Episode 03

2526 Words
Tiga hari berikutnya, pernikahan Leon dan Elsa berlalu begitu saja. Mereka masih tidur seranjang walaupun Elsa masih diliputi rasa gugup yang sama, namun dia tidak bisa menyangkal bahwa tidurnya setiap malam lebih nyenyak ketimbang malam-malam sebelumnya yang dia habiskan di dalam kamarnya yang sempit, yang hanya beralaskan kasur lipat tipis. Lalu pada siang harinya, Elsa meminimalisir waktunya sebanyak mungkin di dalam kamar dan dia lebih sering bersama mami mertuanya. Menghabiskan banyak waktu di dapur, mencoba menu-menu baru yang tidak pernah Elsa ketahui sebelumnya. Sedangkan sang ayah mertua masih dalam perjalanan bisnis di Paris menggantikan Leon. Dan Leon sendiri, sekalipun dalam masa libur, masih disibukkan dengan pekerjaannya yang ia kerjakan secara online. Mami mengajarkan pada Elsa untuk menjadi istri yang berbakti kepada suami. Walau terkadang Elsa merasa statusnya yang baru terdengar dan terasa begitu asing baginya. Namun semua ajaran yang Mami ajarkan pada Elsa adalah berupa perlakuan-perlakuan kecil, seperti halnya menawarkan Leon makan, menyediakan air minum di nakas sebelum tidur, mengajaknya mengobrol (hal yang paling sulit dilakukan), dan menyiapkan pakaian apa yang akan digunakan untuk suaminya setiap hari. Awalnya, Elsa pikir Leon akan marah-marah kepadanya seperti di hari pertama pernikahan mereka, namun kini Leon tampak lebih dingin dan lebih sering menghindari Elsa. Setiap pagi ketika memilihkannya pakaian, Elsa selalu diliputi antisipasi apakah Leon akan menyukainya, dan pria itu rupanya mengenakan apapun pakaian yang Elsa siapkan dan tidak pernah mengomentarinya. Berkat Mami mertua, Elsa tahu apa saja yang disukai oleh Leon. Intinya, warna gelap. Dan hari ini… hari ini adalah hari pertama Leon dan Elsa kembali ke aktifitas mereka masing-masing. Ketika kenyataan itu menyadarkannya, Elsa tidak bisa menghentikan gejolak penuh antisipasi di perutnya. Dia akan kembali ke sekolah. Satu lagi tempat yang paling dibencinya selain rumah.   ***   Leon berangkat ke kantor pada pagi hari, ketika memasuki ruangan, dirinya langsung disambut oleh kehadiran seorang perempuan cantik yang duduk di sofa ruangannya. Leon melirik sang sekretaris yang setia berdiri di dalam ruangan itu, lalu mengibaskan tangan yang berarti menyuruhnya keluar.      Leon menuju meja kerjanya, meletakkan tas kerjanya, lalu bergabung di sofa bersama perempuan itu, duduk di hadapannya. “Apa yang mendorong seorang Kanaya Elvarette datang ke sini sepagi ini?” Leon tidak tersenyum, namun perempuan di hadapannya terkekeh merdu. Garis cantik di wajahnya itu sungguh menawan, memesona setiap lelaki yang melihatnya, tidak terkecuali Leon. Dulu, Leon sempat dibuat terpesona oleh paras dewi itu, sampai dia menyadari bahwa kecantikan dan keahlian perempuan di ranjang bukanlah hal yang ia inginkan dalam sebuah hubungan. Mereka berkencang sekitar satu bulan, sebelum akhirnya Leon bosan dan memutuskan hubungannya dengan Kanaya. Hal yang juga sering ia lakukan pada perempuan lain yang tidak kalah cantik. “Kamu bener-bener tahu aku,” ucap Kanaya, masih tersenyum. “Aku memang paling anti bangun pagi, tapi setelah mendengar perkataan kakek semalam, kupikir aku harus sedikit berkorban hari ini.” Rahang Leon mengeras. Kemarin, ayahnya memberitahu dari Paris mengenai kesepakatan yang David Hardian inginkan dalam kerjasama bisnis mereka. Dan Leon benar-benar membenci kesepakatan itu, namun dia tidak bisa melihat jalan keluar lain. Suara decakan Kanaya membuat Leon menoleh padanya, perempuan itu tengah memberengut kesal. Lalu tiba-tiba saja dia bangkit dan duduk di dekat Leon, sangat dekat dengannya. “Kamu nggak perlu sekaku ini mengingat apa yang telah kita lakukan sebelumnya.” Kanaya tersenyum menggoda. Mengusap rahang Leon dengan jemarinya yang halus. Namun Leon tidak merasakan apa-apa. Dia bertanya-tanya, ada apa dengan dirinya. Kanaya jelas-jelas tengah menggodanya, namun dia sedikitpun tidak merasa tergoda oleh tubuh molek yang dibalut pakaian mahal dan terbuka itu. Lalu sebuah bayangan memasuki benak Leon. Bagaimana jika Elsa yang melakukan ini padanya? Bagaimana jika Elsa yang berada di sampingnya saat ini? Apakah Leon masih sanggup mempertahankan kewarasaannya? Dan jawabannya langsung Leon temukan. Karena hanya dengan memikirkan gadis itu membuat Leon merasa b*******h. Lalu dia pun menyadari, mungkin perasaan aneh pada gadis itu juga akan berakhir sama seperti sebelum-sebelumnya. Suatu saat nanti, Leon juga akan bosan. Kanaya melebarkan senyum, mengecup pipi Leon, mengira tatapan berkabut pria itu ditujukan padanya. “Aku nggak sabar,” bisik Kanaya, “untuk jadi istri kamu.” Istri. Leon tersadar dan mengalihkan pandang darinya. Dengan sangat terpaksa, dia mengangkat sebelah tangan lalu merangkul Kanaya, membuat senyuman lebar terbit di wajah perempuan itu. Kenyataan bahwa Leon telah memiliki istri di rumah, membuatnya dilema. Apakah dia harus melepaskan kesempatan bekerjasama dengan David Hardian yang sangat besar keuntungannya, demi seorang gadis bertubuh mungil di rumahnya yang ia sebut istri? Leon tidak yakin. Jika saja pengumuman kesepakatan ini datang lebih awal sebelum pernikahannya, dia pasti masih akan tertarik dengan Kanaya Elvarette Hardian. Dan semuanya pasti akan jauh lebih mudah. Leon sangat sadar bahwa Maminya sangat menyukai Elsa, sedari dulu wanita kesayangan Leon itu selalu menginginkan anak perempuan, namun sayangnya sang Mami sudah tidak bisa lagi mengandung. Kehadiran Elsa benar-benar membuat Maminya bahagia. Lalu Leon membayangkan bagaimana jadinya jika yang menjadi menantu sang mami adalah wanita di sampingnya ini. Apakah Mami juga akan menyukai Kanaya sebagaimana beliau menyukai Elsa? Karena Kanaya adalah sosok perempuan yang tidak akan mau repot-repot memasak masakannya sendiri, apalagi bergumul dengan pakaian kotor di ruang laundry, dan menyapu mengepel mungkin sesuatu yang tidak akan sudi dilakukannya sepanjang hidup. Kanaya terbiasa dengan pelayanan orang-orang di sekitarnya. Dia hidup dalam keluarga kaya raya yang memperlakukannya bak seorang putri. Satu-satunya hal yang menjadi nilai plus pada Kanaya bagi Leon adalah kecantikannya dan kemampuan wanita itu di atas ranjang yang telah membuat Leon bosan. Leon seharusnya tidak membeda-bedakan mereka, namun pemikiran itu tidak bisa meninggalkan isi kepalanya begitu saja.   ***   Kehidupan Elsa tidak pernah sama seperti remaja kebanyakan. Ketika yang lain menghabiskan waktu mereka dengan smartphone masing-masing dan bersosialisasi dengan banyak orang di seluruh dunia, Elsa terisolasi di dalam rumah mengerjakan pekerjaan rumah juga sepulang sekolah harus kerja paruh waktu di toko. Di sekolah, Elsa terkenal sebagai gadis cupu siswi kesayangan guru. Kegemarannya dalam membaca buku dan mengerjakan soal-soal eksak membuatnya selalu menjadi juara di kelas. Namun hal itu juga sekaligus menjauhkan orang lain darinya. Seperti pagi ini, Elsa sengaja datang pagi-pagi untuk melaksanakan jadwal piket kelasnya, namun sekalipun teman-temannya yang lain yang juga memiliki jadwal piket hari ini telah datang, mereka tidak ikut menyapu dan membiarkan Elsa mengerjakan semuanya sendiri. Elsa bisa saja melakukan seperti yang mereka lakukan, namun tanggung jawab adalah tanggung jawab. Lalu seorang perempuan dengan parfum yang sangat menyengat di indera penciuman mendekati Elsa ketika Elsa baru saja mendaratkan bokongnya di tempat duduk. Sella Mauria membanting sebuah buku ke atas meja Elsa. Tatapan bingung Elsa terdongak menatap cewek itu. Lalu dengan entengnya Sella berkata; “Jam kedua nanti harus sudah jadi!” Dan tanpa menunggu respon Elsa, Sella berlalu pergi. Penasaran, Elsa pun membuka buku itu dan melihat bahwa itu adalah buku tugas Fisika yang akan dikumpulkan pada jam terakhir nanti. Sella menyuruh Elsa mengerjakannya. Dengan helaan napas pasrah, Elsa mengambil perlengkapan alat tulisnya dan mulai mencoret-coret kertas dengan angka untuk mencari jawabannya. Sepanjang delapan jam berikutnya, tidak satupun dari teman-teman kelasnya mempedulikan Elsa, atau repot-repot mengajaknya mengobrol. Jika tidak ada keperluan mengenai tugas, Elsa akan benar-benar ditinggalkan seorang diri. Maka dari itulah, Elsa tidak bisa menolak mereka, karena hanya dengan itu dia dapat berkomunikasi dengan teman-teman kelasnya.   *   Malam telah larut, Leon sengaja mengulur-ulur waktu kepulangannya, untuk menghindari Elsa dan berharap gadis itu sudah tertidur pulas ketika Leon sampai. Leon tidak ingin menghadapi kepolosan yang menyiksanya. Akan tetapi, setelah membuka pintu kamar, tatapan Leon yang langsung tertuju pada ranjang tidak menemukan tubuh terbaring Elsa di sana. Dia pensaran kemana perginya gadis itu. Ini sudah larut dan biasanya Elsa sudah jatuh tertidur pada jam selarut ini. Tidak ingin terlalu mempedulikannya, Leon meletakkan tas kerjanya dan sambil berjalan menuju kloset dia membuka jas dan melonggarkan dasinya yang terasa mencekik leher. Ketika pintu kloset terbuka, mata Leon juga langsung terbuka lebar, oleh suguhan pandangan yang ada di hadapannya. Elsa, dengan tubuh yang hanya dibalut celana dalam bermotif bunga serta bra berwarna pink, memperlihatkan sebagian banyak kulitnya yang mulus dan tampak putih dan semakin pucat di bawah pencahayaan neon. Sepertinya adalah sebuah kesalahan ketika Leon bilang Elsa bertubuh kerempeng, karena lekukan halus itu… tampak sangat nyata dan begitu menggiurkan. Sedangkan Elsa masih belum menyadari keberadaan Leon dan masih disusahkan untuk membuka lemari paling atas. Dia berjinjit, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, ketika berhasil membuka pintu lemari, dia disusahkan lagi untuk mengambil apa yang ada di dalamnya. Leon merasakan hawa panas di sekujur tubuhnya. Keinginan yang begitu besar  untuk mendorong gadis itu ke dinding dan menciumnya sampai dia melupakan namanya sendiri dan hanya mengingat Leon, lalu mendesahkannya dengan suara terseksi di dunia. Leon diliputi gairah yang membuat sekujur tubuhnya membutuhkan pelepasan saat itu juga. Leon mendekat, berdiri tepat di belakang Elsa dan mengambilkannya sebuah pakaian yang ia coba untuk raih sedari tadi. Suara kesiap Elsa dan keterkejutannya yang spontan membalik tubuh, semakin memperburuk keadaan bagi Leon. Ketika menunduk, Leon bisa melihat manik hitam jernih itu menatapnya lebar, lalu turun ke bibirnya yang terbuka, dan ke celah di antara dadanya. “K-kak Leon!” seru Elsa, sedetik setelah itu darah panas naik ke wajahnya. Leon menggertakkan gigi. “Kamu… kenapa jam segini belum tidur?” Elsa tidak lagi menatap matanya dan tampak gelisah oleh keadaannya sendiri yang nyaris tidak berbusana. Elsa mencari-cari letak handuknya yang teronggok di lantai dekat pintu, mustahil untuk mengambilnya karena saat ini Leon berdiri dalam jarak yang sangat minim dengannya. “A-aku habis mandi. Mau nunggu kak Leon pulang sambil rapihin baju yang habis disetrika,” jawab Elsa dengan raut wajah tegang. Ketika akhirnya Leon menjauh, Elsa segera mengambil handuknya dan melilitkannya ke tubuh. Dia lalu mendongak, menatap Leon lagi yang dengan terang-terangan juga tengah menatapnya. Dan Elsa bingung harus bagaimana ketika tatapan mereka terkunci satu sama lain. Leon tadi sempat melirik keranjang di bawah kaki Elsa yang berisi pakaian-pakaiannya yang telah dilipat rapi dan seperti yang Elsa bilang, telah disetrika. Biasanya, dia punya pembantu rumah tangga yang akan melakukan itu padanya. Mencuci pakaian, melipat, menstrika, dan memasukkannya ke dalam lemari. “Kamu yang setrika?” Leon bertanya, mengalihkan fokusnya dari tubuh molek Elsa yang sayangnya telah tertutup lapisan kain tebal dari handuk itu. “I-iya.” “Kenapa?” Kenapa? Elsa tampak kebingungan. Dia tidak mengerti kenapa Leon menanyakannya ‘kenapa?’. “Seharusnya pekerjaan seperti ini dikerjakan oleh pembantu rumah tangga yang Mami sewa. Kita bukan keluarga miskin, Elsa. Aku pernah bilang ke kamu untuk menikmati kemewahan yang ada di sini selagi kamu bisa.” Ya, Leon bertanya-tanya mengapa Elsa tidak menggunakan kesempatan itu untuk menikmati hidupnya dalam kemanjaan fasilitas yang ada di rumah ini. Alih-alih, Elsa malah mencuci pakaiannya, melipat, bahkan mensetrika semuanya. Dia curiga bahwa beberapa hari ini gadis itu juga yang membersihkan kamarnya. Karena nyaris tidak satupun pelayan rumah tangga yang biasa Leon lihat pada jam-jam tertentu mendatangi kamarnya dan membersihkan semuanya tanpa suara. “Bu-bukan begituuu! Aku cuma… aku cuma ngelakuin sesuatu yang seharusnya aku lakuin sebagai seorang istri yang baik.” “Istri yang baik?” Leon mengejek. Karena bagi Leon istri yang baik jelas-jelas tidak akan membiarkannya tersiksa oleh gairah seperti saat ini. Elsa menganggukkan kepala. “Aku mungkin masih keliatan kecil di mata kak Leon, tampak seperti remaja manja kebanyakan. Tapi percayalah, pekerjaan-pekerjaan rumah seperti ini sudah biasa untuk aku, jadi aku bisa. Kalau kak Leon nggak percaya dengan kebersihan dan kerapihannya, aku bisa cuci dan setrika ulang.” Jelas, bukan itu yang ingin Leon dengar. Elsa tampak sangat gugup, seolah dia siap meloncat dari tempatnya dan menembus tembok untuk pergi dari hadapannya saat itu juga. Tapi Leon memakluminya, istri kecilnya masih terlalu polos untuk memahami apa yang terjadi pada tubuhnya saat ini. Senyum bermain di bibir Leon. “Aku percaya, jadi kamu mau bilang, bahwa kamu lebih dewasa dari usia 18 tahun?” Elsa tidak mengerti, dan dia tidak tahu harus menjawab apa. Benarkah seperti itu yang dia ingin katakan? Tatapan Elsa yang tertuju pada lantai menangkap pergerakan kaki Leon yang berjalan mendekat, refleks membuatnya mundur ke belakang. Padahal kloset itu luas dan dilengkapi dengan AC yang sejuk. Namun kenapa sekarang Elsa merasa begitu panas? Ketika tubuhnya terpojok, Leon berdiri semakin dekat padanya. Lalu jemari panjang lelaki itu menyentuh dagu Elsa, memaksanya mendongak sampai lensa mereka saling bertubrukan. “Kamu tahu apa yang seharusnya dilakukan seorang istri yang baik kepada suaminya?” Elsa tahu, hal-hal mendasar yang pernah Mami ajarkan padanya. Namun saat ini, semua itu menguap dari kepalanya. Yang hanya menjadi fokus adalah kedekatan mereka dan betapa hal itu membuat fungsi kerja otak Elsa melamban sedangkan kerja jantungnya semakin cepat. Elsa pun menggeleng. Leon menampakkan senyum yang paling menawan. Dan Elsa baru saja menyadari, bahwa Leon memang sangat tampan. Well, sebelumnya dia tahu bahwa suaminya adalah seorang pria tampan, tapi berdiri di sini saat ini dalam posisi seperti ini, Elsa dapat melihat lebih jelas dan langsung menyadari bahwa Leon adalah lelaki tertampan yang pernah dia temui. “Istri yang baik, adalah istri yang bisa memuaskan gairah suaminya di ranjang.” Elsa terkejut. “Apa kamu pernah melakukannya walau hanya sekedar berpikir mencoba?” Sekarang tubuh Elsa bergetar hebat. Dia tahu pada kewajibannya yang satu itu yang sampai saat ini belum ia penuhi. Ia pikir, karena alasan pernikahan mereka dan usia yang terpaut jauh di antaranya membuat mereka menjadi pasangan suami istri yang berbeda yang tidak memerlukan hubungan semacam itu. “K-kak Leon mau ngelakuin itu ke aku sekarang?” tanya Elsa dengan polosnya, mata gadis itu sudah tergenang air dan raut di wajahnya tampak seolah dia tengah menahan tangis sekuat tenaga. Leon mengusap wajah Elsa, di bawah matanya, lalu turun ke bibirnya. “Jangan khawatir. Aku cukup bermoral untuk tidak melakukannya pada gadis di bawah umur.” Seolah beban besar baru saja berhasil diangkat dari pundaknya. Elsa tampak sangat lega. Dengan penjelasan Leon itu, walau merasa masih ada yang sedikit mengganjal di dalam hatinya, Elsa merasa lebih aman. Tanpa bisa ditahan, kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk lengkungan yang sangat indah. Leon terpana. Senyum itu lagi. Dia baru sadar bahwa selama pernikahan mereka Elsa tidak pernah terseyum padanya. Dan ini adalah yang kedua kali. Sangat cantik, pikir Leon. Bagaimana bibir ranum itu merekah dan membentuk senyum termanis yang pernah Leon lihat. Tangan Leon masih di dagu Elsa, turun ke tengkuk lehernya, dan sebelum akal sehat Leon datang untuk menyadarkan apa yang tengah terjadi, Leon memajukan wajahnya, menghapus senyum di wajah Elsa, lalu Leon mendaratkan bibirnya di atas bibir gadis itu. Panas segera menjalari seluruh tubuh keduanya. Darah mengalir lebih deras dan jantung berdetak lebih kuat. Ketika bibir panas Leon yang telah mendamba melumat bibir Elsa, kesiap kecil keluar dari tenggorokan gadis itu. Leon menjilat bibir terkatup Elsa dengan lidah. Tekstur lembut dan kenyal itu membuatnya ketagihan. Mungkin ini hanya halusinasinya saja namun bibir Elsa adalah bibir termanis yang pernah Leon kecup, sehingga dia tidak bisa berhenti menggerakkan bibirnya di sana, melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Entah sampai berapa lama, ketika dia merasa tubuh Elsa melemas, Leon pun terpaksa melepas pagutan bibir mereka dan menatap gadis itu. “Bernapaslah.” Di saat itu juga Elsa langsung membuka mata dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Kepalanya pening dan berkunang-kunang. Bahkan wajah di hadapannya saat ini tampak tidak jelas. Namun ciuman itu, bahkan jejaknya masih terasa nyata, seolah bibir mereka masih menempel satu sama lain. “Elsa?” Elsa tidak menjawab. Pandangannya semakin kabur, sebelum akhirnya dia kehilangan kesadaran.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD