Keinginan Novan

1168 Words
Novan menyantap makan malamnya tanpa banyak bersuara. Tatapan pria itu terus saja terpaku pada layar handphone-nya. Dia masih menunggu balasan pesan dari Jenny yang tidak kunjung datang. Kedua orang tua Novan pun saling pandang melihat keanehan anak tunggal mereka itu. Novan memang terkenal sebagai anak yang pendiam, tapi akhir-akhir ini kedua orang tuanya menyadari kalau Novan lebih murung dari biasanya. “Kamu baik-baik aja kan’ Van?” tanya sang mama. Novan tersadar dan langsung tersenyum. “Aku baik-baik aja, kok, Ma.” “Apa kamu punya masalah di kantor?” kali ini sang papa yang bertanya. “Nggak, Pa. Nggak ada masalah, kok.” Keheningan kembali menyebar. Hanya suara dentingan sendok yang terdengar. “Van ...,” panggil sang mama pelan. Novan mendongakkan kepalanya. “Iya. Ada apa, Ma?” “Jadi bagaimana? Apa kamu dan Jenny belum mengambil keputusan juga kapan kalian akan menikah?” Deg. Novan terperanjat. Dia tersedak dan meraih segelas air putih , lalu buru-buru meminumnya. “Usia kalian berdua sudah matang ... sebaiknya kalian segera membicarakannya.” Sang papa ikut bersuara. Novan hanya menunduk. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Untuk sekedar bertemu dengan Jenny saja akhir-akhir itu terasa begitu sulit. Novan sudah jenuh mendengar pertanyaan yang selalu sama. Dia mengerti akan kerisauan orang tuanya. Novan sendiri pun juga sudah berkeinginan untuk menikah, tapi masalahnya ada pada Jenny. Sebelumnya Novan sudah berulang-ulang kali membicarakan hal itu dengan Jenny, tapi jawaban Jenny tetap sama. Jenny sama sekali belum punya keinginan untuk menikah. “Kamu dengar omongan mama sama Papa mggak, sih, Van?” sergah sang mama. Novan tergagap. “A-aku denger kok, Ma. Nanti aku akan membicarakannya sama Jenny.” “Pokoknya Mama ingin kamu itu segera menikah. Kalau Jenny tidak siap, kamu harus mencari wanita lain.” “T-tapi, Ma—” “Papa setuju sama Mama kamu, Van. Kamu itu satu-satunya penerus keluarga Nugraha. Papa dan Mama kamu terus beranjak tua. Setidaknya kami ingin melihat kamu menikah dan mempunyai anak.” Sang papa memotong ucapan Novan. Novan terpekur. Jemarinya meremas sendok di tangannya lebih kuat. Hatinya mulai menentang semua ucapan orang tuanya itu, tapi Novan memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan menatap papa dan mamanya secara bergantian. “Baiklah, Pa ... Ma ... Novan akan segera membicarakannya dengan Jenny,” ucap Novan kemudian. **** Setelah hampir genap satu minggu di abaikan Jenny, akhirnya malam ini Novan bisa menemui kekasihnya itu. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah  restoran  Jepang. Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya Novan melihat sosok Jenny yang baru saja masuk. Novan pun berdiri dan melambaikan tangannya. Jenny tersenyum, lalu menghampiri Novan seraya berlari-lari kecil. “Maaf ya, tadi aku harus ngecek barang yang baru datang dulu,” ucap Jenny seraya duduk di kursinya. Novan tersenyum tipis. “Hmm ... nggak apa-apa, kok.” “Aku benar-benar senang sekali, Van. Sejauh ini butik aku rame terus. Semua capek yang aku rasain pun terbayar lunas.” Jenny bercerita dengan nada antusias. “Cie ... yang baru saja memulai bisnis.” goda Novan. Jenny tersenyum sumringah. “Pokoknya aku happy banget. Gairah hidup aku terasa naik berkali-kali lipat.” Jenny pun terus bercerita mengenai butiknya dengan antusias. Novan pun hanya menyimak semua cerita Dinni seraya tersenyum dan sesekali mengangguk. Dia sabar menunggu hingga Jenny selesai berbicara, tetapi sepertinya cerita seputar butik itu tidak akan berujung. Novan pun menjadi gelisah. Dia mulai menggerak-gerakan lututnya di bawah meja. Tidak lama kemudian dia merasa tidak tahan lagi dan langsung menyela perkataan Jenny. “Jen ... kamu ingat nggak sekarang itu hari apa?” tanya Novan. Jenny berhenti berbicara dan terlihat berpikir sejenak, tapi kemudian dia mengangkat bahunya. “Hari apa emangnya?” Novan tersenyum. “Ini hari jadian kita yang kedua tahun.” Jenny melotot, lalu menyapu wajahnya dengan telapak tangan. “O my God ... kenapa aku bisa lupa. Astaga, maafin aku, ya, Van.” “Hmm ... nggak apa-apa, kok,” jawab Novan. Mereka pun melanjutkan obrolan itu sambil menyantap hidangan sushi yang memang merupakan menu favorit mereka berdua. Sesekali Novan melirik Jenny dengan gerakan sumpit yang melambat. Jenny pun menyadari hal itu dan menatap Novan lekat-lekat. “Ada apa, Van?” tanya Jenny. Novan menelan ludah. “A-aku ingin bicara sesuatu sama kamu.” “Bicara aja!” Jenny terus menyuap sushi-nya dengan lahap. Novan menghela napas sejenak, lalu meletakkan sumpitnya di atas meja. Dia memperbaiki posisi kacamatanya, lalu menatap Jenny perlahan. “Aku ingin bicara tentang rencana pernikahan kita.” Gerakan sumpit Jenny langsung terhenti. Dia meletakkan sumpit itu, lalu menatap Novan dengan pipi yang masih menggembung berisi potongan sushi. “A-aku rasa kita memang harus membicarakannya, Jen.” Novan berucap terbata. Jenny menyeka mulutnya dengan tisu, lalu menatap tajam. “Nafsu makan aku langsung hilang tahu nggak ... kita sudah pernah membahas hal ini, Van. Aku sudah bilang kalau aku belum siap untuk menikah. Aku baru saja merintis butik aku. Aku juga ingin meringankan beban Mama yang selama ini sudah kesulitan membesarkan aku dan Jeyhan seorang diri.” “Aku tahu, Jen ... tapi, aku pikir kamu bisa tetap melakukan semua itu setelah kita menikah.” “Nggak, Van! Kamu tahu sendiri kan, kalau Mama aku bela-belain menjual tanah warisan dari Papa untuk modal aku membuka butik? Jadi aku merasa bertanggung jawab untuk membayar itu semua terlebih dahulu.” Kedua pipi Jenny mulai memerah karena menahan amarah.  Novan mendesah pelan. “Jadi kamu mau mengganti uang penjualan tanah yang sudah kamu terima? Oke, bagaimana kalau aku mengganti uang itu saja?” Jenny tersentak mendengar ucapan Novan. Baginya kalimat itu terdengar seperti sebuah penghinaan. “Ini bukan soal uang, Van!” Novan melepaskan satu kancing kemejanya karena sudah merasa gerah. “Sebenarnya kamu cinta nggak sih, sama aku?” Jenny memejamkan matanya sejenak, lalu kembali membukanya pelan. “Kenapa kamu malah jadi bertanya seperti itu?” “Ya, karena akhir-akhir ini aku ngerasa kehilangan kamu, Jen. Kamu nggak pernah bisa diajak untuk bertemu. Kamu nggak pernah menjawab telepon ataupun membalas pesan-pesan aku. A-aku benar-benar merasa bingung.” Novan mengeluarkan isi hatinya. “Dengar ya, Van. Aku itu sibuk sama butik aku yang baru dibuka. Harusnya kamu mengerti dong.” “Itu bukan alasan, Jen ... sesibuk apapun kamu, harusnya kamu bisa membalas pesan aku yang hanya butuh waktu sekian detik.” Novan berusaha menahan amarah yang menyesaki dadanya. Keadaan pun menjadi hening. Novan dan Jenny tidak lagi berbicara. Novan terus saja mereguk gelas kopinya, sementara Jenny menatap ke arah lain sambil bertopang dagu. “Hah ... padahal aku pikir pertemuan kita malam ini akan menyenangkan, tapi ternyata ....” Jenny menghentikan kalimatnya seraya meraih tasnya yang tersampir di sandaran kursi. “Kamu mau ke mana, Jen?” tanya Novan. Jenny bangun dari duduknya dan langsung melangkah pergi. “Aku mau pulang. Capek.” “Jen ...! Jenny ...!” Novan memanggil Jenny untuk kembali, tetapi perempuan itu tidak menghiraukannya dan terus mempercepat langkahnya pergi dari sana. Novan pun langsung mengejar seraya terus memanggilnya, tapi langkah Novan terhenti saat  melihat Jenny masuk ke dalam taksi yang langsung melaju pergi. “J-Jenny ....” ****    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD