Calon Saudara Tiri

2182 Words
FANIA tahu harus menguatkan hatinya ketika ia kembali mengunjungi area pemakaman ini. Bernaung sunyi seorang diri, gadis itu hanya bersimpuh di depan gundukan tanah berlapis rerumputan hijau dengan batu nisan yang terpatri di atasnya. Pun, semilir angin yang mengusik ujung-ujung kain penutup kepalanya tak dihiraukan ketika sepasang manik mata kelamnya masih setia mengamati ukiran nama di batu nisan tersebut. Tidak terekam ekspresi apa pun di wajahnya setelah ia meletakkan sebuket mawar putih di atas batu nisan bertuliskan nama 'Sarah Rasmita'. Namun, gadis itu tahu persis hatinya masih saja sesak untuk mengunjungi tempat ini. "Ma, kenapa Mama harus pergi secepat ini? Mama tahu kan kalau Fania masih sangat membutuhkan Mama?" Fania mulai bermonolog di depan makam ibunya. "... dia seorang wanita yang papa cintai. Papa akan menikahinya." Selintas ingatannya melayang kembali pada pernyataan yang secara langsung dicetuskan ayahnya dua pekan lalu. Bercanda ... ia bahkan tidak sempat menyela pernyataan yang seperti sudah direncanakan jauh-jauh sebelumnya itu hanya sebagai lelucon. Lagi pula, siapa yang berani menganggap pernikahan sebagai lelucon? Setidaknya Fania sudah cukup dewasa untuk memahami maksud ayahnya. Begitu ayahnya menikah lagi, dengan segera istri baru ayahnya akan memerankan sosok ibu di keluarga. Seorang anak menyebutnya dengan ibu tiri. Ibu tiri? Oh, bagaimana mungkin wanita yang bahkan tak pernah ia kenal tiba-tiba masuk di keluarganya dan berniat menggantikan posisi ibu kandungnya? Jika ada yang sudah bertahun-tahun saja ditinggalkan ibunya, seorang anak masih tidak rela ayahnya menikah lagi, lalu bagaimana dengan Fania yang bahkan belum kering makam ibunya sudah dihadapkan kembali pada butir-butir pil pahit? Siap tidak siap, Fania harus menelannya bersamaan rasa sakit hatinya. "Ma, Fania udah bertemu wanita itu. Dia menyapa Fania dengan ramah, tersenyum sama Fania dengan hangat, dan sikapnya memang terlihat keibuan. Fania dengar wanita itu adalah cinta pertama papa. Apa Mama udah tahu itu? Menurut Mama, apa ini adil setelah kenyataan Mama meninggal dan papa menemukan kembali cinta pertamanya?" Tahukah berapa lama jasad wanita di dalam tanah yang Fania panggil 'Mama' itu meninggalkan keluarganya? Belum genap 100 hari. Belum genap 100 hari ibunya meninggal, tetapi ayahnya sudah membicarakan seorang wanita lain yang tidak lama lagi akan dipersuntingnya menjadi seorang istri. Lucu. Jujur saja Fania tidak sudi menerima wanita itu menggantikan kedudukan almarhumah ibu kandungnya. Tidak sampai kapan pun. Ia tidak menyukai wanita itu. Di matanya, wanita itu bahkan seperti tidak tahu malu, meskipun kelihatannya berasal dari kalangan berpendidikan. Fania merasa telah kehilangan hak menolak keputusan sang ayah yang bahkan hanya untuk mendengar pendapatnya saja tidak dipertimbangkan. Oh, seharusnya Fania ingat ayahnya memang tidak pernah melibatkannya dalam setiap pengambilan keputusan di keluarga. Selama ini ia tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Sungguh, apakah ini memang sifat asli ayahnya? Seorang ayah yang ia kenal ini tak ubahnya seperti pria tua hidung belang yang begitu mudah terpikat dengan wanita lain setelah istrinya meninggal. Maafkan Fania, Pa. Fania terpaksa berkata sekasar itu pada Papa. Papa pantas menyebut Fania anak durhaka yang tega menghujat ayahnya sendiri dengan kata-kata yang nggak sepantasnya. Tapi Fania udah benar-benar nggak bisa mengerti Papa. Fania nggak tahu apakah Fania harus kecewa atau menghormati keputusan Papa kalau Papa memang menginginkan seorang pendamping hidup untuk masa tua Papa. Bagi Fania ini terlalu cepat, sehingga yang ada dalam pikiran Fania saat ini adalah Papa nggak benar-benar mencintai mama. Fania mengusap air matanya yang ternyata sudah meleleh di pipi. Oh, sebenarnya ia benci mengeluarkan aliran bening ini. Gadis berkulit putih itu tidak suka menyebut dirinya sendiri cengeng. Cukup saat prosesi pemakaman ibunya ia menangis. Baru saja ia hendak beranjak dari pemakaman umum itu ketika terdengar nada pendek tanda ada pesan masuk dari ponselnya. Pesan dari ayahnya. Fania mendesis pelan sambil memutar bola matanya malas begitu membaca isi pesan dari satu-satunya orang tua yang masih ia miliki sekarang ini. Gadis itu menepis daun kering yang jatuh di atas kerudung biru dongkernya, lalu mengetikkan balasan pesan itu ke nomor ayahnya dengan cepat. Setengah kasar, Fania melempar smartphone tidak berdosa itu ke dalam tas tanpa memastikan, apakah pesan yang ia ketik tadi sudah benar-benar terkirim ke nomor ayahnya atau belum. Fania meninggalkan makam ibunya. Sekarang ia akan bergerak ke bandara. Oh, ia benar-benar berpikir sedang hidup dalam cerita Cinderella, sebab bukan saja ibu tiri yang akan ia dapat, melainkan juga saudara tiri. Kenapa juga harus dirinya yang ditugaskan untuk menjemput orang itu di bandara? Huh, benar-benar manja! ❤ Seorang pemuda bertubuh tegap dengan ransel tersandang di punggungnya, sementara tangan kirinya menarik sebuah koper dan tangan kanan menggenggam smartphone, baru saja melewati jalur pintu kedatangan bandara internasional itu. Setelah sekian lama di negeri orang, akhirnya ia bisa menginjakkan kaki di negeri tanah airnya kembali. Pesawat yang ditumpanginya tiba di Semarang dengan selamat pukul 16:25. Ia sudah membayangkan cuaca Kota Semarang di sore hari yang tampak cerah ini akan segera menyambutnya begitu keluar dari gedung bandara. Apakah Semarang masih sama? Apakah Semarang banyak berubah? Yang jelas ia tidak akan mendapati rasa rindu yang lebih besar daripada untuk kota kelahirannya sendiri. Meskipun kota ini juga pernah memberikan kenangan buruk di masa kecilnya, tetapi ia berharap dapat membentuk kenangan baik begitu ia telah memutuskan kembali. Laki-laki itu tersenyum kecil menikmati perasaan bahagianya yang meluap. Ah, bukankah yang lebih menggembirakan, karena memang inilah salah satu alasan yang menguatkannya kembali ke Indonesia. Hari ini juga ia akan bertemu dengan gadis itu. Hilir mudik orang-orang dengan beragam intensitas keperluan mereka di bandara itu sepertinya akan sedikit menyulitkannya untuk menemukan seorang gadis yang dikabarkan akan menjemput. Tunggu, mungkin tidak juga. Gadis cantik berhijab dengan kerudung berwarna biru dongker, kontras dengan kulitnya yang putih, yang berdiri di sana itu agaknya sedang menunggu seseorang. Sejenak laki-laki itu hanya memandangi si gadis dari kejauhan, meski kadang terhalang orang-orang yang berlalu-lalang di depannya. Masya Allah, calon saudari tirinya itu bahkan lebih terlihat cantik daripada di fotonya. Namun, sebaiknya ia tidak membiarkannya menunggu terlalu lama lagi, terlebih sebelum gadis itu merasa semakin jenuh setiap kali menengok jam tangan. "Permisi, apa kamu Fania? Fania Wirantama, putrinya Pak Arman Wirantama, kan?" Dengan senyuman termanisnya, Bintang menyapa gadis berparas cantik yang sudah dihampirinya itu. Melihat kerutan di kening Fania dengan mata yang menatapnya asing, Bintang merasa perlu memperkenalkan diri. "Seharusnya kita juga bisa saling ketemu waktu itu. Tapi karena aku masih harus mengurus sesuatu di Jepang, jadi aku nggak bisa ikut ke pertemuan keluarga kita. Oh ya, perkenalkan, aku Bintang." ❤ Fania nyaris mengutuk dirinya sendiri ketika ia benar-benar sudah berada di bandara. Serius, ia harus menjemput calon saudara tirinya itu di sini? Parahnya, kenapa ia bersedia menuruti perintah ayahnya yang sungguh memuakkan ini? Jelas ia lebih mudah menolak kalau ayahnya berhenti memaksakan kehendak dan berhenti mengulang-ulang permintaan agar Fania mau mengenal putra dari calon istrinya itu terlebih dahulu. Sebenarnya Fania bersedia menuruti perintah ayahnya karena ayahnya berjanji akan membatalkan rencana pernikahan itu jika pada akhirnya Fania tetap tidak bisa menerima kehadiran mereka. Tepat! PEMBATALAN-RENCANA-PERNIKAHAN. Begitulah tulisan besar-besar itu ia tanamkan di otaknya sebagai target. Keinginan terbesar Fania. Untuk itu sekarang ia mau bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Kesakitan di awal, menerima persyaratan ayahnya. Pukul 16:25. Pesawat keberangkatan Tokyo menuju bandara transit destinasi Semarang tidak dikabarkan delay. Seharusnya pesawat yang dinaiki orang itu sudah sampai. Di antara lalu-lalang pengunjung bandara, Fania memang kesulitan mencari orang itu. Sialnya lagi, ia bahkan tidak tahu bagaimana ciri-cirinya. Satu hal yang ia ingat dari pesan ayahnya, putra wanita itu sebaya dengannya. Kalau memerhatikan sekitar, memang ada beberapa laki-laki muda yang tampak seperti pendatang dan seumuran dirinya. Lalu, apa Fania perlu menanyai mereka satu per satu dengan pertanyaan bodoh, "Halo, apa kamu putra dari calon istri baru ayahku?". Huh, menggelikan. Sudahlah, ia tidak mau capek-capek. Biar laki-laki itu saja yang berusaha menemukannya. Fania kembali melihat jam tangannya dengan jenuh. Sekarang sudah pukul 16:45. Baiklah, lima menit lagi ia tidak segera mendapati laki-laki itu, maka ia akan ... akan menunggu lima menit lagi. Oh, baiklah, sepuluh menit lagi ia tidak segera mendapati laki-laki itu, maka ia akan pergi. Terserah ia melanggar syarat pertama ayahnya. Toh, siapa suruh laki-laki itu sulit ditemukan. "Permisi, apa kamu Fania? Fania Wirantama, putrinya Pak Arman Wirantama, kan?" Kening Fania berkerut heran mendapati seseorang tak dikenal yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya. Apa orang itu berbicara dengannya? Ya, telinga Fania belum tuli ketika mendengar pemuda itu menyapa namanya. Terlebih sebagai putri Arman Wirantama, ayahnya. Akan tetapi, siapa pemuda itu? Bagaimana bisa tahu namanya? Sementara Fania masih bertanya-tanya dalam hati, ia mencoba mengamati laki-laki yang tengah tersenyum padanya itu. Tubuhnya tinggi agak kurus. Kulitnya putih bersih, nyaris tanpa cela. Kontras oleh rambutnya yang berwarna gelap dengan tatanan curtain. Entah bagaimana pula penampilannya bisa tampak serasi oleh setelan celana panjang chino dengan atasan kemeja putih yang dipadukan scraf bermotif salur, jaket trench abu-abu, dan sepasang sneakers warna senada. Intinya secara fisik, laki-laki berwajah oriental itu memang terlihat menawan beserta perpaduan outfit yang melekat pada tubuhnya. Jika Fania tidak cepat-cepat beristigfar dalam hati dan menahan pandangannya, mungkin ia sudah akan terhanyut ke dalam pesona laki-laki itu. Sebelum Fania sempat bertanya, laki-laki itu sudah menambahkan, "Seharusnya kita juga bisa saling ketemu waktu itu. Tapi karena aku masih harus mengurus sesuatu di Jepang, jadi aku nggak bisa ikut ke pertemuan keluarga kita. Oh ya, perkenalkan, aku Bintang." Fania kembali mengamati laki-laki yang lebih tinggi darinya itu dari atas ke bawah. Oh, jadi laki-laki itu yang namanya Bintang, calon saudara tirinya. Sebelum ini Fania tidak berminat dan tidak pernah mau tahu seperti apa rupa Bintang, sekalipun ibu Bintang sudah menunjukkan foto putranya itu kepadanya. Fania tidak peduli apa pun tentang Bintang saat itu. Fania mengembalikan tatapannya ke atas hingga bertemu dengan mata jernih laki-laki itu. Mata yang seolah ikut tersenyum ketika senyuman dari bibir Bintang tidak memudar. Senyuman yang memancarkan jutaan kehangatan di wajah tampannya. Tunggu, apa yang barusan itu Fania sedang mengaguminya? Ayolah, jangan bercanda. Ia tidak menyukainya. Mau setampan maupun sehangat apa pun laki-laki itu, tetap saja dia adalah calon saudara tirinya, putra semata wayang—Tante Alda—wanita yang akan dinikahi ayahnya. Fania tidak merasa ia harus memperlakukannya dengan baik. Sejak awal, ia sudah bertekad tidak akan berlaku lunak kepada siapa pun yang mempunyai hubungan dengan wanita itu, terutama putranya. Bintang mulai menyadari sorot mata dingin Fania yang membuatnya jadi salah tingkah. Apalagi Fania seperti tidak berminat membalas ucapan salam perkenalannya. "Sepertinya aku terlalu banyak bicara, ya? Mungkin karena aku merasa senang akhirnya bisa bertemu langsung sama kamu," ujarnya tersenyum lebar, mengabaikan sikap dingin Fania. "Ya, kamu terlalu banyak bicara." Hanya sepatah kalimat bernada ketus itu yang dilontarkan Fania sebelum berjalan mendahului Bintang. Membiarkan laki-laki itu tercengang sesaat atas sikapnya. Kedua mata Bintang mengerjap ketika ia sadar harus bergegas mengikuti langkah cepat Fania. "Tunggu, apa kamu marah padaku? Apa kamu kelamaan nungguin aku, jadi kamu marah? Maaf, kalau karena ini jadi menyita waktumu. Tadinya udah kujelasin ke Papa Arman supaya Fania nggak usah menjemputku ke bandara." Semua perkataan Bintang tidak mendapat tanggapan apa pun dari Fania. Semua dianggap angin lalu dan Fania memang tidak ingin berbicara dengannya. Hingga mereka tiba di parkiran mobil dan Fania sudah siap di depan kemudi, ia masih mengabaikan Bintang. "Maaf, bisa buka bagasinya?" Termasuk permintaan Bintang barusan, Fania berusaha menahan erangannya agar tidak keluar dari mulut. Bintang masih bisa menangkap decakan kesal Fania. Buru-buru ia memasukkan ransel dan kopernya ke bagasi setelah dengan sisa kebaikan hatinya, Fania bersedia membukakan bagasi itu juga. Lalu Bintang segera menuju kursi penumpang depan karena sepertinya Fania sudah tidak sabar ingin melajukan mobil. Lima belas menit perjalanan mobil dari bandara hingga berbaur dalam lalu lintas Kota Semarang hanya dilalui dengan diam. Sejak di dalam bandara, Bintang sudah merasa tidak enak hati. Ditambah Fania yang mencuekinya. Ia tidak nyaman kalau diam-diaman terus seperti ini. "Kamu sungguh marah sama aku? Maaf ya, kalau aku merepotkanmu," ucap Bintang kesekian kalinya dengan permintaan maaf. Fania masih diam. Tidak menggubris. Tetap fokus pada mobil yang dikendarainya. Mencoba tidak berpikir macam-macam dulu di pertemuan pertama ini, Bintang berucap lagi, "Tapi jujur, aku senang sekali karena sebentar lagi kita akan jadi saudara. Atau kita memang udah ditakdirkan untuk jadi saudara." Fania mendengkus geli, seolah kalimat yang baru saja diocehkan Bintang membuatnya tergelitik. "Kamu ... siapa namamu tadi? Bin ... Bintang?" Ia mendengkus lagi. "Nama yang bagus. Tapi aku nggak nyangka kamu itu benar-benar naif. Katamu, kita udah ditakdirkan untuk jadi saudara? Simpan aja itu dalam mimpimu." "M-maksudmu?" tanya Bintang ragu-ragu. Dengan heran, ditatapnya Fania yang tetap sibuk menyetir mobil. Lewat ekor matanya, Fania melirik Bintang yang duduk di sampingnya, lalu menyeringai sinis. "Baiklah, kita sama-sama jujur aja sekarang karena aku juga nggak mau berbasa-basi lagi. Asal kamu tahu, aku sama sekali nggak tertarik bersaudara atau apa pun itu denganmu." Nada remeh disematkan Fania tanpa mengurangkan penekanan pada kalimat terakhirnya. "Tapi, kenapa? Kenapa kamu nggak mau bersaudara denganku? Maksudku, papamu dan mamaku akan menikah. Berarti kita akan jadi saudara, bukan?" "Itu kan cuma pendapat kalian. Apa papaku belum bercerita kalau aku nggak pernah mau setuju dengan pernikahan mereka?" Suasana berubah hening. Bintang mendadak bingung mengetahui pengakuan Fania yang sangat berbanding terbalik dengan pemikirannya. Bukankah papa Fania sendiri yang mengatakan kalau Fania tidak keberatan dengan rencana pernikahan itu, sehingga Bintang juga merasa lega? Namun, kenapa sekarang kenyataan yang diterimanya justru berbeda?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD