Kakak perempuan?

2243 Words
"Mas, kamu semalaman nggak pulang?" Ayana menatap wajah Farhan yang terlihat sedikit lelah. Tanpa sadar, Ayana bergerak mendekat, tangannya terulur menyentuh dahi Farhan. "Aku baik-baik aja, Ay." Elak Farhan menjauhkan wajahnya, membuat tangan Ayana berhenti di udara. "Aku nginep di rumah Mesya semalam. Maaf, aku nggak ngasih kabar." Ayana menarik tangannya. "O-oh," Ekspresinya rumit. Dia menundukkan kepalanya, menatap lantai kamar dengan pikiran kosong. "Hari ini janji temunya?" Bergerak melepas kemejanya, Farhan melirik Ayana yang langsung bergegas membantunya, mulai dari handuk mandi yang akan dia pakai lalu bergerak membuka lemari untuk menyiapkan pakaian yang akan dia kenakan nanti saat pertemuan. Ayana mengangguk, seluruh suaranya lenyap. Farhan memperhatikan ekspresi istrinya yang rumit. Dan hal itu menganggu pikirannya. "Kamu marah, Ay?" Ayana yang masih memilih pakaian Farhan terhenti, matanya jatuh pada kemeja panjang hitam, tangannya menyentuhnya pelan. Baju kemeja ini, adalah hadiah yang dia pilih saat Farhan ulang tahun di tahun ini. Baju kemeja yang mungkin tak akan Farhan kenakan lagi jika mereka resmi berpisah. "Enggak, Mas," jawab Ayana dengan tangan mengambil kemeja yang dia sentuh. "Mesya kan bakal jadi istri kamu nanti, jadi kemarahanku takutnya salah tempat." Farhan terdiam, dia melihat bagaimana cekatannya tangan Ayana dalam memilih pakaian yang akan dia kenakan. Biasanya selalu ada senyum di wajah cantik itu saat memilihkan pakaian untuknya, dengan dua lesung pipi dalam yang membuat gigi gingsul terlihat. Seakan-akan memilihkan hal untuknya adalah kebahagiaan tersendiri, dan dia suka melihat hal itu. Dia suka melihat wajah cantik dengan senyum yang memikat, dia suka melihat Ayana yang selalu berusaha memberikan hal terbaik untuknya dalam berbagai hal. Tapi saat ini, semua pemandangan yang dia sukai itu lenyap. "Ay-" "Air hangatnya nanti dingin, Mas. Waktu janji kita juga nggak lama lagi," potong Ayana lembut. "O-oh, iya. Aku mandi dulu," Ayana melihat punggung yang menghilang memasuki kamar mandi, saat itu juga tubuhnya luruh ke lantai kamar. Dia menangis pelan. "Aku marah, Mas. Aku kecewa juga sedih. Karena pada akhirnya semua hal yang aku sukai tentang kamu menjadi hal yang paling menyakitiku," ucap Ayana lirih. "Ay, Shamponya habis." Teriak Farhan dari dalam kamar mandi. Ayana menghapus air matanya lalu bergegas mendekati pintu kamar mandi. "Pakai Shampo yang baru, Mas. Ada botol warna Biru disitu." "Ini bukan Shampomu," Tegur Farhan membuka pintu kamar mandi. Dia mengeluarkan Shampo baru yang istrinya katakan. "Aku mau Shampo yang biasa kamu pake." Ayana menundukkan wajahnya, tak berniat melihat tubuh Farhan sedikit pun. "Sebentar ya, Mas." Farhan melirik wajah Ayana yang menunduk, seolah tak tertarik pada tubuhnya. Sampai akhirnya dia melihat tangan Ayana membuka koper di sudut kamar lalu mengeluarkan shampo yang dia inginkan. Melihat koper itu entah kenapa perasaannya menjadi sedikit kacau. "Mas-" "Makasih," Potong Farhan cepat, secepat dia menutup pintu kamar mandi. Ayana terkejut, tapi dia memilih diam. Dia memilih menunggu Farhan menyelesaikan mandinya dengan memakai jilbab juga make up tipis yang sangat jarang dia kenakan. Jika mengingat dengan benar, ini akan jadi hari pertama mereka berdua makan di luar tanpa adanya ibu atau pihak keluarga Farhan yang lain. Ini juga pertama untuknya, berangkat dalam mobil yang sama dan hanya berdua dengan Farhan meski pada akhirnya tujuan pertemuan kali ini lagi-lagi menyakiti hatinya. "Koper apa itu, Ay?" Ayana membalikkan badannya, karena begitu sibuk dengan lamunannya, dia sampai tak sadar bahwa Farhan sudah mulai mengenakan pakaian. Dia mendekat, membantu Farhan memasangkan kancing kemeja di lengan. "Aku mulai mengemas sedikit demi sedikit milikku, Mas." "Ay, semalam aku-" Ayana mendongak saat mendengar Farhan kembali mengungkit perihal tak pulang semalam. Tersenyum lembut, dia menyembunyikan perih hatinya dengan sangat baik. "Maaf Mas, harusnya kamu pulang. Kalian kan belum nikah, nggak pantas kalian berada dalam satu atap. Apa kata orang nanti?" Jawaban yang begitu kolot. Awalnya Farhan ingin meminta maaf dengan baik tapi saat mendengar Ayana mencela sikapnya, seluruh rasa bersalahnya hilang. "Nggak usah pikirin apa kata orang. Lagian tinggal nunggu hari aja, kami bakal nikah." "Nggak gitu, Mas, aku-" "Ayana," potong Farhan dingin. "Biasanya kamu nggak pernah se cerewet ini. Aku nggak pulang dan tidur di rumah ibu satu minggu pun, kamu diam aja kan? Terus kamu jadi cerewet cuma karena aku nginap satu malam?" Ayana menarik senyumnya, tangannya terkepal erat di balik gaun panjangnya. "Mas, aku nggak bermaksud lain. Tapi di rumah ibu dan Mesya itu dua keadaan yang beda." "Beda apanya? Mesya bentar lagi juga jadi istriku, dia punya hak buat minta aku nginap di sana. Jadi kamu harus mulai terbiasa," Ayana tersenyum kecut. "Mas, mungkin kamu lupa. Tapi hari di mana aku harus berbagi waktumu dengan Mesya itu nggak akan ada. Kamu ingat janjimu kan? Kita bakal pisah setelah kamu menikah." Farhan terdiam, dia menatap wajah cantik Ayana yang masih tersenyum. Masih terlihat kokoh, tak menunjukkan luka atau pun kesedihan karena cemburu apa lagi perpisahan yang akan mereka lakukan. Wanita di depannya ini selalu terlihat seperti itu. Cantik, terlalu mandiri, tak pernah mengeluh, semua dapat di lakukan dengan baik sampai mencapai titik mendekati sempurna sampai dia merasa tak selera. "Itu masih sembilan belas hari lagi." Ayana mengangguk. Hatinya berteriak memberontak, seolah kata-kata suaminya memperjelas bahwa umur pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Sekuat tenaga, dia mempertahankan senyum, menahan air mata yang akan turun dan badai hebat yang terus menghancurkan hatinya. Terasa perih dan menyakitkan. "Benar, Sembilan Belas hari lagi." Sembilan Belas hari lagi kita akan pisah. Sambung Ayana dalam hati. Berbalik karena merasa tak kuasa, dia segera berjalan keluar dari kamar. "Aku tunggu di luar, Mas." Farhan tak menjawab, hanya melihat salah satu kancing kemejanya yang masih belum terpasang sempurna tapi Ayana meninggalkannya. "Sial!" Rutuk Farhan kesal. Dia tak bermaksud membuat suasana hangat sebelumnya menjadi rumit tapi setiap membahas Mesya, jawaban Ayana selalu menarik emosinya. "Kenapa kamu jadi cewe sekuat itu, Ay. Aku berharap kamu nangis, peluk aku, memohon dan bersikap sedikit manja. Tapi kamu terlalu kaku sampai aku ngerasa pernikahan kita terlalu melelahkan dan sangat membosankan!" Ayana menatap ujung sepatu High Heels-nya, menggoyangkan pelan dengan air mata yang baru saja turun. Setiap membahas Mesya, dia dan Farhan akan selalu bertengkar. Karena sekuat apa pun dia merendahkan suaranya, dia tetap akan kalah dengan pendapat suaminya. Sebaik apa pun kata-kata dan maksud tujuannya, selalu saja salah di mata suaminya. Tak ada yang benar dalam setiap tindakannya jika itu menyangkut wanita yang dicintai suaminya. Karena pada dasarnya tak peduli sebaik apapun dirinya, dia tetap akan kalah dengan Mesya. "Ternyata benar kata orang, jangan bersama seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. Karena sebaik apapun diri kita, tetap akan kalah dengan wanita yang lebih dulu tinggal dihatinya," ucap Ayana lirih dengan senyum getir. Selama perjalanan menuju tempat pertemuan, Ayana dan Farhan sama-sama terdiam. Jika dulu Ayana sempat membayangkan betapa manisnya pergi keluar bersama orang yang begitu dia cintai kini bayangan itu perlahan memudar karena banyaknya duri yang menusuk hatinya. Pertemuan yang harusnya menjadi kebahagiaan berubah menjadi pertemuan yang akan menentukan perpisahan. Seluruh perasaannya hancur hingga ekspresinya sedih, kecewa, terluka juga marah tercampur menjadi satu. Hal itu tak luput pandangan Farhan yang semakin kesal terlebih mereka berdua sudah sampai di sebuah Resto besar tempat mereka semua membuat janji pertemuan. "Jaga ekspresi kamu, Ay. Bentar lagi Mesya sampai." Ayana yang duduk di bangku resto mendongak sedikit, terlihat tak nyaman tapi dipaksa menerima keadaan. "Maaf, Mas. Aku-" "Mbak Ayana, Mas Farhan, maaf aku telat." Kata-kata Ayana bahkan belum terucapkan sempurna karena dia harus menoleh melihat Mesya, wanita cantik yang dicintai suaminya, lalu beralih pada Farhan yang langsung berdiri, menarikan kursi dan Mesya yang tersenyum senang. "Makasih, Mas." "Sama-sama, Sayang. Kamu mau pesan sesuatu? Kamu udah sarapan kan tadi? Gimana kakimu?" "Udah kok, Mas, tapi bentar lagi jam makan siang kan, Mas? Terus kakiku juga udah mulai membaik. Untung aja ada Mas yang bantu pijit, sekarang rasanya udah enakan. Ih, makasih ya Mas." Farhan tersenyum mengangguk, tangannya mengelus rambut Mesya lembut. "Sama-sama sayangku." Ayana menatap Farhan yang terus memberi perhatian pada Mesya dengan penuh cinta. Dia sudah duduk di sana selama Lima Belas menit, namun Farhan tak menawarkan apa pun. Tapi semua berbeda untuk Mesya. Hal ini membuat sudut hatinya yang rapuh, runtuh dalam sekali ketuk. Ternyata suaminya bisa berekspresi seperti itu. Ternyata suaminya bisa se perhatian itu. Dan ternyata suaminya bisa menatap penuh cinta pada wanita yang bukan dirinya. Dan Ayana jadi bertanya dalam hati, seperti apa rasanya diperhatikan, dikhawatirkan, dan dicintai sepenuh hati oleh suami sendiri? Pikiran seperti ini menyeret rasa sakitnya sampai ke dasar. "Mbak Ayana, mau pesan apa?" Kata-kata Mesya menyadarkan lamunan Ayana. Ayana tersenyum tipis dan menggeleng. "Nggak, Sya. Aku nanti aja, sekalian nunggu Kirana." "Kirana? Kirana best MUA yang lagi naik daun itu mbak?" Ayana mengerutkan keningnya, dia tak tahu kalau sahabatnya sedang naik daun. "Aku nggak tau, Kirana MUA mana yang kamu maksud. Tapi semua bakal jelas kalau kamu ketemu dia nanti." Mesya tersenyum. Tangannya menarik lengan Farhan lembut. "Mbak Ayana, maaf ya mas Farhan nggak mau pulang semalam. Aku udah nyuruh dia pulang takut mbak Ayana nunggu, tapi-" "Sayang, kamu nggak perlu jelasin apapun," potong Farhan cepat. Dia melirik istrinya, menerka kalau jawaban Ayana pasti membuatnya kesal. Ayana menahan senyumnya, pembahasan tentang malam yang mereka habiskan, dia sudah bisa menduga. Rasa sakit luar biasa lagi-lagi menghantam ulu hatinya. Rasa muak dari sekian kecewa yang bertumpuk membuat wajahnya menjadi sedikit dingin. Tapi saat dia melirik Farhan yang juga meliriknya, dia mengingat pesan Farhan untuk menjaga ekspresinya. "Sya, kuharap kamu bisa jaga nama baik mas Farhan dan nama baikmu. Karena kalian belum nikah, status mas Farhan masih suami orang. Kalau kalian-" "Tapi kan kita bentar lagi nikah mbak," potong Mesya tak terima. "Lagian kita juga bakal sering berbagi, jadi anggap aja mbak belajar buat terbiasa biar nggak kaget nanti." Ayana tercengang, lalu beralih menatap Farhan yang sama sekali tak keberatan dengan kata-kata Mesya. Belajar buat berbagi? Dia hanya menggeleng lemah karena hari itu tak akan datang. Tapi lagi-lagi dia tak punya suara seolah kehadirannya memang tak seharusnya ada. Mereka benar-benar pasangan yang serasi. Farhan sedikit enggan, melihat istrinya yang tersenyum lemah tanpa bantahan dan hal itu terlihat seperti ejekan di matanya. Dia menjadi sangat tidak nyaman. "Sayang, aku tinggal ke kamar mandi dulu ya." "Iya mas, jangan lama-lama ya." Ayana diam menatap punggung Farhan yang mulai menjauh, dia merasa sesak dan segera ingin pulang karena tak tahan melihat kebersamaan suaminya dengan Mesya. Dia pikir, dia bisa mengatasi semuanya dengan baik, tapi ternyata dia sangat kesulitan menyembunyikan rasa sakitnya. "Rencana pernikahannya gimana mbak? Udah sejauh mana?" tanya Mesya hati-hati. "Mas Farhan bilang, mbak yang bakal siapin semuanya." "Eh-oh, ehm aku bakal siapin dengan cepat Sya, kamu mau tema yang kaya apa?" Mesya tersenyum manis. "Apa aja mbak. Yang penting mbak yang ngatur. Aku udah denger mas Farhan muji mbak Ayana, katanya mbak Ayana sangat mandiri dan bisa diandalkan." Kening Ayana sedikit mengerut. "Mas Farhan bilang gitu?" Mesya mengangguk. Sorot matanya terlihat sedikit kesal namun tersembunyi dengan sangat baik. "Sebenarnya aku nggak mau pesta mbak. Cukup ijab kabul aja, tapi mas Farhan bilang, kalau kita udah nunggu momen ini dari lama, jadi hal yang lumrah kalau buat pesta besar yang mewah." Ayana tersenyum lemah, tak ingin berburuk sangka meski Farhan sudah menjelaskan bahwa Mesya ingin pesta yang mewah. "Nggak papa, Sya. Aku bakal atur sebaik mungkin." "Mbak, bulan madunya ...." "Aku juga bakal ngatur bulan madunya. Kalian mau kemana? Bilang aja, Sya. Nanti aku atur semuanya dari tiket, hotel dan lainnya. Kalian tinggal berangkat aja." "Ke Swiss bagus nggak mbak?" Di bawah meja tangan Ayana sekali lagi terkepal setelah mendengar negara yang ingin dikunjungi Mesya. Swiss, negara yang ingin dia kunjungi sebagai tempat bulan madu tapi hanya tinggal angan-angan karena saat itu ibu Farhan sakit keras, jadi mereka memutuskan menunda bulan madu sampai keadaannya membaik. Hanya saja, sampai saat ini hari baik itu tak pernah datang meski sudah sepuluh tahun berlalu. "Oh, itu bagus, Sya. Kalian ingin ke Swiss?" Mesya mengangguk, tapi matanya mengamati lekat ekspresi Ayana. Dia tersenyum saat tahu tubuh Ayana sedikit bergetar. "Tapi, apa nggak papa kalau aku dan mas Farhan bulan madu duluan mbak? Soalnya mas Farhan dan Mbak Ayana kan belum-" "Nggak papa, Sya." Potong Ayana cepat, dia tersenyum tipis. "Kamu nggak perlu khawatirin apapun. Aku bakal ngatur semuanya." "Kalau gitu, tolong bantuannya ya mbak. Aku seneng banget punya mbak Ayana. Aku jadi ngerasa punya kakak perempuan." "Kakak perempuan? Hahaha, candaan gila macam apa ini?" Mesya dan Ayana menoleh saat sebuah suara tiba-tiba menyahut. Ayana tersenyum saat tahu suara itu, tak lain sahabatnya, Kirana. "Kir," Ayana berdiri menyambut sahabatnya yang langsung menarik kursi di sebelahlahnya lalu ikut duduk. "Sorry, Ay. Gue telat, macet banget soalnya." "Wahh, beneran Kirana, MUA terbaik se-Jakarta. Mbak Ayana hebat banget sih," ucap Mesya takjub. Ayana menatap Mesya yang excited lalu beralih pada sahabatnya. "Kamu lagi naik daun ya, Kir?" "Kata siapa?" "Bener kok, masa mbak Ayana nggak tau kalau Kak Kirana ini make-up nya paling bagus di antara MUA yang lain. Kabarnya jadwalnya sangat padat sampai harus ngantri dulu dua atau tiga bulan sebelum acara. Tapi mbak Ayana bisa dapatin dalam waktu singkat. Sesuai kata mas Farhan, mbak Ayana bisa diandalkan." Kirana menatap lekat Mesya yang dari tadi menjelaskan banyak hal. "Ayana, sahabat Gue. Jadi nggak perlu ngantri." "Oh aku belum kenalin kalian berdua. Kir, ini Mesya, calon istri mas Farhan." "Nggak perlu, gue cuma harus make-up in dia kan? Karena seingat gue lo nggak punya adek perempuan." Mesya yang awalnya sangat senang menjadi muram setelah mendengar penolakan Kirana. Terlebih penekanan pada kata 'Adek' membuatnya menyadari bahwa Kirana bermaksud mencemooh kata-katanya yang menyebut Kirana kakak perempuan. "Kir," Ayana merasa tak enak. Bermaksud menegur namun terhenti saat tiba-tiba suara bangku di sebelah Kirana tertarik dan duduk seorang pria asing. "Ya ampun, Kir. Sory, gue telat banget."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD