Sekelumit Rasa

1129 Words
“Lo gila sih, Ga... maksud lo apa coba bilang seperti itu sama cewek bar-bar itu?” Ikhsan masih kesal dengan perbuatannya Ega yang sudah menjadikannya sebagai seorang peramal. “Santai aja cuy... kan, cuma becanda. Kalo dia ngehubungi lo ya cuek aja. jangan di tanggepin. Ya elah segitunya. Orang dulu kita juga sering jahilin orang kok,” sergah Ega. “Udah ah, gue mau pergi dulu.” Ikhsan pun meninggalkan kedai kopi itu lebih dulu. Dia melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru jalanan untuk mencari keberadaan Jenny, tapi sayang gadis itu tidak lagi terlihat. Di satu sisi dia risih karena sekarang Jenny mengiranya sebagi sosok peramal, namun di sisi lain dia merasa lucu karena ternyata Jenny menyimpan sisi lain yang sedikit mengejutkan. “Cih, bagaimana bisa dia mudah percaya seperti itu,” Desis Ikhsan sembari memasang helm-nya. Hari ini Ikhsan melanjutkan aktivitasnya dengan mengantarkan beberapa surat lamaran ke beberapa perusahaan dan juga instansi yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Sebelumnya dia sudah sibuk berselancar di internet untuk mencari berbagai info lowongan yang tersedia. Terik matahari terasa membakar tubuhnya, tapi Ikhsan mencoba menghalau segenap keinginan untuk menyerah. Bagaimanapun juga kehidupannya harus berlanjut. Ikhsan termangu sambil memandangi lampu lalu lintas yang masih merah. Dia memutar lehernya sebentar dan terkejut begitu menyadari pemandangan di sebelahnya. “A-Arini...?” Ikhsan melihat Arini di dalam sebuah mobil. Dia menajamkan penglihatannya sekali lagi.Ikhsan yakin wanita itu benar-benar Arini. Namun,  dia tidak bisa melihat sosok yang mengemudikan mobil itu. Lampu lalu lintas berubah hijau. Mobil itu pun langsung melaju dan mengambil arah yang berbeda dengan Ikhsan. ****  Arini tidak banyak berbicara di sepanjang perjalanan. Dia hanya diam dan fokus menatap jalanan di depannya. Sementara Novan juga terlihat kesulitan untuk berkata-kata. Hari ini mereka berdua terpaksa bertemu karena permintaan orang tuanya masing-masing. Meski sebelumnya Arini sudah mengobrol santai dengan Novan, namun hari ini dia merasa tidak nyaman karena agenda mereka hari ini adalah untuk melakukan ‘pendekatan’ seperti yang dikatakan oleh orang tuanya. “Kamu nggak nyaman, ya?” akhirnya Novan memecah keheningan. Arini tersenyum tipis. “Kamu sendiri bagaimana?” Novan tertawa pelan. “Aku yang nanya, kok malah nanya balik?” “Ya jelas nggak nyaman dong. Ini sudah abad ke 21 gitu lho,” jawab Arini. Novan mengangguk tanda setuju. “Iya sih... tenang aja! kamu nggak usah khawatir. Nanti biar aku yang jadi pihak antagonis di cerita ini,” ucap Novan. “Maksud kamu?” tanya Arini. “Ya... nanti biar aku yang menentang perjodohan ini. Karena sepertinya kamu nggak akan berani menentang keinginan bapak sama ibuk kamu,” jawab Novan. Arini tersenyum pelan. Ada perasaan lega yang terasa mengisi rongga dadanya. Dia pun mulai merasa sedikit tenang dan nyaman. “Jadi sekarang kini nikmati dulu saja alurnya,” tambah Novan. Arini mengangguk tanda setuju. “Oke... tapi dengan satu syarat.” Novan menoleh dan menyipitkan matanya. “Apa itu?” “Kita tidak boleh saling jatuh cinta,” jawab Arini. Novan hanya tersenyum. Suasana di antara mereka pun mulai mencair. Novan dan Arini akhirnya terlibat obrolan panjang yang menyenangkan. Keduanya mulai melupakan segala tentang perjodohan gila yang sebelumnya menghantui mereka berdua. Keduanya asik bercanda dan  sesekali tertawa lebar. Sampai tiba-tiba truk yang ada di depan mobil Novan mengerem mendadak. Novan pun terkejut dan langsung menginjak remnya kuat-kuat. “AAA...!!!” Arini memekik saat kepalanya membentur dashboar mobil. Novan menatap panik. “K-kamu nggak apa-apa, kan?” “A-aku nggak apa-apa kok,” jawab Arini sambil meringis. Kedua mata Ikhsan pun langsung melotot ketika melihat darah segar mengucur di dahi Arini. “Kamu berdarah, Rin!” Novan segera menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Arini menutup lukanya dengan menggunakan telapak tangannya. Novan pun menarik tangan Arini untuk melihat luka itu. Jarak wajahnya dan wajah Arini menjadi sangat dekat. Arini pun menunduk sambil menelan ludah. Saat ini dia bahkan bisa merasakan hangatnya hembusan napas Novan di atas kepalanya. “A-aku nggak apa-apa, kok.” Arini mendorong tubuh Novan untuk menjauh. “Aku bener-bener minta maaf ya, Rin sama kamu....” Novan terlihat sangat menyesal, tapi kemudian wajahnya berubah sadis. “Kamu juga salah sih, kenapa tadi pas aku suruh pasang sabuk pengaman nggak manut?” Arini tercengang melihat perubahan sikap Novan yang tiba-tiba itu. “Jadi ceritanya sekarang kamu minta maaf dan juga marahin aku?” tanya Arini. “Iya.” Novan menjawab lantang. “Sebaiknya sekarang kita ke rumah sakit dulu,” ucapnya kemudian sembari menyalakan mobilnya kembali. Arini membelalak kaget. “Aku cuma luka ringan aja, Van.... nggak perlu ke rumah sakit,” bantahnya.  “Sini aku lihat lagi.” Novan kembali mengecek luka Arini, kali ini dia menyentuhnya lembut dan sesekali meniupnya pelan. Deg. Arini sontak menahan napas. Aroma tubuh Novan kini tercium jelas. Dia ingin segera menghentikan aksi Novan itu, tapi tubuhnya seakan tidka memberikan respon terhadap apa yang diperintahkannya. Arini membeku dalam sebuah perlakuan yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. “Tunggu sebentar! aku akan segera kembali.” Novan bergegas turun dari mobilnya. Sepeninggal Novan, Arini langsung mengembuskan napasnya yang sedari tadi tertahan. Dia juga langsung mengipasi wajahnya yang mendadak panas. Matanya pun menatap liar pada sebotol air mineral yang terdapat di saku jok mobil. Arini mengambil air itu, lalu meneguknya tanpa henti. “Aaah... aaahhh...” helaan napas Arini terdengar jelas sekali. Di luar kaca jendela mobil, dia melihat sosok Novan yang hendak menyeberangi jalanan. Arini menatap sosok itu lekat-lekat. Dibalik sifatnya yang arogan dan angkuh, ternyata dia juga mempunyai kepribadian yang lembut. “Nah ayo kita pasang plaster dulu,” ujar Novan sambil memeriksa kantong kresek yang baru saja dibawanya. “B-biar aku sendiri yang pasang.” Arini berusaha merebut plaster itu dari tangan Novan. “Eitss... diem. Jangan gerak-gerak!” Novan dengan cepat menangkap tangan Arini dan menggenggamnya erat. Deg. Perasaan aneh itu kembali menyergap Arini. Novan mengobati luka Arini dengan telaten dan sangat berhati-hati. Setelah semuanya selesai, dia pun tersenyum menampilkan deretan giginya tang rapi dan putih bersih. “M-makasih ya,” ucap Arini terbata. “Maafin aku ya... sekalinya ngajak jalan malah udah langsung membuat kamu terluka.” Novan memasang sabuk pengamannya kembali. “Nggak apa-apa kok, lagian ini kan, kecelakaan,” ucap Arini. Tatapan Novan beralih pada sabuk pengaman Arini yang belum terpasang. Tanpa basa-basi pria itu langsung memasangkannya dan hal itu sontak membuat Arini menahan napasnya di perut. “Sabuk pengaman itu penting... hukumnya wajib,” ucap Novan sambil mengencangkan sabuk pengaman Arini. “A-aku bisa pasang sendiri padahal,” ucap Arini dengan suara bergetar. Novan hanya tersenyum. Dia kembali memeriksa kantong kresek yang tadi dibawanya. “Ini buat kamu.” Novan menyerahkan sebuah permen lolipop berbentuk kura-kura kepada Arini. “Kamu pikir aku anak kecil, ha?” Arini tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Novan tersenyum. “Udah ambil aja. Ini sogokan buat kamu. Jadi... jangan ngadu sama Bapak dan Ibuk kamu ya....” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD