2. Tak Lagi Sama

2173 Words
Suasana di ruangan ini benar-benar canggung. Jantungku rasanya tidak bisa berhenti berdetak cepat. Tanganku terasa basah karena berkeringat. Aku bahkan sampai meremas blazerku berkali-kali untuk meredakan rasa gugup. Aku berani bersumpah, aku tidak tahu sama sekali kalau Mas Al sudah pindah tempat mengajar. Dulu saat pertama kali dia menjadi dosen, dia tidak mengajar di universitas ini. Dulu dia mengajar di universitas swasta yang belum terlalu besar. Aku masih ingat dia terlihat begitu bahagia ketika diberi tahu kalau dia diterima. Saat itu dia sampai memelukku karena saking senangnya. Pelukan itu berujung kikuk karena sebelumnya kami tidak terlalu sering kontak fisik. Dan sekarang, tahu-tahu dia sudah diangkat menjadi sekretaris jurusan di universitas ini, yakni universitas yang notabene jauh lebih besar dari universitas tempat dia mengajar dulu. Apa saja yang dia alami selama hampir empat tahun ini sampai-sampai kenaikannya cukup drastis? Selain itu, apa Ayahnya sudah benar-benar mengizinkannya menjadi dosen? Dulu Mas Al pernah cerita kalau Ayahnya tidak begitu suka dia menjadi dosen. Mengenai alasannya, tentu saja karena Mas Al digadang menjadi penerus usaha keluarga. Ayahnya ingin Mas Al fokus, tetapi saat itu dia merasa masih terlalu muda kalau harus berkecimpung di perusahaan. Dia masih ingin mengejar mimpinya sendiri. Saat itu aku sangat mendukungnya. Mas Al itu cerdas, dan pembawaannya pun sangat cocok jadi akademisi. Aku bahkan pernah bercanda ingin diajar olehnya, yang kemudian dia balas dengan candaan pula kalau aku harus hidup dengannya agar dia bisa mengajariku setiap hari. Itu adalah candaan spontan yang membuatku sangat bahagia. Sayangnya, candaan itu kini tinggal kenangan. Bahkan besar kemungkinan candaan itu tidak akan pernah terwujud. “Silahkan tanda tangan di sini, Bu Anna,” ucap Mas Al sembari menyodorkan dua lembar kertas padaku. Dia tidak menatapku karena matanya masih fokus menatap layar komputer. “Lembar berikutnya tanda tangan dua kali.” “Baik, Pak ...” balasku lirih. Memanggil Mas Al dengan sebutan ‘Pak’ —selain dalam konteks bercanda— tentu tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ini sungguh terasa aneh. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain berusaha untuk professional dan tidak mencampuradukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Mas Al tadi sempat agak menyindirku. Entah benar-benar menyindir atau aku saja yang terlalu perasa. Pada intinya, cara dia menyapaku terasa ditekan. Seolah-olah, menampakkan diri di depannya adalah sebuah kesalahan yang besar. Mas Al terlihat menge-print satu lembar lagi, lalu dia memasukkannya ke dalam amplop yang tadi kubawa. “Setelah mendapat tanda tangan Pak Fadli, kasih ke saya lagi. Tolong secepatnya.” “Iya, Pak.” Bahkan menyebut dirinya ‘saya’ terdengar lebih aneh lagi. Aku benar-benar bingung dengan situasi yang terjadi di antara kami saat ini. Ketika aku baru saja menyelesaikan tanda tangan, kulihat ponsel Mas Al bergetar. Aku melihat foto perempuan terpampang besar di layar. Mas Al melirikku sejenak lalu segera mengambilnya. Aku belum sempat membaca nama kontak perempuan itu karena Mas Al keburu berdiri. “Saya angkat telepon dulu.” Aku mengangguk, lalu Mas Al bergegas keluar ruangan. Dia berdiri di dekat jendela sudut lorong. Karena pintunya tidak ditutup, sayup-sayup aku mendengar suaranya. “Ah, iya. Makasih banyak ya, Ran.” Aku seperti dihantam sesuatu ketika mendengan nama ‘Ran’ keluar dari mulut Mas Al. Pasalnya, seketika nada bicaranya terdengar merendah. Tidak tajam dan ditekan seperti ketika bicara denganku. Siapa ‘Ran’ sampai membuat Mas Al langsung melembutkan suaranya seperti itu? Apakah pacarnya? Atau tunangannya? Atau malah istrinya? “Iya, habis ini aku makan. Enggak, Bunda enggak sakit. Beliau baik-naik aja. Ayah juga sehat. Oke. Kamu juga jangan lupa makan ....” Selanjutnya aku sudah tidak mendengarkan Mas Al lagi karena saat ini dadaku terasa sangat perih. Harusnya aku tidak begini. Sungguh memalukan! Mas Al akhirnya kembali masuk. Begitu duduk, dia menyerahkan amplop padaku. “Saya tidak suka orang yang menunda-nunda, jadi bawa kembali berkas itu ke saya segera setelah bertemu Pak Fadli.” “Iya, Mas— Eh, Pak.” Aku reflek memukuli bibirku berkali-kali. “Saya akan menemui Pak Fadli secepatnya.” Mas Al menatapku beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk samar. “Ya.” Karena Mas Al tidak mengatakan apa pun lagi, aku segera berdiri dan menunduk sejenak. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Al.” Tidak ada sahutan. Mas Al langsung memutar kursinya memunggungiku. Harusnya itu tidak sopan, tetapi aku paham kenapa dia begitu. Aku yakin dia melakukan itu hanya padaku. Aku segera mengambil tas dan bergegas pergi. Aku tidak langsung kembali ke ruang dosen di fakultas, melainkan berjalan menuju toilet terdekat. Begitu tiba di sana dan menutup pintu, seketika air mataku meleleh. Harusnya aku senang Mas Al sudah move on, tetapi kenapa rasanya sesakit ini? *** “Kok murung terus dari tadi, An?” Mama Umi tiba-tiba duduk di sampingku, membawakan satu piring tahu isi. “Bukannya dari kemarin kamu udah semangat banget berangkat kerja? Apa ada masalah di kampus?” “Enggak, Ma. Aku baik-baik aja, kok.” Aku menggeleng pelan. Sungguh tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. Kalau sampai Mama tahu aku mengajar di kampus yang sama dengan Mas Al, bisa-bisa beliau akan kembali berharap. Sedangkan, aku tidak ingin beliau kecewa untuk yang kedua kalinya. “Kalau baik-baik aja enggak harusnya wajahmu kaya gitu. Ada apa? Ayo cerita sama Mama.” Aku nyengir, lalu mengambil satu buah tahu isi yang Mama bawa. “Mau dapet kayaknya, Ma. Jadi mood-nya lagi enggak beraturan.” “Lha bukannya belum lama ini kamu baru aja selesai datang bulan, ya, An?” “Oh iya, ya?” Ternyata alibiku tidak tepat sasaran. Betul kata Mama, belum lama ini, atau lebih tepatnya baru minggu lalu aku selesai. “Ya lagi bad mood aja intinya, Ma. Mungkin karena tadi waktu pulang agak macet, jadi bad mood-nya kebawa sampai sekarang. Mama mengangguk dan tidak bertanya lagi. “Kalau gitu dimakan tahunya. Mumpung anget.” “Ini kebanyakan tapi, Ma.” “Aman. Di dalam masih banyak.” Mama akhirnya kembali masuk dan meninggalkanku sendirian yang saat ini sedang duduk di teras belakang. Merenung di teras belakang entah kenapa memiliki sensasi tersendiri. Barangkali karena suasananya sejuk, ditambah ada Pohon Nangka yang tumbuh subur di sana. Bicara pohon nangka, dulu aku sangat takut. Aku sampai pernah minta Ayah untuk menebangnya, tetapi kata Ayah tidak bisa karena pohon itu ditanam oleh Ibu. Aku takut karena ada makhluk astral yang beberapa kali menampakkan diri di depanku. Sekarang pun masih, tetapi sudah sangat jarang. Lagipula, karena sudah terbiasa, aku jadi tidak takut lagi. Paling aku hanya kaget sesaat. Selagi mereka tidak menggangguku, itu tidak masalah. Ngomong-ngomong, aku ini agak ‘istimewa’. Atau lebih tepatnya, aku memiliki kepekaan khusus pada mereka yang tak kasatmata. Tolong jangan takut. Yang parah itu dulu, sekarang tidak lagi. Aku bercerita seperti ini tidak memaksa siapa pun untuk mempercayaiku. Kadang-kadang ada teman yang menganggapku tukang bohong. Itu hak mereka. Memang mereka tidak melihat, jadi ya wajar-wajar saja kalau mereka memilih untuk tidak percaya. Baiklah, sepertinya aku harus berhenti di sini. Bicara tentang makluk astral hanya membuatku terlihat aneh. “Gini amat, hidupku ...” aku menggumam pelan, lalu mengambil lagi tahu isi di piring. Kembali ke masalah utama kenapa aku murung sejak tadi. Tentu saja itu semua gara-gara pertemuanku dengan Mas Al setelah hampir empat tahun. Kenapa bisa sekebetulan ini? Kenapa dari sekian banyak universitas di Yogyakarta, baik itu yang negeri maupun swasta, aku harus melamar dan diterima di universitas tempat Mas Al mengajar? Apa aku resign saja? “Ih, enggak-enggak! Baru juga masuk.” Aku menggeleng keras. Namun, apa aku tahan kalau harus sering melihat Mas Al di kampus? Terlebih lagi, dia akan menjadi salah satu atasanku langsung. Belum lagi aku dosen baru. Aku pasti akan sering merepotkannya, terutama dalam hal persuratan dan keperluan dokumen-dokumen penting. Belum-belum aku sudah membayangkan kecanggungan yang terus menerus terjadi di antara kami. Apa aku sanggup dengan semua itu? “Argggh!” aku meremas rambutku pelan. Bicara Mas Al, sebenarnya tadi aku agak salah fokus dengan penampilannya. Penampilan dia yang sekarang jauh lebih dewasa. Badannya juga lebih berisi, tetapi bukan ke arah gendut. Kalau dulu dia agak kurus, sekarang aku merasa dia terlihat lebih kekar. d**a bidangnya terlihat cukup jelas di balik kemeja navi yang tadi dia pakai. Kalau bicara tampan, dia memang selalu tampan dari dulu. Wajahnya tidak banyak berubah. Mata tajamnya, hidung mancungnya, juga rahang tegasnya, semua masih tampak sama. Aku jadi penasaran, apa yang dia rasakan ketika melihatku tadi? Marah, kah? Dendam, kah? Entahlah ... Aku yakin dia pasti tahu lebih dulu kalau kami akan menjadi rekan kerja. Aku menduga ini karena dia tidak telihat kaget sedikit pun. “Anna!” terdengar suara Mama memanggilku. “Iya, Ma?” “Malam ini kamu jadi ke supermarket atau enggak? Katanya shampoo-mu habis?” “Oh iya, Ma. Bener! Untung ngingetin. Aku siap-siap sekarang. Aku mau keramas besok, enggak bisa ditunda lagi.” Aku segera masuk dan berlari menaiki tangga. “Mama titip sekalian, ya, An?” “Titip apa, Ma? “Bumbu dapur. Ada kaldu jamur, santan, merica bubuk, saus tiram sama—“ “Catat aja, Ma. Nanti aku lupa.” “Oke.” Sebenarnya shampo hanyalah salah satu kebutuhan yang habis. Masih banyak lagi yang harus segera kubeli. Ada body lotion, conditioner, deodorant, dan lain sebagainya. Belum lagi, aku juga ingat kalau Ayah sempat titip pisau cukur beserta krimnya. Sesampainya di kamar aku hanya mengambil jaket dan tas berisi dompet. Malam ini aku akan mengendarai motor saja agar lebih cepat sampai. *** “Kaldu jamur udah, santannya juga udah. Oh, saus tiramnya yang belum.” Troli belanjaanku sudah terlihat hampir penuh. Rencana awal hanya belanja sedikit, tetapi yang dibeli ternyata dua kali lipat lebih. Tadi aku lihat kulkas tampak kosong, jadi aku harus mengisinya. Persediaan cemilan di lemari dapur juga habis, sekalian saja aku beli semuanya malam ini. “Tante Shila suka cemilan ini, Mas. Kapan hari itu beliau bilang.” Tante Shila? Aku refleks menoleh ketika mendengar nama itu disebut. Betapa kagetnya aku begitu melihat siapa yang saat ini sedang berdiri di dekat rak paling ujung. Di sana ada Mas Al yang sedang belanja bersama seorang perempuan muda yang terlihat sangat cantik. Perempuan itu mengenakan dress berwarna moca dengan rambut dibiarkan tergerai rapi. Tingginya kurang lebih sama denganku. Kulitnya putih bersih. Sekilas, dia terlihat sempurna. “Mbak, jangan berhenti. Kalau udah selesai milih, lanjut jalan.” Tiba-tiba ada seorang Ibu-ibu yang menyenggol troliku. “Kalau belanja jangan bengong!” “Ah ... maaf, Bu, maaf. Silakan, silakan ...” Ketika aku menoleh ke arah tadi, Mas Al dan perempuan itu sedang menatapku. Aduh, betul-betul sial! “Bu Anna ...” Aku agak kaget ketika Mas Al memanggilku. Dia berjalan mendekat dengan sebelah tangan merangkul pundak perempuan di sampingnya. Perempuan itu terlihat bingung, tetapi sedetik kemudian dia tersenyum sangat manis. “Belanja, Bu?” sapanya ramah, tetapi tidak. Sebentar, bagaimana aku mendeskripsikan ekspresinya saat ini? “Iya, Pak. Pak Al juga?” “Iya.” Aku tidak pernah menyangka kalau aku dan Mas Al akan bersikap layaknya ‘kenalan’ seperti ini. Kenalan yang terlihat tidak begitu dekat dan hanya menyapa untuk basa-basi. “Mbaknya temennya Mas?” tanya perempuan itu sembari mendongak. “Iya, teman dosen.” Perempuan itu langsung tersenyum lebar padaku, lalu mengulurkan tangannya. “Kenalin, Bu Anna. Saya Kiran.” Kiran? Apakah dia adalah ‘Ran’ yang menelepon Mas Al tadi pagi? “Oh, iya, iya. Saya Anna.” Aku membalas seramah mungkin. “Istrinya, Pak?” tanyaku pada Mas Al dengan hati yang benar-benar campur aduk. “Doanya saja.” Ah, itu artinya belum. Dengan tidak tahu malunya, entah kenapa ada perasaan lega begitu tahu kalau Mas Al memang belum menikah. Lega, tetapi juga sangat sakit. Fakta bahwa Mas Al meminta doaku, itu artinya hubungan dia dan perempuan—maksudku Kiran, itu serius. “Iya, pasti. Jangan lupa undang saya, lho, Pak.” “Tentu. Itu wajib, Bu.” Meski Mas Al mengatakannya sambil tersenyum, aku bisa merasakan ada kilat tak biasa di matanya. Berikutnya, aku pamit untuk melanjutkan belanja. Sebetulnya masih ada beberapa yang belum kubeli, tetapi aku sudah tidak tahan berada di sini. Alhasil, aku segera ke kasir untuk membayar. Selama antri, aku menahan diri mati-matian untuk tidak menangis. Akan sangat memalukan kalau aku sampai meneteskan air mata di sini. Orang-orang pasti akan menatap heran padaku. “Ini kembaliannya, Kak.” “Iya, Mbak, terimakasih banyak.” Setelah menerima barang belanjaan dan kembalian, aku segera keluar menuju parkiran. Karena saking buru-burunya, aku sampai tak sengaja menendang batu-bata yang digunakan untuk pembatas parkir. Aku refleks jongkok karena kakiku sakit. Tanpa bisa dibendung lagi, air mataku akhirnya keluar juga. Sambil menahan rasa nyeri, aku bergegas menuju motorku yang terparkir di tengah-tengah. Begitu sampai, aku memegangi dadaku yang terasa sangat sesak. “Ibu, sakit, Bu ...” Rasa nyeri di kaki tak sebanding dengan rasa sesak di d**a. Aku tiba-tiba ingat malam itu, malam di mana aku bertindak semena-mena pada Mas Al. Saat itu rasa sakitnya mungkin jauh lebih besar daripada rasa sakitku saat ini. Dan ... hanya dalam kurun waktu kurang dari dua belas jam aku sudah dua kali menangis karena orang yang sama. Dia, orang yang pernah kusakiti, tetapi masih sangat kucintai. Mas Al, maafin aku ... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD