Episode 4 : Usaha Terakhir

1355 Words
Episode 3 :Usaha Terakhir “Nyatanya, pembatalan pernikahan sepihak memang jauh lebih menyakitkan daripada ketika ditanya kapan akan menikah.”  ****  Untuk yang terakhir kalinya, demi masa depan cinta sekaligus hubungannya dengan Kevin, terlepas dari nama baik keluarga, Windy mendungukan semua indra kehidupannya. Ia telah meminta waktu melalui pesan singkat yang dikirimkannya pada Kevin. Sebab pria yang dulu selalu bisa menyempatkan waktu untuknya, kini mengabaikannya. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Kevin termasuk mendatangi pria itu ke apartemen. Semua usahanya selalu sia-sia sekalipun sebenarnya masih ada satu cara. Ya, mendatangi mama Kevin. Tapi Windy tidak mau gegabah terlebih sampai membuat pihak keluarga tahu sebelum ia melakukan usaha terakhir ini. Pada sebuah bangku di taman kota, Windy telah duduk menunggu. Belum ada tanda kedatangan Kevin sekalipun waktu perjanjian telah berlalu. Barulah setelah satu jam berlalu, sebuah mobil sedan hitam menepi di hadapannya yang kebetulan duduk pada bangku taman dekat jalan. Windy segera bangkit dan jelas menyambut. Ia benar-benar ingin kejelasan dari Kevin perihal hubungan mereka. Bila memang Kevin menganggap sebagai kekeliruan, kenapa harus selama ini? Kenapa baru kemarin Kevin mengatakannya? Juga, kalaupun kemarahan Kevin terjadi karena efek di luar kesalahan Windy, tidak semestinya pria itu terus-menerus menjadikan rencana pernikahan sebagai pelampiasan. “Kenapa kamu tidak masuk kerja?” sergah Kevin sesaat menutup pintu mobil dengan cukup membanting. “Banyak pekerjaan yang jadi telantar gara-gara kamu, Ndy. Terus, bagaimana dengan beberapa skenario yang kuminta? Sudah kamu cek?” Mata tajam dan gelagat risih masih menjadi tampang andalan Kevin. Bahkan sekalipun gadis yang mengenakan sweter dan celana pensil di hadapannya jelas terlihat sakit. Wajah Windy sangat pucat, bibir mungil yang selalu merona warna merah jambu juga mengeripik. Mata bulatnya yang biasanya selalu berbinar penuh keteduhan juga sudah sangat sembam. Semua itu sama sekali tidak membuat hati Kevin bergetar terlebih tersentuh. Sorot matanya yang tajam hanya dipenuhi gelagat tidak nyaman bahkan kesal. “Kev!” Windy menelan ludah sementara kedua tangannya menjadi sibuk saling remas di depan perut. Kedua mata sembamnya kembali berkaca-kaca. “Untuk yang terakhir kalinya … tolong, katakan padaku bila semua ini hanya lelucon! Empat tahun bersama sementara pernikahan sudah ada di depan mata. Bahkan selama ini kita sangat jarang bertengkar. Kalaupun kamu ada masalah, tidak seharusnya menjadikan rencana pernikahan sebagai pelampiasan. Kita sudah sama-sama dewasa!” Satu tetes air mata membasahi pipi Windy. Bibirnya bergeming menunggu balas pria di hadapannya. Kevin berkecap sembari bertolak pinggang kemudian mendengkus. Lalu kedua tangannya dimasukkan pada sisi saku celana sementara kedua mata tajamnya menatap kedua mata Windy penuh keseriusan. “Ndy, maaf.” “Kev, sudah cukup. Bercandamu sangat keterlaluan! Semua persiapan sudah nyaris selesai dan tidak sampai satu bulan lagi kita akan menikah!” “Kenapa kamu terus berpikir bila aku sedang bercanda, Ndy? Apakah ada kelucuan bahkan tanda bila aku hanya berpura-pura?” “Kev?” Kevin bergeming dan justru menepis tatapan Windy. “Kev…,” Suara Windy nyaris tak terdengar, “orangtuaku sudah mengabari semua keluarga termasuk sahabat dan kenalan mereka untuk pernikahan kita. Kamu jangan gila, sudah cukup bercandanya!” “Aku tidak gila terlebih bercanda, Ndy. Sudah, jangan menangis lagi. Air matamu membuatku semakin muak saja!” Tamparan panas Windy layangkan pada pipi kiri Kevin. Pria itu tertunduk, masih bertahan pada posisi akibat tamparan. “Aku tanya sekali lagi, ya, Kev. Kamu jangan bercanda dan menjadikan rencana pernikahan kita sebagai pelampiasannya!” Nada bicara Windy naik drastis. Kevin tetap bergeming. “Kev?” “Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan semuanya.” Kehidupan Windy seolah lumpuh pada saat itu juga. “Kev….” “Lupakan semuanya. Percuma walaupun kamu terus memaksa!” “Kenapa … kenapa kamu tega ngelakuin ini ke aku? Apa salahku sampai-sampai kamu membatalkan pernikahan kita sementara selama ini kita baik-baik saja?” Tangis Windy pecah, tubuhnya cukup terguncang-guncang. Beberapa saat kemudian, ia kembali membuka mata dan menatap Kevin yang masih sama. “Beri aku alasan yang jelas kenapa kamu tiba-tiba berubah!” “Pada kenyataannya, lamanya waktu dalam hubungan tidak menjamin muncul keyakinan atas sebuah perasaan, dan aku telah membuktikan sendiri, Ndy!” “Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya? Kenapa kamu sampai membawaku sejauh ini!” Kedua tangan Windy mengepal kencang pada kedua sisi tubuh seiring rahangnya yang mengeras. Kevin membisu, kembali tidak memberinya balas. “Jadi, selama ini kamu anggap aku apa?” Sekalipun jelas terlihat kesal, gaya Windy terbilang sangat sabar. Kevin menggeragap tanpa berani menatap Windy. “Kamu sudah memulai semuanya. Jadi kamu juga harus menyelesaikan semuanya seperti ketika kamu memulainya!” Kevin mengernyit. “Kembalikan aku pada orangtuaku dan kamu harus minta maaf kepada mereka!” “Aku tidak bisa. Aku sedang sibuk dan harus mengurus banyak pekerjaan.” Tanpa memikirkan hal lain, Kevin berlalu bak pecundang yang tidak tahu malu. Windy melepas sematan cincin emas dari jari manis kirinya yang langsung ia lempar pada kepergian punggung Kevin. Akan tetapi, Kevin tetap pada keputusannya, berlalu tanpa ragu. “Apakah kau tahu, betapa pentingnya arti sebuah pernikahan bagi seorang wanita, terlebih bila semua persiapan sudah ada di depan mata? Setidaknya berikan aku alasan yang jelas kenapa kamu tiba-tiba berubah, Kev. Kamu tidak bisa seenaknya membatalkan pernikahan kita!” Kevin benar-benar tetap dengan keputusannya. Pria itu mengemudi dengan kecepatan penuh sekalipun jalan sekitar sedang ramai. Sebagian dari mereka langsung menjadikan Windy sebagai fokus perhatian. “Kevin!” Windy meronta. Menatap tidak berdaya kaparan cincin emas yang tertinggal di tengah jalan. Cincin yang juga menjadi pengikat hubungannya dengan Kevin selama satu tahun terakhir. Ia benar-benar tidak bisa menerima alasan Kevin. Setidaknya, ia butuh alasan yang jelas. Akan jauh lebih masuk akal bila pria itu berselingkuh atau bahkan mengaku sebagai gay agar dirinya tidak terus mencari kemungkinan alasan pria itu meninggalkannya. Akan tetapi sisi lain hati Windy berbicara, bahwa ia justru jauh lebih bodoh bila terus mengharapkan keajaiban tanpa melakukan penyelesaian karena Kevin jelas sudah tidak bisa diharapkan. Calon suaminya sudah tidak menginginkannya, dan ia harus menyelesaikan semuanya—membatalkan segala persiapan, termasuk mengutarakannya pada kedua orangtuanya! Kenyataan yang tidak mudah bahkan jauh lebih rumit dari mencari jarum di antara tumpukan jerami. Tidak terbayang bagaimana reaksi tetangga, kerabat keluarga, terlebih kedua orangtuanya bila mereka mengetahui bahwa pernikahannya dengan Kevin dibatalkan sepihak tanpa sebab yang jelas. Windy masih berdiri di tepi jalan dengan tatapan kosong. Bertanya-tanya. Mampukah ia melewati semuanya? Atau, ada jalan lain yang bisa membuatnya amnesia bahkan lenyap dari kehidupan untuk selama-lamanya?  ***   “Kok bisa, ya, tiba-tiba berubah gitu?” Tito sibuk menggaruk kepala—kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika tidak tahu harus bersikap bagaimana. Melihat keadaan Windy hancur tanpa tahu harus berbuat apa, membuatnya seolah merasakan hal yang sama. Isak tangis menjerat Windy, kenyataan itu langsung menyita perhatian penghuni kafe. Windy menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan. “Ndy….” Hati Tito seperti disayat-sayat. Bibirnya yang biasanya memang tidak bisa diam terus mengoceh, kini hanya bisa bergeming. “Kamu mau aku antar pulang?” Kira-kira, salah nggak, yah, kalau aku dateng ke dukun buat nanya kenapa Kevin tiba-tiba berubah? Tapi, aku kan nggak punya kenalan dukun? Windy sibuk menggeleng tanpa mengubah keadaannya. “Terus, kamu mau aku ngapain?” “Kepalaku pusing banget, To….” Tito menelan ludah kasar. Menyadari keadaan Windy tidak mengalami perubahan, ia segera bangkit, memutari meja pelanggan keberadaan mereka kemudian merangkul tubuh Windy. Terdengar isak yang semakin kencang seiring tubuh Windy yang sampai terguncang-guncang.  “Kamu harus kuat, Ndy! Kalau kamu terlihat terpuruk seperti ini, Kevin pasti bakalan tambah seneng! Kamu punya aku, dan kamu bisa ngandalin aku!” “To, bila sesuatu terjadi padaku, aku titip mama sama papaku, ya….” Tito terlonjak. “A-ap-pa, maksudmu, Ndy!” “Aku nggak kuat, To….” “Nggak…, nggak, kamu jangan ngomong gitu, Ndy. Ndy, Ndy…, ya ampun, Ndy!” Windy tergolek lemah dengan wajah yang berangsur terkapar di atas meja. Gadis itu tak sadarkan diri. Wajahnya sangat pucat, namun bukan itu yang Tito permasalahkan. Karena dari mulut gadis itu terus keluar busa dan Tito benar-benar kehilangan akal. “Ndy!” Sebenarnya Tito berteriak, tapi suaranya sumbang, luruh akibat tangis yang seketika pecah. Nyatanya, pembatalan pernikahan sepihak memang jauh lebih menyakitkan dari ketika ditanya kapan akan menikah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD