Lima

1124 Words
 Stevany memarkirkan mobilnya di depan butik miliknya, dia kemudian masuk dan menyapa ramah beberapa pelanggan dan pegawainya yang sedang melayani pembeli. Stevany kemudian masuk ke ruang kerjanya, dia di sambut dua manekin kesayangannya. Manekin itu tengah memakai dua rancangan terbarunya, rencanya akan dia luncurkan mingu depan. Namun hari ini dia tidak memiliki mood untuk menyelesaikan bagian bawah rancangannya. Dia sedang memikirkan cara bagaimana menghubungi pria gila yang mengklaimnya sebagai kekasih pria itu. Stevany memutar-mutar ponsel pintarnya di meja kerjanya, sedang menimbang, antara  menelepon Mira atau tidak. Dia ingin menanyakan tentang Wingga pada Mira, tapi dia ragu. Takut hal ini menjadi beban pikiran Mira, tapi rasa penasarannya juga tidak bisa ia bendung. Stevany meyakinkan untuk menelepon Mira, namun belum dia menghubungi sahabat barunya itu, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, dari nomor yang tidak di kenal. "Temui saya saat makan siang di R&W, restoran!" Begitu isi pesannya.  "Memangnya kamu siapa?" Balas Stevany mengetikkan pesan. "Wingga.H" Stevany ingin sekali membanting ponselnya saat menerima balasan singkat itu. Tidak bisakah pria itu berbasa-basi dulu seperti, menanyakan kabar misalnya.  "Cih,, apa yang di harapkan dari pria dengan pemikiran pendek seperti Wingga" Gumam Stevany. stevany kemudian melihat jam yang melingkar di tangannya, dia punya waktu sekitar tiga jam lagi sebelum jam makan siang. Dia kemudian memilih membuka laporan keuangan toko dan mengeceknya sebelum pergi ke tempat yang Wingga maksud. Stevany tenggelam dalam pekerjaannya hingga dia hampir melewatkan jam makan siang. Dia melihat jam di pergelangan tangannya, setengah dua belas. Dia bergegas memasukkan ponsel kedalam tasnya, tidak lupa juga dengan kunci mobilnya. "Titip toko ya Lan," kata Stevany pada Wulan, asistennya. "Baik mbak," Jawab Wulan patuh. Stevany kemudian meninggalkan butiknya. Stevany mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, dia tahu kalau dia sudah terlambat untuk datang ke restoran, tempat yang Wingga tentukan. Tapi Stevany tidak ingin ngebut, biarkan saja pria itu menunggu, daripada dia yang kenapa-napa. Satu jam kemudian, barulah dia tiba di restoran. Stevany celingukan mencari keberadaan Wingga, dia sudah mencari ke seluruh penjuru ruangan, namun dia tidak menemukan keberadaan pria itu. Apa mungkin dia belum tiba? pikirnya. "Maaf, apa Anda nona Stevany?" Tiba-tiba seorang waiters datang menghampirinya. "Eh, iya mbak" ucap Stevany membenarkan. "Kalau begitu, silahkan ikut saya nona. Anda sudah di tunggu pak Wingga." Stevany mengangguk pendek lalu mengikuti waiters itu dari belakang. Sesekali matanya mengamati restoran itu, ini pertama kalinya dia masuk ke dalamnya.  Dia ternyata di bawa menuju bagian paling atas bangunan. Stevany tebak, itu adalah ruangan private. Waiters berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu kayu ganda, berwarna coklat tua dengan ukiran rumit di setiap sisi pintunya. Yang paling menccolok adalah inisial W yang terpampang jelas di bagian tengah pintu itu.  "Silahkan masuk nona." Waiters itu mempersilahkan Stevany setelah membuka lebar pintunya. Tanpa ragu Stevany melangkah masuk ke ruangan itu. Stevany mengerutkan keningnya, dia melihat ruangan itu seperti tempat kerja bukan tempat makan. "Duduk! Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" Wingga berdiri dari kursinya dan pindah ke sofa set yang ada di sebrang meja kerjanya. Stevany menuruti laki-laki itu lalu memilih duduk di depan pria itu. Wingga lalu menyodorkan menu restoran kedepannya. "Pilih sendiri, kamu mau makan apa?" Tanya Wingga seraya menyerahkan menu ke hadapan Stevany. "Ini restoran milikmu?". Tanya Stevany penasaran. Dia menerima menu dari tangan Wingga lalu membukanya.  "Hmm," gumam Wingga pelan, pria itu sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Saya mau ini, ini dan ini." Stevany menunjuk tiga menu berbeda, menu terakhir yang dia pilih adalah salad buah. Untuk minum dia hanya memesan air mineral. "Kamu yakin bisa menghabiskan semuanya?" Tanya Wingga sedikit takjub dengan nafsu makan wanita itu. Beberapa teman wanita yang dia punya selalu menjaga makan mereka. "Kenapa? Kamu keberatan membayar nya? Tenang, saya bisa bayar sendiri, saya punya duit banyak" Kata Stevany angkuh. Dia mengeluarkan dompetnya dari dalam tasnya. dan meletkkannya di atas meja "Sayang-," "Apa, barusan kamu memanggil saya sayang?" Wajah Stevany bersemu merah. Wingga mengangkat alisnya bingung, "Ekhm, maksud saya, sayang kalau tidak habis," Katanya kala mengerti arti dari rona di wajah wanita itu. Suasananya seketika berubah canggung. Stevany mengusap kakinya salah tingkah, dia sangat malu sekarang. Berharap bisa menghilang dari hadapan pria itu saat ini juga. Wingga menekan intercom dan memanggil waiters untuk memesan makan siang mereka. Tidak lama waiters datang dengan sebuah catan di tangannya. Wingga menyebut pesanannya terlebih dahulu lalu menyebutkan pesanan Stevany. Selama menunggu makanan mereka datang, tidak ada pembicaraan sama sekali, Wingga yang sibuk dengan ponselnya yang tidak berhenti berbunyi dan Stevany dengan kegiatannya mengamati ruangan kerja Wingga. Menurutnya selera Wingga akan furniture lumayan bagus, terlihat dari pemilihan sofa dan meja kerja pria itu yang terkesan elegan. Kemudian matanya berhenti pada sebuah bingkai foto keluarga yang terlihat harmonis yang terletak di meja kerja Wingga. Tidak terlalu jelas memang  karena posisi bingkai itu menyamping. Saat makanan mereka datang, Wingga meletakkan ponselnya dan fokus pada makannya, sesekali dia mencuri pandang pandang pada wanita yang terlihat antusias dengan makanan di depannya. Sudut bibir Wingga sedikit terangkat melihat tingkah Stevany, entah kenapa dia menyukainya. Dia suka melihat wanita itu makan dengan lahap. Wingga buru-buru menurunkan pandangan nya saat Stevany akan mengangkat kepalanya, "Yang ini enak, apa boleh minta lagi?" Tanya Stevany, dia menunjukkan piring salad buah yang sudah habis. Wingga mengangguk dan langsung memanggil waiters. Tidak lama waiters datang dengan satu piring salad buah lagi di tangannya. "Terimakasih," Kata Stevany sambil tersenyum senang. Wingga menunggu hingga makanan Stevany habis, dia hanya mengamati wanita itu tanpa memperdulikan notifikasi ponselnya yang terus menerus berbunyi. *** "Bicaralah, saya sudah selesai." Stevany menumpuk piring kotor, dan menyingkirkan nya ke pinggir meja lalu fokus pada wajah Wingga. "Saya ingin membahas soal status kita." Kata Wingga memulai pembicaraan. Senyum Stevany mengembang, dia berharap Wingga mengakhiri status pacaran bohongan mereka. "Pertama, saya ingin kita bicara non formal, kedua kita hubungan kita akan berakhir setelah William dan Mira resmi menikah." Stevany tidak setuju dengan usulan Wingga "Kenapa kita tidak akhiri saja semua ini? Kamu tidak punya bukti juga kan , kalau saya.. aku akan menghancurkan hubungan William dan Mira" Stevany mengganti panggilan nya jadi 'aku' saat melihat mata Wingga melotot padanya. "Saya tidak perlu bukti, dengan kamu mendatangi Mira di saat Willian tidak berada di rumah, sudah jels kalau tujuan kamu untuk mengintimidasi Mira."  "Berapa kali sih, harus aku katakan  kalau kami berteman? Kamu bisa tanyakan pada Mira atau William kalau kamu tidak percaya pada ku!" Kata Stevany nyolot. Sebal juga selalu di tuduh jahat padahal niatnya baik. Wingga mengangkat bahunya acuh, meskipun dia melihat tatapan Stevany tidak ada kebohongan, dia tetap tidak ingin percaya dengan mudah. Setidaknya untuk satu bulan ini dia butuh bukti untuk melihatnya sendiri. Dia akan mengutus seseorang untuk memantau kegiatan wanita itu. Stevany akan membuktikan pada pria itu kalau dia memang tidak punya niat jahat, lalu dengan cepat mengakhiri status mereka. Dia tidak ingin berurusan lebih lama lagi dengan Wingga. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD