3. Tiga

1383 Words
Bukan tanpa alasan Aran melamun, bukan tanpa alasan mengapa akhir-akhir ini begitu banyak yang gadis itu pikirkan hingga berbuntut pada hukuman yang dia terima. Sebenarnya Aran tidak ingin menjadikannya sebuah alasan, hanya saja sedikit banyak hal itu memang mulai menyita keingintahuannya, tentang sesuatu yang selama ini dia abaikan, tentang pemahaman yang sebelumnya tidak ingin Aran mengerti. "Kak El..." Panggil Aran setelah menekan bel rumah itu untuk yang ketiga kali. Aran berjinjit berusaha melongok melalui jendela untuk melihat keadaan rumah. Sepi, apa tetangganya ini memang tidak ada di rumah? Tapi, lampu di ruang tamu mereka menyala. Lagi pula, sejak kapan rumah tetangganya ini bisa benar-benar kosong selain saat liburan panjang? Dan seingat Aran, tidak ada satu pun anggota keluarga Syahreza yang merencanakan liburan dalam waktu dekat ini. Baru saja bibir Aran akan bergerak untuk kembali memanggil seseorang yang dia ingin temui, niatannya itu dihentikan sosok yang sudah lebih dulu muncul setelah membuka pintu yang sejak tadi bergeming. "Eh, Aran..." "Malam, Tante Zia." "Malam. Maaf lama ya nunggunya? Tadi Tante lagi di kamar Nigi. Ayo masuk." Digiring Tante Zia yang menyambut dengan senyum lebar, Aran melangkah masuk ke dalam rumah itu. Memang sepi, beda sekali kesannya dengan beberapa tahun lalu, ketika dirinya masing sering main ke rumah itu. Entah karena waktu yang telah mengubahnya, atau keadaan yang membuatnya begitu. "Eng... Kak El-nya ada, Tante?" "Ah, kamu cari El? Ada. Mau Tante yang panggilin atau kamu naik temuin sendiri? El juga ada di kamar Nigi." "Aran temuin sendiri aja deh Tante. Nggak apa-apa, kan?" Tante Zia terkekeh. "Boleh dong, Sayang. Gih sana. Tante tinggal ke dapur dulu ya, mau bikinin bubur buat Nigi." Belum sempat Aran bertanya, Tante Zia sudah lebih dulu berbalik dan meninggalkannya. Sebenarnya sejak tadi ada satu hal yang mengganjal, pertanyaannya yang semula tidak begitu kuat untuk dia tanyakan, tapi saat mendengar kalimat terakhir dari Tante Zia tadi justru mengubah haluan pertanyaannya menjadi cukup layak ditanyakan. Menggeleng dari diamnya, Aran melangkah menaiki tangga, menuju kamar salah satu anak kembar yang disebutkan Tante Zia tadi. Toh keingintahuannya akan terjawab begitu dia melihat sendiri objek jadi sumber pertanyaannya tadi. Aran mengetuk pintu bercat putih gading di hadapannya, "Aran masuk ya..." gumam gadis itu pelan sebelum membuka pintu dan seseorang di dalam sana mengijinkannya masuk. Yang Aran lihat untuk pertama kali adalah seseorang yang duduk di tepi tempat tidur. Orang itu kini balas menatapnya, lantas seulas senyum tipis terbit seraya tubuh itu bangkit dari sana. Senyum Aran hampir terukir sebelum matanya menangkap sosok yang kini terbaring lemah di ranjang kamar itu. Begitu mendekatinya, yang Aran bisa lihat hanya wajah pucat dan tak berdaya. "Kak Gi nggak apa-apa?" Pertanyaan basa-basi. Aran tahu hal itu, tapi seolah tidak ada pertanyaan lain yang layak untuk dia tanyakan hingga hanya kalimat itu yang akhirnya keluar. "Over jaga—lagi," sambung orang yang kini berdiri di samping ranjang saudari kembarnya. Fokusnya kembali mengarah ke sana. Keheningan di antara mereka tidak bisa dihindari, hal itu selalu terjadi jika topik dan objek yang sama menjadi bahan pembicaraan mereka. Sebab kejadian macam ini bukan yang pertama, melainkan sudah berulang kali terjadi. Aran terlanjur tenggelam dengan pikirannya yang masih mengarah pada sosok Nigi yang kini berbaring, seolah lupa dengan tujuannya datang ke rumah itu. Melirik gadis di sampingnya, Noel—yang perlahan memperlihatkan senyumnya lagi—memberikan kesempatan pada Aran untuk terbang bersama benaknya, sebelum menariknya kembali setelah dirasa cukup untuk gadis itu mencerna situasi. "Jadi, kamu ke sini mau ketemu Gigi atau Kakak? Kayaknya yang kamu teriakin di luar tadi nama Kakak deh, bukan Nigi." Benang kusut yang bergerak imajiner di kepala Aran lenyap begitu suara lembut Noel menerobos masuk indra pendengarnya. "Ah! Itu... Aku mau pinjem buku kumpulan puisi, Kak El punya?" Kening El berkerut samar. "Tadi aku udah tanya Kak Zillo, tapi Kakak nggak punya, dan Kakak bilang mungkin Kak El punya karena selera bacaan Kak El kan memang... cenderung klasik," jelas Aran sedikit meringis mendengar kalimat seadanya yang meluncur begitu saja. Melihat kerutan di dahi Noel yang perlahan mengendur, tanpa sadar cengiran menyebalkan yang biasanya selalu mengusik pandangannya kini justru terlihat di wajah Aran sendiri. Cengiran kotak yang biasanya terlihat hanya dari sosok menyebalkan Varo, pemuda yang tentu saja mereka kenal dengan sangat baik. Sayangnya, senyuman yang mengingatkan Noel pada tetangga di samping rumahnya itu tidak memberikan efek yang baik untuk Noel. Mungkin kalimat yang mengatakan bahwa "sikap seseorang cenderung meniru orang yang bergaul baik dengannya" bukan gagasan menyenangkan yang meracuni kepalanya saat ini. "Kak El?" "Ya?" Noel tersentak dari pikirannya sendiri. "Ah ya, kayaknya ada. Sebentar Kakak cari dulu, mungkin agak lama karena Kakak lupa taruh di mana." Noel menggaruk kepalanya yang tidak gatal, beranjak dari tempatnya berdiri. Mata Aran mengekor kepergian Noel bahkan setelah pemuda itu hilang di balik pintu. Suara gelisah Nigi dalam tidurnya yang kemudian menarik perhatian Aran kembali. Kerutan di dahi Nigi tercipta begitu dalam, bulir peluh sebesar biji jagung perlahan membasahi. Aran duduk di tepi ranjang, mengganti genggaman telapak tangan Nigi yang mencengkram selimut begitu erat. Gadis itu menepuk-nepuk punggung tangan Nigi dengan sebelah tangannya yang bebas, berusaha memberikan ketenangan agar Nigi kembali pada tidur tenangnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, kegelisahan Nigi di alam bawah sadarnya semakin menjadi, entah apa yang mahasiswi kedokteran tingkat akhir itu mimpikan hingga— "HAH!" Nigi terduduk, dengan tubuh yang sudah basah bukan kepalang. Wajahnya pias, napasnya memburu, tatapannya kosong, hingga sesuatu yang bergejolak dalam perutnya mulai menjalar menuju tenggorokan dan memaksa Nigi bangkit dari tempat tidur dengan tangan menutup mulut berlari menuju kamar mandi yang masih satu lingkup dengan kamar pribadinya. Aran berlari, mengikuti Nigi yang sudah masuk ke dalam kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya di wastafel. Air keran yang mengalir menjadi satu-satunya suara pengiring di tengah suara Nigi yang mendominasi. Tidak ada yang bisa Aran lakukan selain menepuk-nepuk punggung gadis itu, hingga dia tenang dan merasa lebih baik untuk meninggalkan wastafel dan kembali ke tempat tidurnya. "Mau aku ambilin sesuatu? Teh atau minyak angin, mungkin?" Nigi belum sempat bersuara ketika suara Noel lebih dulu terdengar memenuhi kamar saudari kembarnya itu. "Ran, cuma ketemu satu. Kakak nggak tahu sisanya ditaruh di mana, kalau kamu—" ucapan Noel terhenti ketika melihat Aran yang memapah Nigi hingga duduk di tepi tempat tidurnya. "Kenapa?" "Kak Gi muntah." Langkah cepat membawa Noel tiba di hadapan Nigi dalam sekejap, pemuda itu sudah bersimpuh bertumpukan lutut di tepi ranjang dan berhadapan dengan adiknya itu. "Are you okay? Butuh sesuatu? Atau mau gue panggilin Papi?" "I'm okay, El... Nggak perlu bikin Papi yang lagi lembur di rumah sakit khawatir cuma karena hal ini. Dan kalau lo lupa, gue yang calon dokter di sini. Gue tahu apa yang harus gue lakuin." Nigi menyingkirkan telapak tangan Noel yang bertengger di dahinya sejak pria itu ada di hadapannya. Noel menatap tajam, beradu pandang dengan sepasang mata Nigi yang berpendar lemah. Noel tahu tidak ada maksud buruk dari kalimat Nigi untuknya, kembarannya itu hanya ingin membuat Noel tenang dengan sedikit mencampurkan candaan yang sayangnya tidak sukses membuat Noel merasa lega. "Kalau lo memang tahu apa yang harus lo lakuin sama badan lo sendiri, lo nggak akan berkali-kali kayak gini cuma karena over jaga di rumah sakit. Lo lebih tahu dari siapa pun kalau masa internship memang berat, jadi lo harusnya juga tahu kalau sepelein nutrisi yang masuk ke badan lo itu bisa berakibat fatal." Nigi memalingkan wajahnya lebih dulu, menghindari tatapan Noel yang terlalu menuntut padanya. Pria itu menghela napas, berdiri. "Gue ambilin teh anget, dan setelah itu lo harus pastiin makan bubur buatan Mami sampai habis." Meninggalkan Nigi yang masih bungkam, Noel kembali menghilang dari kamar itu menuju dapur, seolah lupa dengan keberadaan Aran yang juga masih ada di sana. Diam-diam Aran yang mengamati interaksi kedua saudara kembar itu dan menahan napas sejak tadi menghembuskannya perlahan, melirik buku kumpulan puisi yang tergeletak di lantai tida jauh dari kaki Nigi. Sepertinya buku itu terlupa begitu saja saat Noel berlutut di hadapan Nigi tadi. Dan sebelum umurnya semakin berkurang karena terlalu lama di kamar yang terasa mulai mencekam itu, Aran memberanikan diri bersuara, "Em... Kak Gi, kalau gitu Aran pulang dulu ya." Menyambar buku puisi itu dengan gerakan cepat, Aran menunjukannya pada Nigi yang kini balas menatapnya. "Buku yang mau Aran pinjem dari Kak El," jelas Aran tanpa diminta. Lima detik yang terasa lama, dan Aran bersyukur karena Nigi hanya mengangguk setelahnya. "Selamat istirahat, Kak. Cepet sembuh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD