bab 5

912 Words
Vina mengemudikan mobilnya kembali ke rumah setelah mengantarkan gadis yang ditolongnya tadi ke panti, sekaligus memberikan bingkisan yang telah ia siapkan. Ia menumpang mandi di panti itu dengan alasan baru saja menolong orang yang kecelakaan, untunglah pemilik panti tak banyak bertanya lagi. Vina memelankan laju kendaraan yang ditumpangi saat melihat seorang wanita tampak berjalan mondar mandir di depan rumahnya seperti ingin mengetuk pintu namun ragu-ragu. "Cari siapa, Mba?" tegurnya, menatap intens wanita yang memakai atasan sabrina berwarna putih dan skinny jeans biru muda. Rambutnya yang halus dan lurus terkibas indah saat pemiliknya membalikkan tubuh, terkejut. "Eh, ini Mba.” Wanita itu masih celingukan, merasa bingung karena hanya rumah ini yang ada di hadapannya. “Ini bener rumah David?" "David?" Mata Vina menyipit. "Mba siapa?" "Jessie." Wanita itu membalas tatapan Vina dengan pandangan tak kalah menilai, sedikit mencibir, kemudian menghadapkan tubuhnya lagi ke arah rumah. "Oh, ayo masuk." Vina membuka pintu, mempersilahkan tamunya untuk masuk. "Mungkin David lagi di basemen." Gadis itu melangkah masuk dengan percaya diri, aroma parfum yang memikat menguar dari tubuh itu saat berjalan melewati Vina. Ia terus berjalan menuju ruang tamu, tanpa permisi. "Ah, Mba, siapanya David? Pembantu?" Jessie menoleh ke belakang. "Istrinya," jawab Vina dingin, meraih rambut jalang itu secepat kilat dan menghantamnya ke meja. Mata indah yang dipoles eyeshadow coklat itu terbelalak sesaat sebelum wajah cantiknya menghempas kaca. "Arrggh!" erangnya lagi saat kaki Vina menekan bagian belakang leher, menyebabkan beberapa pecahan kaca menggores pipi, telapak tangan, dan sikunya yang digunakan untuk menahan bobot tubuh saat jatuh tadi. "Diam kau, jalang. Atau kupotong lidahmu dengan pecahan kaca ini," desis Vina di telinga wanita itu sembari menekan pecahan kaca di tangannya ke lengan Jessie, menggores sepanjang bahu sampai telapak tangan kiri wanita itu. Jessie menendang, mencoba melawan. Vina mengunci kedua kaki itu dengan tungkainya, kemudian menusuk paha dan betis wanita itu dengan kaca di tangannya. Satu tangan yang lain mencengkik batang tenggorokan Jessie, membuat wanita itu menggeliat diantara perih dan kehabisan oksigen. "Sudah kubilang, diam!" Wanita yang tadi bersikap superior kini terdiam, mulai terisak. Cairan hangat keluar dari pangkal pahanya, terkencing-kencing ketakutan. Darah membasahi wajah dan lengannya. Atasan yang semula berwarna putih, kini berwarna merah. Vina mendecih. "Seharusnya kau memikirkan baik-baik sebelum memutuskan untuk menggoda suami orang," ejek Vina, mulai menarik rambut wanita itu, menyeretnya menuju basemen. Kaki Jessie menendang sembarang arah, kedua tangannya mencengkeram rambut di kepala yang terasa pedih, seakan dicabut dari kulitnya. Gerakan tangannya yang liar, membuat beberapa serpihan kaca yang menempel di pipi, menggores dan masuk semakin dalam menembus daging. Air matanya berjatuhan, namun tak berani bersuara. Terlalu takut dengan ancaman Vina tadi. Pintu basemen berdebam, membuka lalu menutup lagi setelah Vina menarik rambut jalang itu sekuat tenaga menuruni tangga. Tubuh yang diseret itu dihempaskan Vina ke lantai. "Sayang?" Mata David yang sedang mengasah pisau berkilat penuh semangat. Ia berjalan menghampiri dua wanita yang berada di depan pintu. "Bangun," perintah David pada Jessie yang meringkuk ketakutan, berusaha bangkit sambil terisak pelan. "Suamimu tau?" Wanita itu menggeleng perlahan lalu beringsut mundur, ia menempelkan tubuhnya di tembok. Tungkainya serasa bagai jelly, tak sanggup menopang bobot tubuh. "Naik ke sini," ujar Vina datar, berjalan menuju meja bedah. "Sekarang!" teriaknya kala melihat Jessie terpaku di tempat. David menghampiri wanita itu dan menyentaknya ke arah Vina, mengangkat dan menghempaskan tubuh itu di atas meja. Gemetar. Darah, air mata, dan urine bercampur jadi satu. "Akan kusampaikan salam untuk anak gadismu, mungkin mengirim salah satu bola mata sebagai kenang-kenangan," ujar David perlahan, mengangkat pisau bedah di tangan kanannya, "agar dia tidak menjadi w************n, seperti ibunya." "Aakh!!" Jessi memekik histeris, pandangannya menggelap ketika pisau bedah itu mengarah lurus ke bola matanya. Tubuhnya berkelonjotan, menahan sakit tak terkira. Jessie menjerit menangis histeris, matanya kirinya berdenyut ngilu dan perih, pisau bedah masih menancap di sana. Tangan wanita itu menggapai-gapai hendak bangkit dari atas meja bedah, namun tubuhnya kembali terpental menghantam besi saat kepalanya dipukul dengan martil oleh David. "Berteriaklah sepuasmu, tidak akan ada yang mendengarnya dari sini," bisik Vina lirih, mengusap dan membelai wajah Jessi yang bersimbah darah. Vina menggesekkan ibu jari dan telunjuknya, lengket dan kental darah yang menggiurkan. "Damian?" panggil Vina lirih, memperhatikan wajah suaminya yang telah berkabut oleh gairah untuk membunuh. David menyeringai bengis, meraih pisau daging di bawah meja. "Mulai dari mana, Sayang?" tanya pria itu sembari mengamati tubuh Jessie. Istrinya sedang melucuti pakaian wanita itu. "Kurasa lidahnya cukup tajam selama ini, menilik dari gayanya saat baru tiba tadi," jawab Vina, meraih tali dalam laci kemudian mengikat kedua kaki dan tangan Jessie. Wanita itu berontak tanpa arti, sia-sia. Tenaganya tak sebanding dengan David, yang kini telah dikuasai oleh Damian. "Aku rasa buaya peliharaanmu akan menyukai lidah yang tajam," desis Vina lagi, membuka paksa mulut Jessie dengan bantuan Damian, kemudian menarik dan memotong lepas bagian tubuh itu. Darah mengalir dari dalam mulut Jessie membuat wanita itu tersedak darahnya sendiri, ia terbatuk dan terpaksa menelan cairan kental dan anyir. Sebelah matanya yang masih utuh mulai sayu, kelopaknya kemudian bergetar dan menutup perlahan. "Dasar lemah!" umpat Vina, "baru juga mulai," sungutnya lagi, "aku bosan, mau membersihkan diri." Pria itu tak merespon perkataan istrinya, ia mengangkat kedua tangan tinggi di udara, lalu mengayunkannya sekuat tenaga ke arah leher Jessi, setelah menyimpan segenggam rambut yang beraroma strawberry di dalam botol kaca. Ahh ... Puas sekali rasanya melihat kepala itu jatuh menggelinding di lantai. Ia mengusap wajahnya yang terciprat darah lalu menatap tangan yang kini berwarna merah, ia mendekatkan jemarinya ke wajah untuk menghirup aroma anyir yang menjadi candu itu, kemudian menyeringai puas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD