4. Holding Hands

1946 Words
Satu jam kami menunggu kabar dari Drey. Begitu HP Kakek berbunyi, kami bertiga berebut mengangkat panggilan itu. Dengan kegesitan mencengangkan, Kakek lebih dulu mencapai meja. Archie sampai terbentur sikuku. Untung hidungnya nggak berdarah. “Aduh! Apa ini? Kan bisa pakai speaker HP-nya,” keluh Kakek. “Assalamual—" “Pak, Sweet—Savanna keguguran. Dia pendarahan. Aku—” Drey nggak melanjutkan kalimatnya. Drey menangis. Archie juga. Sebelum kami tahu Mom hamil, kami malah mendapat berita ini. Sepertinya Drey juga nggak tahu kalau Mom hamil. Archie menangis di pelukan Kakek. Berkali-kali dia bilang takut Mom meninggal. Aku juga sedih. Tapi, aku berusaha nggak menangis. Mom pasti bakal sembuh. Glacie dulu juga masuk rumah sakit setelah melahirkan, kok. Archie mengikuti Kakek ke ruang ibadah untuk berdoa. Sebenarnya, kakek juga menyuruhku berdoa, tapi aku nggak yakin Tuhan mau mendengar doaku. Dulu, aku berdoa siang-malam untuk Dad, tapi nggak ada yang terkabul. Malahan, semua yang nggak kuharapkan terjadi, termasuk keputusan Drey untuk memasukkanku ke sekolah. Aku bolak-balik di tempat tidur, nggak punya keinginan untuk melakukan apa pun. Yang kupikirkan hanya Mom. Dia di rumah sakit dengan darah yang keluar terus dari tubuhnya. Di dalam rahim Mom ada bayi kecil yang gagal hidup. Sekarang, mereka harus mengeluarkan janin itu dari tubuh Mom. Aku pernah melihat bagaimana proses perkembangan janin di rahim hingga keluar menjadi bayi di kelas biologinya Miss Palmer (Salah satu guru yang dipekerjakan Drey untuk homeschooling kami.). Katanya Miss Palmer, janin yang gagal tumbuh dan meninggal di dalam rahim harus dikeluarkan dengan berbagai macam cara. Jika tidak, janin itu akan meracuni ibu dan membuat penyakit yang lebih parah. Bagaimana kalau tadi pagi Mom nggak berdarah? Bagaimana kalau ternyata janin itu sudah lama mati di dalam tubuh Mom? Kenapa Drey nggak tahu kalau spermanya bikin Mom hamil? Bukankah laki-laki yang memasukkan s****a ke dalam rahim? Seharusnya laki-laki tahu kan akibat dari perbuatannya, kan? Dengan HP mom yang digeletakkan begitu saja di ruang baca, aku menelepon Glacie. Dia sudah melahirkan tiga kali. Dia pasti tahu yang dialami Mom. “Halo? Ana? Maaf, aku lagi nyusuin Violet.” Glacie terdengar sambil cekikikan. Suara bayi di belakangnya terdengar seperti sedang bersenandung. Apa aku mengganggu? “Bukan. Ini aku.” “Claire? Ya ampun! Kangennya! Apa kabar? Aduh! Iya, Ma. Rosie sudah, Ma. Tinggal Mila yang belum. Sori ya, Claire. Kami baru sampai Jakarta. Kalian nggak ke sini?” “Memang ada apa di sana?” “Eh? Kamu nggak tahu? Abang Tundra mau ulang tahun. Masa kalian nggak ke sini?” Mungkin Mom nggak sempat bilang ke kami. “Mom keguguran. Drey baru membawanya ke rumah sakit. Mom berdarah banyak banget.” “Hah? Kok bisa?” Glacie diam. Suara bayi Vi juga nggak terdengar. “Glacie, kira-kira apa yang bikin orang keguguran?” “Kehamilan itu hal yang rumit, Claire. Bukan cuma masalah kesehatan ibu yang memengaruhi, tapi juga pikiran. Stres juga bisa membuat kehamilan jadi jelek. Drey ngapain sih kok sampai Savanna keguguran? Ya ampun! Tu bapak disuruh jaga istri satu aja, lho.” Suara tangis keras Rosie terdengar keras. Anak itu suaranya serak agak besar seperti anak laki-laki, berbeda dengan Mila yang suaranya cempreng. Aku bisa membedakan suara ocehan mereka di mana pun. “Mommy, anak kucing satu terjatuh. Lihat hidungnya berdarah!” Suara Heath mengimbangi suara tangisan Rosie. “Astaga! Daddy, kok bisa? Mila, nggak baik menertawakan kakak sendiri.” Lalu, mereka jadi ribut sekali. Aku sampai nggak enak harus tetap menelepon mereka. Punya tiga anak kucing sungguhan saja bikin hariku menyebalkan, apalagi tiga anak manusia yang kaya anak kucing. Kumatikan telepon dan mengiriminya pesan: Glace, maaf kumatikan teleponnya. Aku ada janji sama Archie. Aku mandi, lalu menemani Archie di makan siang. Anak itu mengambil sayur banyak-banyak. Dia juga jadi pendiam. Ini hal yang langka sekali. Kakek datang saat kami hampir menghabiskan makanan. Dia tersenyum seperti biasa dan langsung mengusap kepala kami. Kakek mengambil makan seperti biasa. Sekalipun agak terlihat capek dan beberapa kali batuk, kakek tetap makan dengan lahap. “Habis ini kalian tetap belajar, ya. Baca buku apa saja yang kalian suka. Minggu depan baru buku baru datang. Mungkin besok ada orang yang buatkan satu rak lagi,” kata Kakek Rinto setelah selesai makan. Kakek berserdawa, lalu mengeluarkan napas panjang yang berat. “Daddy pulang besok pagi setelah kondisi Mommy sudah bagus. Nanti Mommy mau dirawat di rumah. Jadi, kalian yang pintar ya biar Mommy cepat sembuh.” Ah, syukurlah. Mungkin ini egois. Aku tahu, seharusnya Mom lebih bagus dirawat di rumah sakit. Tapi, aku kangen banget sama Mom. Belum sehari Mom nggak di rumah, rasanya rumah ini sudah nggak enak, dingin dan membosankan. Lagian, kalau di rumah kan kami bisa mengajak Mom ngobrol dan bikin Mom tertawa. Kalau di rumah sakit, aku nggak yakin Mom bisa ngobrol sama perawat atau dokter yang nggak dikenalnya. Di ruang baca, Archie menarik salah satu ensiklopedia dari National Geographic, sementara aku membawa On the Origins of Species. Beberapa hari lalu Drey memintaku menjelaskan apa yang dimaksud dengan unconscious selection dan kenapa Charles Darwin menyatakan adanya doubtful species. Sayangnya, setelah lama membuka bab pertama buku itu, aku hanya memilin-milin ujung halaman buku bertuliskan Chapter 1; Variation Under Domesticationtanpa melihat rangkaian huruf di bawahnya. “Kamu melamun,” kata Archie yang duduk di depanku. Dia mematikan lampu bacanya dan mengeluarkan napas cepat. “Aku juga nggak bisa berpikir apa-apa. PR musim panas Heath sama sekali nggak kusentuh.” Heath memberinya PR membuat video penjelasan tentang telur Colombus[1]. “Kamu mikirin Mom?” tanyaku sambil menutup buku yang nggak akan k****a itu. Dia mengangguk, lalu melihatku. “Nanti kamu hati-hati ya kalau hamil. Jangan sakit kayak mom dan tante Glacie.” Setelah diam dan menutup buku juga, dia bilang lagi, “Aku bakal jaga Mila kalau dia hamil.” Aku sangat ingin menendangnya. “Aku belum kepikiran buat hamil, kok.” “Yah, jaga-jaga saja. Siapa tahu kamu berniat nikah sama Caleb.” “Bukannya kamu yang dilamar sama Seraphine? Nanti aku ngadu sama Mila.” “CLAIRE!” Dia melotot. “Laki-laki itu dinilai dari caranya memegang janji. Aku sudah janji akan menikahi Mila. Aku akan melakukannya.” “Kamu tahu nggak kalau cewekmu di Jakarta?” Dia terkejut sampai menjatuhkan bukunya. “Yang benar?” Dia membanting punggung ke kursi. “Jarak di antara kami makin jauh.” “Seharusnya kita juga ke sana kalau Mom nggak sakit.” Aku juga pengin menangis. “Kuharap Mom cepat sembuh. Aku kasihan waktu melihat wajah Mom tadi.” Archie terus menunduk. Kali ini air matanya keluar bersamaan dengan ingusnya. “Kalau Mommy sakit terus Daddy jadi jahat kayak bapaknya Seraphine, aku bakal melindungimu seperti Caleb,” katanya sambil terisak. Dia masih memikirkan kejadian tadi pagi? “Drey nggak bakal jadi jahat. Aku mengenalnya sebelum kamu lahir. Makanya ayahku percaya Drey bisa mendidikku.” Kugenggam tangannya. “Apa pun yang terjadi, aku bakal jaga kamu, kok. Aku nggak bakal biarkan kamu sendirian. Nanti kalau besar kamu yang bakal jaga aku. Kita gantian.” Malam itu, Archie nggak mau ditinggalkan sendirian. Dia memaksaku tidur di kamarnya. Sebenarnya, tanpa dipaksa aku juga nggak bakal meninggalkan dia. Aku juga merasakan ketakutan yang sama. Aku takut sendirian. * Drey membawa Mom pulang jam sembilan pagi, setelah kami selesai sarapan dan memberi makan red bellied piranha di akuarium dengan daging sapi mentah. Kami sempat mematung sebentar waktu Drey menggendong Mom ke kamar mereka. Kakek berlari tergopoh-gopoh dari kebun samping mengikuti Drey. Nggak lama, beberapa orang perawat masuk juga. Sepatu karet mereka berdecit di lantai. Mereka mengikuti Juanita yang menunjukkan jalan menuju kamar Mom. Mom sudah bangun. Wajahnya pucat, tapi sudah bisa tersenyum dan bilang terima kasih pada perawat yang memasang lagi infus di tangannya. Drey menyusun bantal di punggung Mom biar Mom bisa agak duduk. Perawat berambut cokelat memberikan instruksi dan buku besar kepada perawat berambut hitam. Berdiskusi dengan suara sangat pelan. Kakek mengusap kepala Mom, lalu membacakan doa. “Bagaimana keadaan kalian?” tanya Drey padaku. “Baik. Kamu belum tidur, Drey?” “Nanti akan ada waktu untuk tidur. Terima kasih, Claire. Lalu, bagaimana denganmu, Sobat?” Drey menggendong Archie. Sementara mereka ngobrol, aku mendekati Mom yang baru selesai dengan Kakek. Kubelai rambut hitamnya yang panjang dan kusut. “Kenapa harus dijaga perawat?” “Karena ada obat yang harus disuntikkan malam ini dan besok pagi. Jari Drey tremor karena masih sedih. Dia khawatir malah melukai Mommy,” jawab Mom dengan suara selembut angin yang berembus di antara dedaunan kebun Kakek. “Seharusnya Mommy belum boleh pulang, tapi Mom nggak tahan. Rumah sakit bikin Mom ingat hal-hal buruk.” Kubelai pipinya yang pucat. “Aku sayang Mommy.” Mom menjulurkan leher, menciumku. “Maaf ya kamu nggak jadi dapat adik lagi.” “Buatku, yang penting Mommy sehat.” Kali ini, Mom bau obat, bukan mawar. Tapi, wajahnya tetap mengagumkan. Mata Mom seperti batu onix menatapku lembut. Ini yang paling kusuka. Pintu diketuk tiga kali, suara ketukan pelan khas tangan kecilnya Archie. Dia membuka pintu dan tersenyum. “Boleh aku ikut berpelukan? Aku baru selesai menenangkan Daddy.” “Anak mommy! Apa kabar? Daddy mana?” “Kusuruh mandi. Bau Daddy parah.” Archie duduk di tempat tidur. “Aku senang Mom sudah pulang. Aku kangen banget sama Mommy.” Aku melihat perawat yang tersenyum memandangi kami yang berpelukan. Mommy nggak peduli. Mommy tetap memeluk kami berdua di tengannya yang nggak memakai infus. Mommy menciumi kepala kami dan menangis sambil berkata, “Tuhan Maha Baik memberikan Mom anak-anak seperti kalian. Nggak dapat anak lagi juga Mom nggak masalah. Kalian jangan tinggalkan Mommy, ya.” Nggak ada dari kami yang bersuara. Mungkin karena kami bertiga sama-sama menangis. Aku yakin Mommy tahu kalau kami nggak akan meninggalkan Mommy sampai kapan pun. Kami akan mencintainya sampai kami tua dan punya anak cucu. Seseorang duduk di ujung tempat tidur. Punggungnya melengkung kurus. Di sekelilingnya seperti ada lampu fluorescent. Aku memang belum melihat wajahnya, tapi aku tahu itu siapa. Itu ayahku. Dia memakai piyama terakhir yang dipakainya sebelum meninggal, piyama warna biru pucat dengan garis halus putih. “Dad?” panggilku takut-takut. Lalu, dia bersuara. “Aku tidak bisa meninggalkannya. Apa dia bisa sendirian seumur hidup? Apa dia bisa menghadapi semua sendiri?” Itu kalimat terakhir Dad. Itu yang sering diucapkan Dad sebelum meninggal. Dia memang ayahku. “Dad,” panggilku lagi dengan suara yang lebih keras. Ayahku berbalik. Wajahnya sedih dan jauh lebih kurus. “Claire, maafkan aku,” ucapnya sebelum sebagian tubuhnya berubah menjadi asap. Ayahku menguap seperti air yang dipanaskan. Aku menjerit, tapi nggak ada suara yang keluar. Aku berjingkat dan terbangun dari tidur. Keringat membuat bajuku basah. Rambutku lengket di wajah dan leher. Nggak. Itu nggak lebih buruk dari perasaanku. Ayahku pergi. Aku sendirian. “Claire?” Drey membuka pintu dan sebentar saja sudah berdiri di depan tempat tidurku. Wajahnya bingung. “Ada apa? Kamu menjerit?” Aku menjulurkan tangan. “Daddy… Aku lihat Daddy. Dia di situ. Dia bilang maaf.” Dia menyambut tanganku, memelukku seperti Dad. “Dia sudah di tempat yang tenang, Claire. Dia sudah berbahagia di tempat yang lain.” “Tapi di di situ, Drey. Dad sakit.” “Kamu mencintainya?” “Iya, Drey. Aku mencintainya.” “Doakan dia, Claire. Hanya doa yang menyatukan kalian saat ini.” “Tuhan nggak sayang aku. Tuhan nggak pernah mendengar doaku.” Drey tersenyum padaku. “Mungkin sebenarnya Tuhan sudah mengabulkan doamu. Hanya saja, kamu tidak merasakannya. Kamu sibuk menghitung apa yang kamu dapatkan. Kamu lupa kalau Tuhan memberimu lebih banyak lagi.” Benarkah? “Tuhan tidak akan salah menakar kemampuan dan kebutuhan kita, Claire. Kadang, kita yang mengukur kasih Tuhan dari keinginan kita sendiri.” Drey membelai kepalaku seperti Dad, seolah tahu aku takut kehilangan dia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD