin di depan cowok-cowok yang naksir lo, gue yakin mereka akan mundur teratur." Sepeda Varo melewati beberapa siswa yang menyingkir memberinya jalan, lantas melintasi gerbang dan melaju di jalan raya. "Bagus, jadi gue nggak harus susah-susah menghindar, kan?" Aran tersenyum tipis, kalimat itu hanya serupa gumaman hingga Varo harus menoleh untuk memastikan pendengarannya, "Hah?" "Lihat ke depan!" Aran memutar kepala Varo agar kembali melihat jalanan yang ada di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD