Anak itu Athan

1002 Words
“Ah, Gaby pasti bisa tepati. Tenang aja, sebelum akhir bulan ini, barangnya sudah Gaby belikan.” Dan Gaby mengutuk dalam hati, mengapa banyak berjanji kepada Mama? Akhir bulan ini, kan tinggal dua minggu lagi. Mustahil! “Mama tidak percaya. Mama tidak mau kemakan omongan lagi. Tahunya nanti kecewa berat.” Beberapa saat ruangan itu hening, Gaby menunduk. Ada adik Gaby yang baru saja pulang sekolah. “Assalamualaikum!” salam itu menghentak tatap-tatapan antara Dian dan Gaby. “Ada apa, ni? Kayak ada yang mo dibunuh?” tanya adik Gaby—yang masih SD. “Katanya kakakmu ini, mau belikan mama perhiasan. Mana mampu dia,” sindir Dian matanya mendelik ke arah Gaby. Adiknya itu malah mendukung kakaknya. “Wah, Kak Gaby pasti bisa, Ma. Kasih uang jajan dan bulanan ke aku aja, dia bisa apalagi beliin Mama perhiasan. Mama mau yang kemarin, itu, kan?” “Persis!” Gaby menyambut dengan jentikan jari. “Pasti Kak Gaby bisa, deh. Semua teman-temanku yang dapet nilai bagus kasih uang tambahan ke Kak Gaby. Jadi, pasti Kakak bisa.” Gaby membuat bulatan dengan jarinya, menyatukan jari jempol dan kelingking. “Oke, aku mau istirahat dulu, capek abis belajar keras!” Dian mendengkus, kakak dan adik sama saja! Komplotan penggoyah iman mama yang memang sudah goyah! “Oke. Kalau kamu sanggup, Mama tunggu. Kalo kamu menepati janji, kamu bisa melakukan apa saja. Airlangga bisa titip ke Mama.” “Deal!” ujar Gaby dan meminta bersalaman. Ada kepuasan dan ketenangan dalam hati Gaby, sebentar lagi dia bisa lanjut kuliah. Kira-kira dia akan ambil jurusan apa, ya? Dari tadi dia tidak bisa berhenti tersenyum. Gaby berselancar di internet, ada jurusan apa saja yang sedang naik saat ini. Akuntanrsi dan disain grafis. Gaby rasa dia ingin sastra saja. Ya, itu, sastra! Gaby segera cari tahu cara untuk mendaftar di universitas favoritnya. Universitas negeri saja, spesialisasi keguruan. Berharap bisa jadi pegawai pemerintahan. Gaby mengetik nama universitas itu, dan kebetulan sudah buka pendaftaran. Tapi kemudian, dia memikirkan bagaimana caranya memberi mamanya perhiasan itu? Pikiran Gaby tetiba ruwet. Uang dari mana? Dia melihat ke arah ranjang, Airlangga sudah tidur dengan pulas. Dari mana nanti memenuhi kebutuhan Airlangga yang makin banyak. Gaby menghela napas, seraya mengucap doa. Beberapa hari berselang belum ada titik terang dari masalah ini. Tapi, Gaby tetap sabar dan memperhitungkan. Kalau ambil dari tabungan untuk kuliahnya, tidak mungkin! Untuk pendaftaran dan bayar gedung, harus ada sepuluh juta paling tidak. Kalau diambil untuk beli perhiasan, tidak akan cukup untuk kelanjutan biaya semesternya. Lalu untuk yang lain? Pikiran Gaby benar-benar ruwet. Keputusan ini membuat Gaby stress sendiri. Malam hari diakhir bulan, Gaby menghitung pemasukannya. Memang ada beberapa orang tua murid memberinya tips. Namun, itu masih jauh dari target yang Gaby mau. Sekali lagi, Gaby menghela napas. Mungkin dia memang harus bersabar. Uang yang berhasil dia kumpulkan disimpan di laci yang ada kuncinya, dan buku tabungan. Gaby meratap sedih. Hampir akhir minggu. Tenggat yang Mama kasih untuk membelikan perhiasan. Gaby menyerah saja? Lemas rasanya menghitung uang yang masih jauh dari target. Jadi, Gaby berniat untuk menyerah, bilang ke mamanya, kalau uang itu belum ada. Namun, sebelum Gaby meninggalkan kamar, ponsel yang ada di atas mejanya bergetar. Nomor tidak dikenal? Gaby panik dan waspada, tapi menjawab telepon itu. “Hallo?” sapa Gaby. “Selamat malam, dengan Bu Gabriella?” sapa balik seseorang di seberang sana. “Iya, saya sendiri.” Jantung Gaby berdetak cepat. Dia meremat kausnya, ada apa ini? Apakah mantan suaminya diketemukan mati? Atau mamanya mengajukan pinjaman ke bank lagi? “Saya Mila mewakili Bapak Doni Persada.” “I—iya? Ada apa, Mbak Mila?” “Begini, Pak Doni sedang mencari guru pendamping untuk anaknya.” “Usia berapa, Mbak? Kelas berapa?” Bayangan Gaby langsung melayang, dia pikir anaknya baru berusia sepuluh tahun. Mila menghela napas, mendengar itu dahi Gaby mengerut. Sepertinya Mila sedang kesusahan sendiri. “Gathan usianya delapan belas tahun. Tahun ini tidak naik. Papanya sudah kehabisan akal, anak itu terlalu sering pindah sekolah karena tidak naik kelas. Entah kali ini sekolah yang keberapa, yang jelas, Gathan tidak bisa lagi pindah sekolah. Jadi, satu-satunya cara menyediakan guru pendamping untuk menuntun dia belajar agar bisa mengikuti apa yang sekolahannya ajarkan.” Gaby mengangguk-angguk, sambil bergumam. “Saya mengerti. Apakah mau ambil kelas reguler yang seminggu tiga kali atau mau privat datang ke rumah? Biar saya bisa jelaskan skema pembayarannya.” “Bagaimana, ya ...” Mila menjeda pembicaraannya. “Kami ... maksud saya, keluarganya, papa dan mamanya mau guru pendamping, seperti mengikuti Gathan. Termasuk menanyakan dan mengkoordinir pelajaran yang ada di sekolahnya. Tentu saja ini berhubungan dengan guru yang ada di sana.” “Begitu ... kalau begitu, aku harus ...” “Harus ada di samping anak itu setiap saat. Kecuali, Sabtu dan Minggu.” “Saya mau saja. Tapi, saya ... punya murid yang lain.” Gaby bimbang, kalau begini bagaimana dengan muridnya yang lain? Lalu, bagaimana dengan waktunya yang dia bagi untuk belajar juga. Dia memang ingin masuk universitas negeri. Gaby menggumam kebingungan. “Umm ....” “Begini saja,” usul Mila pada akhirnya. “Bagaimana kalau Bu Gabriella datang dulu ke Gedung Tinta di Jakarta Pusat, besok jam sepuluh? Saya akan jelaskan dulu semuanya. Bu Gabriella bisa putuskan setelah pertemuan kita.” Gaby mengangguk, “Bisa. Bisa ketemu besok.” “Bagus, sampai bertemu besok,” jawab Mila riang, seperti bertemu solusi dari semua masalahnya. *** “Kenapa bukan Mbak Mila aja yang ajarin Athan?” tawar anak itu masih berseragam putih-abu-abu. Menunggu di luar ruangan ayahnya. Anak ini dari tadi protes tidak karuan. Milla yang mendengarnya panas baik kuping dan juga hati. Huff ... kalau bukan anak bosnya sudah dia lempar dari lantai sembilan belas ini! “Aku kan ada kerjaan. Lagian, mana paham aku soal Matematika, Fisika, dan semua pelajaran yang ada di sekolah kamu.” “Lagian, kenapa, si, semua manusia di dunia ini harus sekolah? Orang pinter, kan, udah banyak.” Mila menghela napas. Tidak sabar lagi menghadapi anak ini. Tuhan ... jerit Mila dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD