Rasa Bersalah

1807 Words
ENTAH sudah ke berapa kalinya Bintang menghubungi nomor ponsel Fania, tetapi belum dijawab-jawab juga oleh pemiliknya. Pesan yang ia kirimkan juga tidak kunjung mendapat balasan. Waktu sudah menunjukkan lewat pukul sebelas malam dan Fania belum juga pulang ke rumah. Apa Fania sedang punya jadwal jaga? Yah, bisa jadi. Bagaimanapun Bintang tetap mengkhawatirkan Fania, sementara seharusnya ia bisa sedikit merasa lega jika gadis itu mau menjawab teleponnya. Paling tidak Fania bisa memberitahunya kalau memang punya giliran jaga. Tunggu. Memberitahunya? Apakah Bintang sedang mengkhayal Fania akan bertindak demikian? Gadis itu bahkan membencinya dan tidak menginginkan keberadaan Bintang di rumahnya. Ma, apa Mama tahu kalau sebenarnya Fania keberatan menerima pernikahan Mama dengan Papa Arman? Papa Arman bilang kalau Fania nggak mempermasalahkan rencana pernikahan kalian. Bintang tahu kenapa Papa Arman harus berbohong. Ma, Bintang hanya nggak mau melihat Mama menderita lagi. Dulu Papa Edwin udah ninggalin kita dan Bintang ingat bagaimana perjuangan Mama membesarkan Bintang sendirian selama ini tentu nggak mudah. Mungkin Papa Arman adalah orang yang dikirim Allah untuk membahagiakan dan mengobati sakit hati Mama pada Papa Edwin. Tapi tetap saja kalau sikap Fania seperti ini .... Walaupun di telinga Bintang masih terngiang kata-k********r Fania tadi pagi, tetapi ia juga tidak mungkin menyalahkannya. Berada di posisi Fania pun pasti sulit. Gadis itu sakit hati dan tentunya belum bisa memercayai keberadaan orang asing. Perasaan bersalah tiba-tiba muncul ketika Bintang berpikir Fania sengaja menghindari rumah karena keberadaannya. Sempat pula terpikir oleh Bintang untuk pergi dari rumah Keluarga Wirantama dan menempati rumah lamanya saja di daerah Semarang Atas. Akan tetapi, Bintang lantas teringat dengan janjinya kepada ayah Fania untuk lebih mengenal serta menjaga putrinya tersebut. Karena itu, Bintang akan mencoba bertahan di rumah ini. Bertahan dengan segala k*******n hati Fania sampai gadis itu mau berubah sikap padanya. Laki-laki itu mencoba menghubungi nomor Fania sekali lagi. Hasilnya pun masih sama saja seperti yang lalu-lalu. Ia memanggil ulang. Namun, belum sampai nada dering itu berakhir, sambungan telepon sudah terputus. Selanjutnya diteruskan oleh suara operator yang belum bosan dengan kalimat yang menerangkan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan dan bla bla bla. Jadi Fania memutus kontak. Bintang hanya bisa mengembuskan napas panjang dan berat. Ia berharap hatinya lebih banyak dilimpahkan kesabaran. Paling tidak jika yang memutus kontak tadi benar-benar Fania, ia bisa merasa sedikit lega karena berarti gadis itu baik-baik saja. ❤ Seorang gadis dengan rok denim panjang dipadukan blouse ruffles ungu serta shawl yang menutupi kepalanya itu mendengkus sebal di depan layar ponselnya. Ia seperti sengaja menulikan telinga, sementara ia tahu ada sederetan nomor yang sejak beberapa waktu lalu terus saja melakukan panggilan ke ponselnya. Belum bosan rupanya laki-laki itu mengganggunya setelah ia tidak membalas pesan. Kalau tidak duluan mengirim pesan atas namanya, mungkin Fania tidak tahu kalau sederetan nomor cantik berdominasi angka delapan itu adalah nomor Bintang. Lagi pula dari mana laki-laki itu tahu nomor ponsel Fania? Ah, pasti dari ayahnya. Siapa lagi? Fania hanya mengabaikan panggilan masuk itu sampai pada panggilan yang sudah entah ke berapa, ia sudah tidak segan lagi mematikan ponsel, lalu melemparnya serampangan ke dalam tas. Saat ini Fania masih berada di sebuah kedai nasi gandul di kawasan food court Taman Menteri Supeno atau yang lebih dikenal dengan sebutan Taman KB. Ya, tepatnya ia berada di kedai angkringan sederhana milik keluarga Jihan. Terhitung sejak pukul delapan malam ini ia mampir ke kedai Jihan hingga sekarang, berarti sudah tiga jam lamanya Fania menghabiskan waktu di sana. Padahal semula ia hanya ingin mengambil gamis buatan Jihan tanpa berniat singgah lebih lama di kedai itu. Ya, tentang gamis itu tentu saja ia lebih memilih mengambilnya sendiri di tempat Jihan daripada Jihan harus mengantarkannya langsung ke rumah. Sama seperti Adel, tidak mungkin juga ia membiarkan Jihan datang ke rumahnya saat ini. Tubuh Fania sendiri sebenarnya sudah penat dan butuh istirahat pastinya. Bayangkan saja selama tiga jam itu ia hanya duduk dan berkutat dengan segala macam pikiran jenuh di otaknya sambil sesekali menyantap nasi gandul yang dipesannya tanpa selera. Kalau hari-hari biasa, ia pasti sudah penuh lahap menghabiskan seporsi nasi gandul favoritnya, karena menu khas Kota Pati dengan bahan dasar daging dan kuah santan yang disajikan di kedai Jihan itu dijamin rasanya enak. Namun, saat ini kepalanya terasa berat. Tubuhnya pun sangat lelah seperti bisa jatuh kapan saja. Dalam keadaan seperti ini, tempat utama yang paling ingin ia tuju adalah rumah tercintanya. Sayangnya, kini ia harus menyingkirkan kata 'tercinta' setelah suasana rumah itu sendiri sudah berubah menjenuhkan sejak kehadiran laki-laki itu. Salah, sejak ibunya meninggal. "Fania ...." Fania mendongak ke asal suara yang memanggil namanya. Selintas kehadiran seorang gadis lain sepantaran usianya itu tidak cukup tertangkap jelas dalam pandangan Fania yang mulai agak berkunang. "Kamu baik-baik aja?" tanya Jihan cemas. Fania hanya memaksakan seulas senyum samar kepada Jihan sambil berusaha menjernihkan penglihatannya. Sejenak kemudian, ia tersentak pelan ketika menyadari suasana di kedai sudah sepi. Ke mana perginya semua pelanggan selain dirinya? Oh ya, bagaimana masih ada pelanggan jika Jihan sudah mulai memberesi barang-barang dagangannya yang menandakan sudah waktunya kedai akan ditutup? Fania hampir mengerang, lalu menatap Jihan serbasalah. "Kamu udah mau tutup kedai, ya?" Pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi oleh Fania. Jihan menanggapi pertanyaan Fania dengan lesung pipit yang mampu membuat senyum manisnya menjadi semakin manis. "Apa kamu masih ingin aku temani di sini?" "Maaf ya, Han, aku jadi kelamaan nongkrong di sini. Menggunakan meja ini selama tiga jam dan cuma akan membayar untuk sepiring nasi gandul sama segelas air putih doang. Kayaknya aku jadi merugikan kedaimu, deh." Jihan menggeser satu kursi kosong di hadapan Fania. Gadis berparas ayu dengan kerudung merah mudanya itu terlihat menahan senyum geli mendengar perkataan Fania. "Ya kalau dibilang merugikan ya merugikan. Satu kursi yang kamu duduki itu mungkin bisa diisi bergantian tiga sampai empat pembeli kalau dihitung-hitung dalam selang waktu tiga jam." Wajah Fania memucat. Jihan pasti sudah biasa punya perkiraan hitungan kedatangan pembeli di kedainya. Masalahnya juga ini malam minggu. Kota Semarang bukan kota tidur. Jangan tanya lagi bagaimana suasana Kawasan Simpang Lima, Pandanaran, dan sekitarnya yang kebanyakan didatangi kawula muda yang ingin menghabiskan akhir pekan mereka di luar rumah. Sepertinya hari ini benar-benar hari terpayah Fania. Semua yang dilakukannya seperti tidak pernah ada yang beres dan sekarang ia sudah membuat kedai temannya sendiri merugi. Fania siap jika Jihan menuntut ganti rugi. "Aku bercanda," kikih Jihan setelah ia tidak tahan melihat wajah Fania yang semakin salah tingkah. "Di kedai ini, semua pelanggan ibarat raja dan ratu. Setiap kursi yang ada di sini berarti singgasana yang bisa dipakai raja maupun ratu selama kapan pun dia mau." Selera bercanda Jihan agaknya menarik tawa kecil dari bibir Fania. Sudah kurang lebih lima tahun Fania mengenal Jihan sebagai teman seangkatannya di FK ULD dan Fania selalu merasa nyaman mengobrol dengannya. Selain itu Fania sangat mengagumi sosok Jihan yang tekun beribadah dan tidak suka menggantungkan hidupnya pada orang lain. Jihan bukanlah gadis yang berasal dari keluarga yang cukup mampu untuk mendirikan sebuah rumah gedongan. Namun, gadis pemilik senyum nan menentramkan hati itu tidak pantang menyerah mengejar cita-citanya berkuliah kedokteran. Berkat kecerdasannya, ia berhasil masuk Fakultas Kedokteran melalui program beasiswa ULD. Di tengah kesibukannya mengikuti pelajaran kuliah maupun praktik, Jihan masih bisa membantu ibunya mengurus kedai nasi gandul kecil-kecilan yang saat ini mereka tempati. Bukan cuma Jihan, tetapi juga ada Laras, adik perempuannya yang ikut membantu dan sepertinya sekarang dia sedang mencuci piring. "Kamu kelihatannya suntuk banget. Perlu aku buatin teh anget gitu? Siapa tahu bikin kamu lebih rileks." "Nggak usah. Aku mau pulang aja." "Kamu yakin? Lebih baik kamu menginap aja di rumahku malam ini. Tapi tunggu aku sama Laras beres-beres kedai dulu, baru kita pulang." Fania menggeleng lemah sembari meraih tasnya. Kalau boleh jujur, saat ini kepalanya semakin berdenyut pening dan ia sendiri tidak yakin apakah mampu menyetir. Namun, ia tidak ingin merepotkan Jihan. "Oh ya, ini buat kamu." Fania menyodorkan sebuah amplop yang dikeluarkannya dari dalam tas ke arah Jihan. Alis Jihan berkerut samar ketika meraih amplop cokelat di hadapannya. Sejenak ia menatap Fania dengan pandangan bertanya. "Ini apa, Fan?" "Sedikit dariku untuk mengganti waktu sama tenagamu jahitin gamis itu," sahut Fania. Sepasang mata Jihan serentak membulat begitu ia mengetahui isi di dalam amplop tersebut semuanya berupa nominal tertinggi uang kertas rupiah. Bukan satu atau dua lembar, tetapi lebih dari itu. "Sedikit apanya? Ini sih terlalu banyak, Fania. Lagian sungguh, aku nggak minta kamu membayar jahitanku itu. Aku khusus membuatkannya karena kamu itu temanku." "Please, Han, jangan ditolak," kata Fania mencegah tangan Jihan yang hendak mengembalikan amplop itu kepadanya. "Justru karena aku temanmu, aku tahu menjahit itu nggak gampang. Aku juga tahu waktu dan tenagamu udah banyak tersita. Jadi, jangan bikin aku merasa nggak nyaman dengan kamu kasih gamis itu secara cuma-cuma." "Tapi kan nggak harus sebanyak ini juga. Uang yang kamu kasih bahkan tiga kali lipat lebih banyak daripada harga satu jahit gamis kualitas terbaik yang dijual di toko-toko." "Kalau begitu artinya gamis jahitanmu itu yang terbaik dari sebaik-baiknya kualitas jahitan yang pernah dijual di toko-toko." "Fania ...." "Ayolah, terima aja uang itu dan aku akan sangat berterima kasih." Jihan tersenyum. Tidak dimungkiri ia memang sedang membutuhkan uang, meskipun ia memang tidak berharap mendapatkan imbalan apa pun dari Fania. "Oke deh, aku terima kalau kamu maksa. Makasih ya, Fan. Jangan segan kasih tahu aku kalau misalnya gamis itu ada kurang-kurang apanya gitu." Fania hanya mengiyakan. Ia hendak beranjak ketika kedua kaki yang semestinya mampu menopang berat badannya justru seperti tak bertenaga. Terang saja keseimbangannya nyaris goyah jika Jihan terlambat menahan bahu Fania. "Kamu nggak apa-apa? Kayaknya kamu nggak bisa pulang deh dalam keadaan begini. Saranku, kamu ikut ke rumahku aja. Rumahku kan dekat sini. Lagi pula besok hari libur." Fania yang kembali duduk di tempatnya sempat meringis merasakan pusing di kepalanya. "Nggak usah. Aku cuma agak pusing. Sebentar lagi juga baikan, kok." "Ya udah, kalau begitu kamu istirahat dulu di sini. Aku temani." Sebelah tangan Jihan terulur ke depan dan berhasil mendarat di pundak kiri Fania, menepuk-nepuknya. Sejak beberapa jam lalu sambil melayani para pelanggan lain di kedainya, diam-diam Jihan memang sempat mencuri pandang ke meja Fania yang lebih banyak melamun. "Jujur, ini seperti bukan dirimu yang biasa kulihat. Apa kamu sedang punya masalah?" Fania hanya mendesah lelah. Dari tanggapan Fania yang demikian, sudah cukup meyakinkan Jihan kalau temannya itu memang sedang terbebani suatu masalah. "Fan, aku nggak keberatan kok jadi pendengar yang baik. Masalah itu justru terasa makin berat kalau dipendam sendirian. Tapi ketika ada teman, semua masalah bisa dibagi dan mungkin juga bisa dicari sama-sama penyelesaiannya." Fania tersenyum tipis. Suara Jihan yang lembut seakan udara segar yang mampu menyediakan ruang luas untuk Fania menghirup kenyamanan. Seketika beban bergejolak yang penuh di hati Fania serasa menguap begitu saja. Serasa ia melupakan anggapan bahwa hanya dirinya yang memiliki beban. Entah kenapa semua terasa ringan ketika ia benar-benar menyadari masih ada perhatian di sekelilingnya. Entah kenapa semua terasa lebih baik ketika masih ada teman di sampingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD