Kiss

1543 Words
Brian mengetuk-ngetukkan jari tangannya ke atas meja. Tiba-tiba merasa jenuh dengan kehidupannya. Terlalu monoton hingga terasa hambar tak bernyawa.  Brian menghela napas lelah dan memejamkan matanya. Dia sudah berumur tiga puluh tahun. Hampir memiliki semua yang diinginkan oleh setiap orang yang hidup di dunia. Harta, tahta, dan wanita. Bisnisnya cukup sukses sehingga ia yakin hartanya tidak akan habis sampai ke anak cicitnya. Dan dia tidak pernah kekurangan stok wanita di hidupnya, wanita lajang dan berpasangan berlomba-lomba ingin menjadi teman kencannya atau hanya sekedar untuk menjadi teman one night  stand bagi Brian. Namun Brian sudah merasa muak, yang ia inginkan adalah satu wanita saja. Wanita yang mau melahirkan anaknya, merawat mereka hingga tumbuh dewasa. Seorang wanita yang akan ia lihat pertama kali ketika bangun tidur dan satu-satunya wanita yang akan ia tatap sebelum jatuh ke alam mimpi. Brian menginginkan seorang isteri. “Arrrggghhh!” Brian berteriak frustasi sambil mengacak-acak rambut coklatnya. “Semuanya sudah siap, Sir.” Rossary, sekretarisnya baru saja membuka pintu kerja Brian. Wanita yang akrab disapa Rosa itu berjalan santai semakin ke dalam meskipun Brian belum memberi izin kepadanya untuk masuk. “Lima menit lagi anda tidak berada di sana, saya tidak akan mengatur ulang jadwal untuk agenda ini.” Brian mendengus, menatap kesal kepada Rosa yang tidak memiliki etika baik sebagai seorang sekretaris. “Jaga sopan santunmu, Rosa. Aku sedang mempertimbangkan untuk mencari penggantimu.” Rosa hanya tersenyum senang, tangannya begitu cekatan ketika merapikan penampilan Brian. “Dengan senang hati, Sir. Saya sudah sangat bosan bekerja dengan anda.” Brian ingin mencekik Rosa, tetapi perempuan itu sudah lebih dahulu melakukannya karena Rosa sedang merapikan dasinya. “Anda sudah siap, silahkan, Sir. ” Rosa mengedipkan sebelah matanya sebelum meninggalkan Brian yang mengusap lehernya pelan. * Brian berjalan seperti biasanya, tegap, tenang dan terkesan mengintimidasi. Melihat kedatangannya, orang-orang pun mulai melihat ke arahnya, terpana, kemudian saling berbisik-bisik. Sesuatu yang sering terjadi setiap kali dia memperlihatkan diri. Beberapa manajer yang hadir, memberi hormat kepadanya sebelum Brian menaiki podium dan berbicara. Brian menjelaskan mengenai terobosan baru Brian's Hospital yang akhirnya bisa ia resmikan sekarang. Pembentukan tim khusus yang dinamai Brian's Operations untuk menangani kasus-kasus sulit di rumah sakit mereka, Brian telah melengkapi rumah sakitnya dengan perlatan medis terbaru. “Kalau begitu, dengan bangga saya perkenalkan.” Brian menoleh ke layar proyektor raksasa di belakangnya, “Dokter Haikal, selalu ketua departemen bedah di Brian's Hospital selanjutkan akan mengayomi dan mengepalai Brian's Operations." Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan, mengiringi langkah Haikal yang menaiki podium untuk berdiri di belakangan Brian. Selanjutnya, Brian menyebutkan satu per satu nama-nama dokter yang terlibat dalam Brian's Operations. Sama seperti yang dilakukan oleh Haikal, para dokter yang namanya disebut juga menaiki podium untuk berdiri di samping Haikal.  “Jessica Nichole Pranata.” Brian menyebutkan nama terakhir dalam list yang tadi disiapkan oleh Rosa. Brian menunggu, tetapi tidak ada satu pun yang menaiki podium hingga suara pintu terbuka di sisi kanannya, membuat Brian menoleh. Seseorang baru masuk melalui pintu itu, napasnya terengah-engah karena Brian melihatnya sedikit membungkuk dalam usahanya untuk menormalkan napas. Dengan posisi membungkuk dan kedua tangan berada di lutut, perempuan itu bersuara, “Saya di sini.” Brian mengernyitkan dahi, kemudian ia bertanya, memastikan, “Jessica, Dokter Jessica?” Wanita itu menegakkan tubuhnya, mata mereka bertemu dan Brian bisa melihat sorot kagum dalam mata Jessi. Ekspresi Jessi membuat Brian terhibur, tiba-tiba saja ia tertarik. “Dokter Jessi?” Brian mengulum senyumnya agar suara yang dikeluarkannya tidak terdengar geli ketika bertanya. “Ya, Hubby? " Brian nyaris terbahak ketika Jessi menjawabnya secara spontan, tetapi jawaban spontan itu berhasil menyulut rasa tertarik Brian semakin besar. Alih-alih mengingatkan Jessi untuk menaiki podium seperti yang lain, Brian justru ikut menyebut Jessi sebagai isterinya. "Are you okqy,  Wife? " “Ya.” Jessi mengangguk, kemudian matanya menatap horor, “Kenapa kau memanggilku seperti itu?” teriak Jessi menggelegar. Brian mengangkat bahunya acuh. Dia mengabaikan Jessi dan memberikan salam penutup. “Terima kasih untuk perhatian dan kehadiran semuanya. Saya harap kinerja kita ke depannya semakin meningkat menjadi lebih baik.” Tepuk tangan kembali meriuhkan suasana. Brian berjalan mendekat ke arah Haikal, tetapi dia melupakan sesuatu. Sehingga ia kembali lagi mendekatkan bibirnya ke mikrofon. "Wife,  just follow me. "  kata Brian sambil menatap Jessi dalam-dalam. * “Ruangan siapa ini?” Jessi kembali bertanya setelah sejak tadi Brian hanya mendiamkan setiap pertanyaan perempuan itu. “Ruanganku.” Brian hampir meledakkan tawanya ketika Jessi menatapnya dengan alis bertaut, mata wanita itu telihat serius mengamati. “Ruanganmu?” tanyanya tak percaya. “Iya.” Brian tetap menjawab meskipun kepalanya sibuk bertanya-tanya kenapa reaksi Jessi terlihat tidak percaya seperti itu. “Apa pangkatmu?” Jessi kembali bertanya, masih tersirat kalau perempuan itu tidak percaya barang sedikit pun. “Aku hanya kebetulan bisa memiliki ini.” Brian mencoba sedikit mempermainkan Jessi, membalas perempuan itu karena meragukan ucapnnya. “Kebetulan?” Jessi berteriak, membuat Brian refleks menutup telinganya.  “Iya.” “Tunggu.” Jessi mengamati wajah Brian sejenak, “Kau yang tadi memanggil namaku, yang berdiri di atas podium itu?” “Iya.” “Jadi, kau pemiliknya?” Brian mengangguk kalem.  “Karena dari yang kutahu, acara tadi dipimpin langsung oleh pemilik Brian's Hospital.  Jadi, itu benaran kau?” Brian kembali mengangguk, berusaha setengah mati untuk tidak meledakkan tawanya. “Wah.” Jessi berdecak kagum. “Kupikir pemiliknya pria tua dengan cerutu tebal yang tidak pernah absen dari mulutnya. Kau tahu, pria-pria tua yang sudah kenyang melebarkan sayap bisnisnya ke mana-mana.” Brian tertawa, tidak tahan lagi menahannya. “Kenapa kau tertawa?” “Kau sangat lucu, Wife." Jessi mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan ucapan Brian. Seumur-umur baru kali ini ia dipuji karena lucu, biasanya setiap pria akan memujinya dengan kata ‘cantik’. “Kau mengatakan aku lucu?” Jessi memastikan, “Bukan cantik?” tanyanya percaya diri. Brian kembali tertawa, sungguh tidak habis pikir dengan segala tingkah Jessi. “Kau cantik, Wife, sangat,” puji Brian tulus, “Tapi, kau juga lucu.” Jessi tersenyum, mendongakkan dagunya lebih tinggi, kemudian alisnya kembali bertaut, merasa ada yang aneh. “Kenapa kau memanggilku dengan sebutan itu?” “Apa?” "Wife." “Karena aku suamimu?” “Dasar gila.” Jessi menggelengkan kepalanya. “Mungkin iya.” Brian membenarkan, “Aku baru saja tergila-gila padamu.” “Sinting.” “Pria sinting ini yang akan menjadi suamimu, Wife." “Berhenti memanggilku seperti itu.” Jessi berteriak kesal, “Kau ….” Jessi menatap Brian lama, “Siapa tadi namamu?”  Brian hampir saja menjatuhkan rahangnya kalau ia bisa, bagaimana mungkin wanita di depannya ini tidak mengenalnya. Bahkan Jessi sudah tahu kalau dia pemilik Brians'e Hospital.  “Brian.” Akhirnya dengan sedikit dongkol, Brian menyebutkan namanya. “Oh, Brian.” Jessi mengucapkannya seolah sebelumnya ia tidak sedang penasaran. “Biar kutebak sesuatu.” Brian menaikkan sebelah alisnya. “Kau sudah memiliki isteri, lalu dia meninggal?” Ucapan Jessi membuat Brian mengernyitkan dahinya bingung. “Wanita itu sangat mirip denganku, lalu begitu melihatku, kau mengira kalau isterimu hidup lagi?” Brian masih menahan kedutan di sudut bibirnya, Jessi kembali melanjutkan, “Maaf, Brian. Aku turut berduka cita, perempuan secantik aku memang tidak semudah itu untuk dilupakan, tapi, ….” Jessi memberi jeda, “Hidup tidak sesinetron itu, aku bukan isterimu. Jadi, berhenti memanggilku seperti itu.” Gelak tawa Brian berderai. Bahkan sudut matanya sampai berair sangking banyaknya ia tertawa. Membuat Jessi berdecak kesal karena merasa ditertawakan. “Kenapa kau tertawa lagi?”  “Karena kau sangat lucu, Wife." Jessi memutar bola matanya, “Yayaya, anggaplah seperti itu. Tapi, berhenti memanggilku isteri! Aku bukan isterimu.” “Belum.” Brian menyahut, “Sebentar lagi juga kau akan menjadi isteriku.” Jessi menggeleng tak percaya, “Maaf saja, aku tidak berniat menjadi pengganti.”  “Kenapa kau bilang seperti itu?” “Sudah kubilang, Brian. Aku mungkin memang mirip isterimu, tapi aku bukan dia.” Jessi masih dengan spekulasinya yang tidak berdasar. “Kalau begitu, ayo kita buktikan,” kata Brian riang. “Tidur denganku, baru setelah itu aku tahu kalau kau bukan isteriku.” Brian menggigit lidahnya agar tidak tertawa ketika melihat ekspresi Jessi berubah ngeri. “Tidur?” jerit Jessi kemudian. “Iya, tidur.” Brian mengangguk semangat. “Dalam mimpimu.” Jessi mendesis. Kemudian, dia berbalik hendak pergi sebelum Brian menarik tangannya. Lalu, bibir mereka bertemu. “Setidaknya aku tahu,” ujar Brian setelah memagut bibir Jessi lama, “Aku benar-benar menginginkan kamu, Wife." Kesadaran Jessi kembali, matanya mengerjap-ngerjap sebentar, kemudian menatap Brian marah. “Kau, pria gila.” Jessi menampar Brian keras, hingga kepala pria itu sedikit terhuyung ke belakang, lalu Jessi menendang aset berharga milik Brian. “Aku akan membunuhmu, jika ada kali yang kedua,” desis Jessi berbahaya. Brian masih meringis kesakitan ketika Jessi sudah berlalu dari ruangannya. Perempuan itu menghilang tepat setelah pintu berdebam kencang karena dibantingnya tanpa perasaan. Setelah ditinggal sendirian, Brian melebarkan senyumnya. Sepertinya kejenuhannya akan segera berakhir. Hidup monotonnya akan segera menghilang, berganti dengan kehidupan normal yang dihiasi oleh satu wanita. * Jessi berjalan sambil terus mengumpat. Matanya menata awas pada keadaan sekitar, kemudian dia berhenti dan kembali melihat ke belakang. Keningnya keriting ketika ia mulai berpikir. “Ini di mana?” tanyanya seorang diri. “Sial,” umpatnya kemudian. Hampir dua bulan dia bekerja di Brian's Hospital, tetapi itu tidak membuat Jessi menghapal seluk beluk rumah sakit raksasa ini. “Anda terlihat bingung, ada yang bisa saya bantu?” Seseorang bertanya kepada Jessi.  “Tidak ada.” Jessi tersenyum elegan, matanya liar memperhatikan wanita cantik di depannya ini. “Baiklah.” Wanita tersebut mengangguk, lalu tersenyum sebelum kembali berjalan ke arah ruangan yang baru saja ditinggalkan Jessi. “Ini di mana, Ya Tuhan.” Jessi kembali menjerit. “Ruangan anda berada di lantai lima, anda bisa terus berjalan, nanti di samping kiri ada lift." Jessi hampir melonjak ketika suara itu terdengar sangat dekat dengannya, ketika dia menoleh, wanita tadi berdiri tidak jauh darinya. “Terima kasih.” Jessi tersenyum salah tingkah menahan malu, lalu dengan terbirit-b***t dia segera mencari lift yang dimaksud oleh perempuan berambut coklat pirang itu. Begitu sampai hampir sampai di ruangannya, Jessi diberitahu untuk segera menuju lounge, tempat berkumpulnya para dokter yang terlibat dalam Brian's Operations.  Setelah bertanya tentang ruangan yang dimaksud, Jessi segera ke sana. “Akhirnya lo datang juga.” Suara Abel menyambut Jessi begitu wanita itu memasuki lounge.  “Segitu rindunya lo sama gue.” “Najis.” Abel langsung menyambar. “Dokter Haikal udah bertanduk gara-gara lo.” “Astaga.” Jessi langsung panik begitu nama kepala departemennya disebut. “Di mana dia?” “Udah pergilah.” “Jes, lo ngaca nggak sebelum berangkat?” Kali ini Kate yang bertanya. “Kenapa?” Jessi bertanya bingung. “Ngapain lo pake sandal tidur ke rumah sakit?” “Ha?” Seketika Jessi langsung menunduk, kemudian merutuk ketika sandal kepala singa itu seakan mengejeknya. Gelak tawa Abel terdengar setelah Jessi mengutuk panjang pendek. “Nggak gue akuin temen lo, Jes.” “Gue juga nggak sudi berteman sama lo,” balas Jessi sengit. Dilihatnya kakinya sekali lagi, lalu menatap nelangsa pada Kate yang memandanginya prihatin. Hancur sudah hari Jessi di pagi senin ini. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD