Bab 1

1121 Words
Ada baiknya kita terus waspada dari pada mengelus d**a dengan sisa-sisa air mata. Sudah hampir setengah jam Wahid mendapatkan tontonan gratis karena aksi-aksi romantis yang ditunjukkan Nada dan Agam. Kedua orang itu seakan tidak merasa bila ada sosok laki-laki kesepian di antara mereka. "Duh, kan ribet pakai heels," keluh Nada. "Kan mas bilang pakai sendal biasa saja," sambut Agam. Bibir Wahid seketika mencibir, melihat perlakuan Agam ke Nada. Sahabatnya itu dengan mudah berlutut di hadapan Nada, sambil menggantikan alas kaki istrinya. Dalam hati Wahid berpikir, dulu saat dia masih berpacaran dengan Farah kegiatan mereka tidak se-lebay ini. Apa memang seperti itu kelakuan orang yang telah menikah? Tetapi rasanya tidak juga. Ia pun bisa melihat ayah ibunya di rumah, semua biasa-biasa saja. Kalau pun romantis masih sewajarnya. Tidak seperti pasangan di hadapannya ini. "Hei ... hei, sudah belum? Kita udah telat nih," ucap Wahid. "Duh, maaf ya, Bang. Maklum bawaannya berat," kekeh Nada sambil mengusap-usap perutnya yang sudah begitu besar hingga Wahid yakin sebentar lagi akan ada sesuatu yang keluar dari sana. "Ah ribet banget pakaian lo, Nad. Udah gendut jangan pakai beginian," sembur Wahid mengomentari baju Nada. Tangannya malah sengaja mengibar-ngibarkan helaian gaun yang Nada pakai. "Gue juga bilang gitu. Tapi lo tahu sendiri kan, Hid. Sepupu lo ini paling pinter ngeyel," sambut Agam. "Kan biar cantik di moment spesial ini," tawa Nada sambil berjalan lebih dulu meninggalkan Agam dan Wahid. "Yang sabar, Gam. Si Nada lagi hamil. Jangan dibuat baper lagi." Agam terkekeh sebentar, dia membalasnya sambil menepuk bahu Wahid. "Lo yang banyak-banyakin sabar, Hid. Masa lo doang yang belum nikah di antara kita semua. Gimana sih lo? Percuma ganteng tapi enggak berani ajak perempuan ke penghulu. Ganteng lo nggak berguna," ledek Agam sambil berlari meninggalkan Wahid sendiri. "Awas lo, Gam. Bisa-bisanya ngeledekin gue. Urus tuh si Nada."   ***   Saat di ballroom tempat di adakannya acara wisuda tahun ini, Wahid sengaja berdiri agak jauh dari Nada dan Agam. Dia memerhatikan keadaan di mana semua wajah mahasiswa nampak bahagia. Apalagi kebahagiaan itu lengkap bersama keluarga dan para sahabatnya. Semua itu mengingatkan Wahid pada masa lalu. Waktu kelulusannya bersama para sahabat, serta ayah ibu yang mendampinginya. Semuanya bahagia, apalagi pernah terjadi masa kelam antara dirinya dan para sahabat malah menjadikan ikatan persaudaraan mereka semakin kuat. Hingga kini persahabatan mereka berakhir menjadi saudara, seiman dan sehijrah bersama. Namun ketika ia masih mengenang masa-masa indah itu, seketika kening Wahid berkerut dalam. Saat-saat pikirannya mengenang akan masa lalu, mengapa ada wajah familiar yang ia lihat di sekitar Nada. Tetapi Wahid tidak yakin mengenalnya. "AAAAHHHHH ... AKHIRNYA GUE LULUS. LIHAT, KAN? SIAPA BILANG EMAK-EMAK HAMIL ENGGAK BISA JADI SARJANA.” Nada berbangga diri kepada seseorang yang ada di antara dirinya dan Agam. "Uhh ... gitu aja bangga. Awas, jangan loncat-loncat. Angker gue lihatnya." "Tenang aja. Gue emak-emak kuat kok. Iya kan, Mas Agam?" tanya Nada pada sosok suami yang selalu ada di sampingnya. Karena merasa tidak mendapatkan jawaban siapa sosok itu sebenarnya, Wahid mencoba mendekati mereka. Berdiri di sisi Nada satunya sambil memerhatikan sosok itu dari atas hingga bawah. Lalu ternyata... "Gila ... gue berasa kena tipu," gumam Wahid tiba-tiba. Sontak semuanya melihat ke arah Wahid terutama sosok yang tadi sempat Wahid komentari. "Oh ada Bang Wahid. Duh, lama enggak jumpa. Makin tinggi aja sampai susah dipanjat hatinya," tawa manis gadis yang kini sudah merubah tampilannya. "Ciee, ketemu lagi sama Bang Wahid, Ki." Nada menggodanya dengan senggolan di bahu. "Iya, Nad. Berasa bang Toyib dia. Enggak pulang-pulang. Betah kali kau di Jerman, Bang." Wahid mencibir dalam. Dia pikir tadi siapa berpenampilan rapi yang sedikit banyak mencuri perhatiannya. Ternyata itu adalah Kiki. Sahabat Nada yang dulu sempat dekat dengannya. Ia akui tampilan Kiki memang sudah jauh berubah. Tetapi kelakuannya masih tidak bisa dijaga. Tidak berbeda jauh dengan Nada, sepupunya. Memang Wahid ketahui, menutup aurat adalah kewajiban. Namun menjaga sikap juga sebuah keharusan. Percuma saja tubuhnya tertutup, namun perkataan tidak bisa dijaga. Ibarat sedang melakukan lomba lari tetapi hanya dalam mimpi. Semua percuma dan sia-sia. Bahkan garis finish pun tidak akan pernah diraihnya. Begitulah kurang lebih perumpamaan yang Wahid sematkan untuk perempuan yang sedang berhijrah seperti Kiki. "Ih, bengong aja. Kirain Nada bercanda ada Bang Wahid. Ternyata bener." Tawa Kiki sama seperti sebelum-sebelumnya. Terlihat ceria tetapi Wahid tahu semua itu penuh dengan luka di dalamnya. "Kok lo enggak wisuda juga?" tanya Wahid nampak merasa aneh. Kiki memerhatikan dari atas sampai ke bawah tampilannya. Kemudian dia mendongak, menatap wajah Wahid di depannya. "Gue udah lulus kali, Bang. Kan Nada sempat cuti setahun waktu itu." "Oh gitu," ucap Wahid mulai mengerti. Tiga tahun tidak berada di Indonesia membuatnya banyak tertinggal informasi. Lalu kegiatan apa yang dilakukan Kiki saat ini? "Terus sekarang, lo sibuk apa?" jeda Wahid sejenak. Mencoba mencari tahu dari tampilan Kiki. Takut-takut dia bertanya hal pribadi, yang tahu-tahunya sebuah cincin menjawab segalanya. Biasanya perempuan seperti itu. Lama tidak bertemu. Tahu-tahunya sudah menikah, bahkan memiliki buntut yang tidak pernah terlihat kapan hamilnya. "Gue sibuk jadi Kiki. Kalau jadi orang lain susah," gelinya sendiri. "Untuk kerjaan masih cari-cari, Bang. Waktu itu sempat kerja di pemerintahan. Tapi enggak betah. Bukan gue banget. Masa sarjana ikan kerjanya di pemerintahan, enggak pas gitu loh." "Terus apa yang lo banget?" tanya Wahid menyelidik. Dia melipat kedua tangannya di d**a sambil menatap Kiki yang tingginya hanya sebatas dadanya. "Main-main sama ikan. Kan gue anak perikanan." "Main sama ikan?" "Iya. Contohnya, masak ikan di dapur yang kebetulan ikannya hasil tambak sendiri. Terus hasil masakannya di makan sama lo," jelas Kiki mencoba menggoda Wahid. "Lo mau masak buat gue? Boleh juga tuh. Kapan bisanya? Gue doyan ikan. Nanti coba lo belajar sama ibu gue bumbu ikan yang paling gue suka," usul Wahid tiba-tiba. "Ehh ... ehh ... kok belum apa-apa udah ketemu Ibu mertua?" ucap Kiki panik. Sontak Wahid tertawa, mengalihkan tatapannya karena merasa geli memandang wajah polos Kiki. "Enggak usah mikir macem-macem, Ki. Mikir satu macem tentang diri lo sendiri aja dulu. Baru mikirin hal lainnya," nasihat Wahid tepat sasaran. "Yuk, masuk. Si Nada sama Agam udah masuk duluan tuh," ajaknya. Tanpa bermaksud kurang ajar, lagi-lagi hati Kiki merasa sakit. Ternyata waktu tidak bisa menghapus apapun. Dia masih begitu mengharapkan laki-laki itu tanpa tahu diri sedikitpun. "Ayo," ajak Wahid sambil menghentikan langkah kakinya. Kiki di tempatnya sibuk menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih kencang. Wahid hanya mengajaknya masuk ke dalam ruangan. Bukan mengajaknya menikah. Tapi entah kenapa efek di jantungnya luar biasa. Membuat perasaan di perutnya tidak karuan. Dari dulu dia tidak mau berharap. Dari dulu dia sadar akan kemampuan dirinya. Tetapi bila Tuhan menuliskan takdir lain yang nyatanya membuat dia bahagia, dia tidak mampu untuk menolaknya. "Tunggu Kiki, Bang," sambut Kiki dengan senyuman. Mereka berjalan bersisian tanpa sama-sama berani mengartikan kejadian bahagia ini untuk mereka masing-masing. ----- Continue  Hayooo.. Berapa orang yang udah punya bukunya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD