Bab 3

1099 Words
Tak perlu selalu saling menyapa jika setiap saat namamu selalu kujaga dalam doa. Lagi dan lagi Wahid terjebak dalam situasi tidak menyenangkan. Menjemput dua kakak sepupunya di bandara beserta keluarga kecil mereka, cukup berhasil membuat perasaan Wahid kacau balau. Apalagi salah satu perempuan yang kini ada dalam mobil tersebut adalah sosok yang pernah mengisi hari-harinya dulu. Namun kini semua sudah berubah. Dalam pelukan perempuan itu ada seorang bayi perempuan mungil yang usianya baru menginjak 2 tahun. "Uhh, Sayang. Jangan nangis dong." "Eh ... ehh ... kok anak Daddy nangis. Takut ya lihat om jones lagi nyetir di depan," sahut Shaka dengan mulutnya yang kurang ajar. "Hust. Dy. Enggak boleh gitu. Wahid enggak jones kok. Cuma belum laku aja," ucap Rara yang tidak ada bedanya. Di samping Rara, Farah hanya bisa diam. Menimang-nimang putri kecilnya yang masih tertidur pulas dalam pelukannya. "Jadi lo balik hari ini, Hid? Eggak bareng kita aja besok?" tanya Syafiq. Wahid bukan bermaksud tidak sopan kepada Syafiq karena tidak menjawab pertanyaannya, namun moodnya mendadak hancur hanya karena mendengar ocehan Shaka yang sama sekali tidak berbobot. "Jangan karena kita ada di sini lo malah balik," sambung Syafiq mencoba mengerti. "Kita hidup untuk masa depan, Hid. Bukan masa lalu. Gue yakin lo masih ada rasa enggak nyaman. Tapi sampai kapan? Sampai gue punya anak lagi?" "Bukan gitu, Bang. Besok gue ada kerjaan di Jakarta." "Kerjaan apa? Ngurusin hati lo yang enggak bisa move on?" sahut Shaka cepat. "Capek kali, Hid. Kalau lo terus turutin perasaan lo, gimana mau hidup tenang. Lo enggak kasihan sama Shafa? Dia itu keponakan lo. Dia enggak tahu urusan lo sama emaknya. Masa sampai usia segede ini, lo belum pernah gendong dia." Dari kaca spion bagian tengah mobil tersebut, Wahid melotot tajam ke arah Shaka yang kebetulan duduk di kursi paling belakang. Selalu saja Shaka yang berhasil memancing amarah orang-orang di sekitarnya. "Gue yakin si Wahid butuh pawang. Angker juga tatapannya." "Udah ... udah ... kalian ini enggak pernah berubah," seru Rara menengahi mereka semua. "Inget udah pada punya anak. Enggak usah macem-macem." "Butuh variasi biar enggak bosen, Mom," ucap Shaka pada Rara. "Pikiranmu itu lo. Yang enggak pernah bisa diubah." "Untung cuma pikiran. Bukan hatinya. Kayak si Wahid sama...." "SHAKAAAAA...." Teriak Syafiq dan Wahid bersamaan. "Ops, enggak lagi-lagi."   ***   "Kejutaaaaannnn," teriak semuanya secara bersamaan. Para sepupu yang tadi Wahid jemput di bandara, langsung berteriak kencang ketika sampai di kontrakan tempat Nada tinggal. Bahkan semuanya seolah lupa dengan barang-barang yang mereka bawa. Hingga Wahid lah yang mengalah menurunkan semuanya dari mobil lalu diangkut ke dalam sana. "Gue bantu ya, Bang," ucap Kiki yang entah muncul dari mana. "Lagi badmood ya?" "Kalau lo begini sebenernya gue enggak mau deket-deket. Tapi karena gue anaknya baik, rajin menabung dan tidak sombong, jadinya gue ikut bantu deh," cengirnya ketika Wahid menatapnya malas. "Cemburu ya, Bang? Pengen punya anak juga?" pancing Kiki. "Mulut lo enggak bisa diam ya?" "Bisa sih diam. Tapi percuma dong Tuhan ciptakan ini kalau enggak berguna." "Berguna? Disebut berguna itu kalau dipakai untuk yang bermanfaat. Bukan malah untuk gosipin orang? Atau ngomong sesuatu yang enggak bermanfaat." "Masa sih enggak bermanfaat? Perasan gue tadi cuma tanya lo cemburu apa enggak lihat mereka pada punya anak. Emang kurang ya manfaatnya?" tanya Kiki dengan bibir yang dimanyun-manyunkan. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk Kiki yang sering kali membuat Wahid jengkel. Bergaya kekanak-kanakan. Padahal umur Kiki sudah tidak anak-anak lagi. "Sekarang gue tanya, murottal lo udah sampai mana?" "Tuh kan. Yang ditanya murottal mulu. Emang Islam cuma murottal doang ya yang penting?" tanya Kiki dengan kepala sedikit mendongak. Menatap ke arah wajah Wahid yang jauh berada di atasnya. "Ya, enggak sih," jawab Wahid kebingungan. "Kalau enggak, kenapa murottal terus yang menjadi patokan? Hal lain kan banyak. Misalkan, sudah berapa banyak hal yang dilakukan untuk menyenangkan orang lain. Gitu. Kadang nih ya, Bang. Kalau hati kita senang, kita bisa menularkan ke orang lain. Bisa juga semakin lancar ibadahnya. Kan yang gue tahu lo juga sedang menjadi lebih baik. Bahasa bekennya, hijrah. Jadi enggak ada salahnya gue berbagi kebahagiaan yang gue punya supaya lo bisa senang ibadahnya. Gitu," tutup Kiki dengan ekspresi meyakinkan. "Tumben pinter." "Biasanya juga pinter." "Masa? Kok gue enggak tahu?" Kiki tersenyum penuh arti. Dia memerhatikan Wahid yang sedang mengangkut satu koper besar di kedua tangannya. Ide jahilnya mulai muncul. Rasa-rasanya menggoda Wahid dipagi secerah ini tidak masalah. "Bang," panggil Kiki. "Iya," gerakan Wahid berjalan terhenti karena dihadang oleh Kiki di depannya. "Kenapa?" "Kalau lo mau tahu gue pinter apa enggak. Makanya lo perhatiin gue juga. Dijamin enggak nyesel," tawa Kiki penuh arti. Tak ingin membalasnya Wahid hanya menggelengkan kepala, melewati tubuh Kiki yang ada di depannya tanpa suara. "Lagi-lagi dicuekin."   ***   "Serius lo mau balik sekarang?" tanya Agam mendekati Wahid yang memisahkan diri dari sepupu-sepupu lainnya. "Iya. Besok pagi gue ada kerjaan," jawabnya sambil memandang jauh langit siang itu yang mulai menghitam karena awan gelap. Seketika Agam menarik napas dalam. Menepuk bahu Wahid mencoba memahami sahabatnya itu yang sedang bergelut dengan perasaan di hatinya sendiri. "Gue enggak tahu harus ngomong apa ke lo, Hid. Tapi, sabar. Disaat lo ngerasa hidup enggak adil, nyatanya Tuhan lagi menguji lo. Seberapa sering lo mengeluh atas perasaan tak mendasar lo. Yang gue tahu dan semua yang pernah gue alami, ujian itu mendewasakan gue. Semakin gue merasa ketidak adilan dalam hidup, semakin gue bersyukur kalau Tuhan masih cinta sama gue. Karena gue sadar, Hid. Orang yang masa lalunya kelam kayak gue dapat perhatian dari Tuhan itu adalah sebuah moment bahagia." ucap Agam masih setia berdiri di samping Wahid. Mendengar kata-kata Agam, kedua sudut bibir Wahid terangkat tinggi. Kepalanya menunduk dengan tarikan napas dalam. "Lo benar, Gam. Bukan cuma gue yang punya masa lalu. Banyak contohnya. Dan harusnya gue belajar dari kalian semua kalau gue bisa berjuang." Agam ikut tersenyum, merangkul bahu Wahid yang ada di sampingnya. "Kita berjuang sama-sama, sahabat." "No. Kita berjuang sama-sama, brother," ucap Wahid dengan lirikan ke arah Agam. Keduanya kompak tersenyum lebar sambil menatap keindahan langit yang tak selamanya menampilkan warna cerah. Namun bukan berarti hitam membuat langit menjadi buruk. Justru dari hitamnya langit, membuat manusia seharusnya sadar bahwa ada berkah dari kegelapan. Seperti hujan bagi langit. Dan seperti cinta bagi setiap manusia. "Weleh ... weleh ... bukannya pada makan. Makan dulu sana," ucap Shaka yang baru muncul dari dalam. "Ayo," ajak Agam kepada Wahid. "Lo duluan." "Bareng aja. Biar lebih enak makannya." "Tapi gue—" "Alah, mau makan aja pakai acara siapa yang duluan. Bareng aja kali. Tapi jangan lupa baca doa, Hid. Biar enggak keinget mantan waktu makan berdua dulu, Hid." Kriikk ... kriikk ... Lagi dan lagi Shaka memang kurang ajar!! ------ Continue Lanjut kah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD